Iftitah
Di dalam buku Orientalisme
dan Diabolisme Pemikiran, Syamsudin Arif, salah satu murid Syed Naquib
al-Attas, menyebutkan adanya sebuah penyakit berbahaya yang diidap oleh umat
ini. Penyakit itu disebutnya kanker epistemologis. Parahnya, penyakit ini bukan
diidap oleh kalangan awam, melainkan oleh orang-orang yang dianggap sebagai
pemikir atau cendikiawan muslim. Penderita penyakit ini merasa tidak nyaman
dengan klaim kebenaran mutlak Islam. Argumen mereka biasanya
“itu kan menurut ulama A, itu hanya penafsiran manusia yang tidak
mutlak. Kebenaran mutlak hanya Allah kita tidak bisa mengetahui kebenaran
mutlak” Orang-orang seperti ini sesungguhnya telah teracuni skeptisisme
dalam filsafat ilmu (epistemologi), berikutnya mereka akan terjebak pada
relativisme moral. Apabila tidak segera diobati, mereka akan berakhir menjadi
pengikut pluralisme agama.
Skeptisisme
dan relativisme bukanlah hal yang benar-benar baru di tubuh umat Islam. Pada
masa ulama klasik, ada kelompok bernama shufastaiyyah yang memiliki
pendirian serupa dengan kaum skeptisis-relativis pada masa kini. Para ulama pun
telah memberikan respon terhadap kelompok ini. Ketika penyakit ini kembali
muncul di tengah-tengah ummat, maka ada baiknya kita menengok kembali bagaimana
respon ulama terdahulu terhadap mereka. Selain itu, akan dipaparkan pula respon
ulama kontemporer terhadap penyakit yang ditimbulkan skepitisisme-relativisme
di tubuh ummat pada saat ini.
Skeptisisme adalah
sikap epistemoligs yang telah ada sejak masa Yunani. Tokoh yang dianggap
sebagai pemimpin kaum skeptis dari masa Yunani adalah Sextus Empiricus (c.
160–c. 210 CE).[2] Sextus
Empirictus menggambarkan orang-orang skeptis sebagai para pelajar atau peneliti
yang terus-menerus melakukan ivestigasi (ulang) atas apa yang mereka telah
temukan.[3]
Hal tersebut dilakukan oleh para skeptis sebab mereka adalah orang-orang yang
ragu ; tidak meyakini tidak juga mengingkari ; mereka tidak menerima tidak juga
menolaknya. Inti ajaran Sextus Empiricus adalah manusia tidak dapat membuat
penilaian terhadap sesuatu, apakah benar atau salah.[4]
Skeptisisme
terus ada di dalam filsafat hingga masa kini. Menurut Stroud, dalam dunia
modern, skeptisisme filosofis bisa diartikan sebagai pandangan bahawa kita
(manusia) tidak mengetahui apapun, tidak ada pengetahuan yang pasti tentang
sesuatu, atau segala sesuatu terbuka untuk diragukan. Stroud menegaskan bahwa
pandangan ini hanya tentang kondisi manusia dalam berpikir, bukan merupakan
jalan hidupnya.[5]
Seorang skeptis tidak berarti menjadi peragu atas segala sesuatu di dalam
hidup. Ia hanya menolak untuk langsung percaya pada klaim dalam ranah
filosofis. Julia Annas menggambarkan
skeptisisme dalam filsafat sebagai tindakan meragukan dan menunda penilaian
atas bagian substansial –atau bahkan seluruh bagian- dari hasil investigasi
manusia.[6]
Orang-orang yang menganggap bahwa pengetahuan bisa diperoleh oleh kaum skeptis
dilabeli “dogmatis”
Skeptisisme
Dalam Dunia Islam dan Respon Ulama
Ketika Islam
sudah tersebar luas, maka ia mulai bersentuhan dengan kebudayaan asing dengan
pengaruh mereka masing-masing. Salah satu unsur kebudayaan yang dihadapi ummt
Islam adalah pemikiran Yunani. Skeptisisme sebagai salah satu cabang filsafat
Yunani juga memiliki pengaruh terhadap sebagian umat Islam. Pada masa klasik
munculah kelompok-kelompok yang memiliki kecendrungan pemikiran seperti para
skeptis ; mereka menafikan pengetahuan.
