بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
"Netizen" Bagaikan selket yang bersemayan di celah-celah gigi
menggelitik gusi tapi enggan dicabuti, istilah ini cukup menggeletik
saya akhir-akhir ini. Entahlah apa arti kata in di dalam kamus Bahasa
Indonesia, saya bahkan ragu apa ini memang sebuah kata dalam KBBI. Tapi
bisalah diartikan kira-kira bahwa kata ini berasal dari kata "net"
yang berarti internet alias dunia maya alias world wide web dan izen
nya sama dengan ekor pada kata citizen, warga. Jadi netizen mungkin
berarti warga dunia maya.
netizen miris, jadilah berita |
Sangat tidak spesial, biasa saja. Jika kamu punya akses internet,
punya akun media sosial yang memberimu kemewahan untuk berkomentar apa
saja tentang apa saja, maka kau sudah jadi netizen. Lalu mengapa kata
ini menggelitik? Sebab belakangan ini, status sebagai netizen menjadi
seolah-olah spesial. Opini mereka tiba-tiba jadi sangat signifikan
sehingga bisa diangkat menjadi sebuah berita besar, terutama oleh
media-media online.
Mungkin wartawan media-media itu memang mendapat tugas demikian ;
mereka cukup nongkrong di situs-situs populer seperti twiter, facebook,
youtube dan lainnya lalu melihat apa yang dipergunjingkan orang.
Setelah ada topik dominan, maka diangkatlah jadi berita ; "Netizen
Sedang Bergunjing Tentang Anu" Hal ini jadi sangat lumrah hingga
berkomentar tentang kebijakan pemerintah atau sikap pejabat yang
sebelumnya menjadi domain para anlis politik atau ahli komunikasi
politik kini diambil alih oleh para "netizen". Gerombolan manusia yang
berkomentar sesuka hati diblik topeng akun-akun samar itu tiba-tiba
menjadi ahli tentang segala hal sehingga reaksi, komentar, atau
kegaduhan mereka layak dicekokan ke otak pembaca setanah air.
Mungkin sebagian kita menganggap ini biasa-biasa saja, bagian dari
kebebasan berceloteh. Tapi sesungguhnya ini berdampak destruktif,
merusak. Seorang yang sayang pada akalnya seharusnya jengah terhadap
fenomena semacam ini. Salah satu contoh memprihatoskan adalah kasus
MUI dan BPJS baru-baru ini. MUI tidak pernah mengharamkan BPJS, tapi
berita medialah yang menyimpulkan demikian. Hal itu menjadi semakin
runyam saat "netizen" mengerubunginya. Mereka riuh rendah mengaburkan
persoalan. Akibatnya fatal, banyak orang yang mungkin tidak sadar telah
berdosa pada bapak-bapak sepuh di MUI yang saya yakin tidak pernah
punya niat sezarrah pun untuk menyakiti rakyat Indonesia. Mereka ingin
kebaikan, tapi netizen yang merasa ahli dalam segala bidang malah
mendebat penuh rasa permusuhan, lalu beberapa media justru merayakannya
penuh suka cita.
Saya tidak tahu banyak soal media, tapi sipapun tahu bahwa kita
menyimak media sebab berharap diberikan berita yang benar. Bagi saya
pribadi, harapan itu menjadi lebih ketika sebuah media berani melabeli
dirinya dengan kata Islam. Sebab tentu kode etik jurnalisme dengan
jubah taqwa menjadi proteksi ganda untuk tidak menurunkan berita
abal-abal.
Namun sayangnya, justru media berlabel Islam lah yang kadang saya
lihat menjadikan "netizen" sebagai bahan berita. Bagi saya, setidaknya
ada dua hal yang membuat tabiat meninggikan makhluk tidak jelas
bernama "netizen" ini tidak sejalan dengan Islam. Pertama, Islam
menjujung tinggi keadilan, dan salah satu bentuknya adalah menyerahkan
segala sesuatu pada ahlinya. Al-Qur'an jelas memerintahkan ; Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada ahlinya (QS. an-Nisa : 58). Hadis
jelas memperingatkan ; bila sesuatu diberikan pada yang bukan ahlinya,
maka tunggulah saat kehancuran (HR Bukhari). Otoritas keilmuan sangat dijunjung
dalam Islam, maka ketika hendak mencari tahu mengapa JK tidak hormat di
upacara 17-an itu, seharunya media Islam bertanya pada ahli protokoler
atau mungkin ahli komunikasi politik. Bukannya malah mengangkat ocehan
penghuni internet. Label "netizen" tidak serta merta membuat seseorang
jadi ahli tentang apa saja. Maka menjadikan komentar netizen bahan
berita sungguh tidak Islami.
netizen ; "rawi majhul" yang lebay |
Kedua, dalam tradisi Islam sesungguhnya kita punya ilmu tentang
transmisi berita, namanya ilmu hadis. Dalam ilmu hadis, dikenal istilah
"majhul" yakni seorang pewarta yang tidak jelas diri serta asal
usulnya. Berita dari seorang majhul tidak diterima. Kaidah ini memang
berlaku buat hadis, sebab hadis adalah acuan keyakinan seorang muslim
hingga harus benar-benar valid. Tapi tentu kaidah ini sangat pantas dan
bahkan harus digunakan oleh media Islam (dan stiap muslim apapun media
tempatnya bergabung) bagi berita-berita mereka, sebab sikap hidup
banyak orang kini gampang sekali disetir media.
Dengan dua alasan di atas, semoga bisa difahami mengapa media berlabel Islam tidak seharusnya menurunkan
berita berdsarkan kegaduhan "netizen". Selain tidak keren sama sekali,
ternyata hal itu juga tidak Islami. Ohya, semoga ada wartawan media
online yang membaca tulisan panjang lebar ini, lalu menulis berita,
"Seorang Netizen Keberatan Terhadap Sikap Media yang Suka Mengangkat
Opini Netizen" Memang terdengar absurd, tapi jujur saja absurditas
bukanlah hal baru di jurnalisme online belakangan ini. Justru itulah
keluh kesah ini saya tulis, sebagai ikhtiyar mengingatkan mereka yang
ada di media Islam ; jangalah ikut-ikutan tidak keren.