“Dalam konteks itulah, saya menganggap mungkin sebaiknya
umat Islam saat ini tidak perlu menganggap naik haji sebagai kewajiban apalagi
disertai dengan berumrah yang berkali-kali.”
Kutipan di atas adalah kalimat pamungkas Ade Armando dalam
artikelnya yang berjudul “Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat Ini” Inti dari
artikel tersebut adalah ajakan untuk membatalkan kewajiban ibadah haji saat
ini, sebab negara sedang miskin-miskinnya. Bagi Ade, uang para jamaah haji dan
umrah adalah pemborosan yang lebih maslahat bila digunakan untuk membangun
berbagai infrastruktur.
Ajakan Ade untuk menghentikan haji dan umrah sepenuhnya
tertolak dan tidak masuk akal. Ia pura-pura lupa akan keberadaan pajak dan
sumber dana lainnya untuk pembangunan. Alih-alih dipaksanya rakyat untuk
bermaksiat pada Allah dengan meninggalkan perintah wajibnya haji. Ucapan itu pun sepenuhnya menabrak konstitusi
negara kita yang melindungi hak setiap warga untuk beribadah.
Kegagalan pemerintah untuk menjalankan kewajibannya
menyejahterakan rakyat ditimpakan di pundak umat Islam dengan menyuruh mereka
berhenti menjalankan al-Qur’an. Bukan
berarti umat Islam tidak perlu peduli pada kesusahan sesama, tapi dalam
bangunan ajaran Islam kita telah mengenal zakat, infaq, dan sadaqah. Bila
ketiganya dimaksimalkan, potensinya luar biasa.
Sangat sulit untuk setuju dengan ajakan dosen FISIP itu,
untunglah ia tidak punya otoritas apa-apa, dan wacananya tersebut bisa dianggap
angin lalu saja. Meskipun begitu, sebaiknya kita renungkan masalah yang Ade angkat ini, yakni ibadah haji
dan problem kemiskinan. Betapa begitu
banyak orang yang berumrah dan haji berkali-kali, tapi tetangganya masih
berkubang dalam kemelaratan. Kepekaan Ade untuk melihat kejanggalan dalam
masyarakat Islam Indonesia ini sebenarnya sangat baik. Sayangnya, solusi yang
ditawarkannya terlampau ekstrim dan mengada-ada
.
Masyarakat Indonesia memang terkenal dengan penghargaan
mereka yang tinggi kepada mereka yang telah menunaikan rukun Islam terakhir
ini. Bahkan ada gelar khusus untuk mereka. Di masyarakat tertentu, misalnya
komunitas Bugis-Makassar, status sosial seseorang akan bertambah bila telah
bergelar haji atau hajjah. Hal ini tentu
sesuatu yang baik, menunjukan betapa Islam telah menyusup ke sum-sum tradisi
negri ini. Namun demikian, kesemarakan menjalankan ritual menjadi kurang
nilainya bila makna ritual tersebut ternyata terlupa. Sebagaimana semua ritus
Islam lainnya, ibadah haji pun sesungguhnya mengandung hikmah yang harusnya
membekas pada diri hamba. Seperti orang yang shalat akan celaka bila
menerlantarkan anak yatim dan kaum miskin dalam narasi al-Maun, ibadah haji pun
hampa bila tidak mampu melahirkan sosok haji mabrur.
Inti dari ritual haji adalah agar menjadi haji mabrur, Rasulullah
Saw dengan lugas menyebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA,
“Haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah surga.” Maka haji dan umrah
berkali-kali menjadi tidak berarti bila derajat ini tidak tercapai. Lalu,
apakah haji mabrur itu? Akar kata dari kata mabrur adalah al-birr. Syaikh
Yusuf al-Qaradhawi dalam kitab al-Halal wa al Haram fil Islam menjelaskan
bahwa makna kata al-birr mengandung segala makna kebaikan termasuk di
dalamnya berbuat baik kepada diri sendiri dan orang lain.
Jika menggali lebih dalam makna al-birr di dalam
al-Qur’an, akan terungkaplah betapa kualitas haji sesungguhnya terletak pada
kepedulian sosial. Di surah al-Baqarah ayat 177 hakikat konsep ini didedah; di
antara makna kebaikan sejati adalah memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan
pertolongan dan orang-orang yang
meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat. Jadi jelaslah bahwa seorang yang hajinya berkualitas mabrur tidak
mungkin buta pada penderitaan sesama.
Masyarakat Indonesia memang sudah saatnya sadar bahwa
kualitas haji yang mabrur ini hendaknya didahulukan dari kuantitas ritaulnya. Begitu
pun dengan umrah. Bukankah Rasulullah sendiri hanya berhaji sekali dalam
hidupnya dan berumrah empat kali. Namun lihatlah, haji Rasulullah yang hanya
sekali itu sangat berkualitas, menjadi salah satu momen penting dalam sejarah
Islam yang dikenal sebagai peristiwa haji wada’.
Ibadah haji yang cukup sekali tapi diiringi kesadaran menjadi
pribadi mabrur setelahnya akan lebih membawa kebaikan bagi masyarakat dibanding
ke tanah suci berkali-kali tapi tidak berefek apa-apa. Momentum haji bagi tiap
individu Muslim haruslah berdampak signifikan pada dirinya. Pribadinya akan
menjadi mabrur, pribadi yang peduli dan cinta pada kaum papa. Ketimbang
untuk berhaji dan berumrah berkali-kali, kelebihan hartanya digunakan untuk
kepentingan umum ; melalui zakat, infak, sadaqah, pajak, dan berbagai jalan
kebaikan lainnya. Bia ia pejabat, tentu godaan mencuri uang rakyat akan
dihalaunya jauh-jauh.
Konsep mabrur inilah yang absen dari nalar orang-orang
seperti Ade Armando hingga ritual haji dianggapnya tidak berguna dan minta haji
dihentikan. Namun kita pun butuh menghisab diri, jangan sampai cara berpikir
ekstrim semacam itu muncul sebab ritual kita dianggap tidak lagi berbekas pada
level sosial. Maka, kualitas haji hendaknya didahulukan di atas kuantitasnya.
Jawablah prasangka busuk tentang haji dengan amal nyata pribadi-pribadi yang mabrur.
aku kadang heran kok bisa ya ada oran gIslam kayak gitu
BalasHapus