Kelompok ini adalah shufastaiyyah, mereka adalah penerus cara
berpikir kaum Shopist yang memiliki irisan dengan kaum Skeptis dalam melihat
realitas.
Kaum sufastaiyyun
memiliki pengaruh berbahaya, sehingga ia mendapatkan perhatian khusus dari
beberapa ulama. Di antaranya Imam Ibnul Jauzi. Di dalam bukunya Talbis
Iblis, beliau memperingatkan salah satu “tipuan” Iblis adalah bisikan
mereka melalui para Sufastaiya. Bahkan pembahasan mereka ditempatkan
pada bagian awal. Talbis Iblis melalui para sufastaiyyah adalah
bagian dari peraguan akidah. Ibnul Jauzi merujuk kepada an-Nubakhti bahwa kaum sufasta’
adalah kaum yang disandarkan kepada seseorang bernama Sufasta.’[7]
Meskipun ini terlihat berbeda, tapi penjelasan beliau tentang hakikat para Sufastaiyyah
sangat identik dengan kaum skeptis.
زعموا أن
الأشياء لا حقيقة لها وأن ما يستبعده يجوز أن يكون على ما نشاهده ويجوز أن يكون
على غير ما نشاهده
Di sini, Imam Ibnul Jauzi
menjelaskan sifat khas mereka ; bahwa segala sesuatu (al-asya’) itu
tidak memiliki hakikat. Implikasi dari keyakinan ini adalah bahwa seseorang
tidak bisa memiliki imu atas sesautu sebab hakikatnya selalu berubah. Apabila
hakikat sesuatu terus berubah maka kita tidak akan mungkin mengetahuinya sebab
syarat ilmu adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya. Maka perubahan
hakikat akan membatalkan ilmu.
Menurut Ibnul Jauzi, posisi
epistemologis orang-orang ini sangat lemah sehingga tidak ada guanya berlama-lama
berdiskusi dengan mereka. Beliau bahkan mengutip kata-kata an-Nubakhti yang
menegur para ulama ahlul kalam yang masih saja mengahbiskan waktu berdiskusi dengan kaum tersebut. Sia-sianya
berdisukis dengan Sufastaiyyah sebagian di antara karena mereka juga
mencakup kaum relativis. Hal ini tergambar dari penjelasan an-Nubakhti yang
dinukil oleh Ibnul Juazi di dalam bukunya tersebut ;
قال النوبختي
قد زعمت فرقة من المتجاهلين أنه ليس للأشياء حقيقة واحدة في نفسها بل حقيقتها عند
كل قوم على حسب ما يعتقد فيها.[8]
an-Nubakhti berkata, ada sekelompok
orang bodoh meyakini bahwa tidak ada
kebenaran yang pasti untuk suatu hal. Kebenaran itu ada menurut pendapat
masing-masing orang.
Ancaman pemikiran skeptis dan
relativis kaum Sofis pada masa klasik membuat para ulama kerap menjadikannya
topik awal dalam bahasan mereka. Salah satu ulama yang merespon sufastaiyyah
dengan memperingatkan ummat adalah Imam Ibnul ‘Arabi. Di dalam karyanya al-‘Awasim
min al-Qawasim, Ibnul Arabi memmetakan posisi epistemologis manusia pada
masa itu. Beliau menjelaskan kekeliruan posisi-posisi tersebut, termask di
antaranya kaum Sofis.
Menurut beliau ada empat jenis
epistemologis di tubuh ummat, salah satunya adalah kaum yang beliau sifati
demikian ;
Selelompok orang berkata bahwa kita
tidak bisa memahami ataupun mengetahui. Manusia hanya berhayal mengetahui
sesuatu. Tidak ada jaminan kebenaran bagi simpulannya.
Posisi epistemologi ini identik
dengan kaum sufastaiyyah, ataupun kaum skeptis. Kelompok ini menurut
Ibnul Arabi harus kita jauhi sebab akan berakibat pada rusaknya iman. Beliau
memperingatkan ummat bahwa ucapan demikian adalah lontaran-lontaran kaum mulhidah
untuk membingukan ummat. Ibnul Arabi menyebutkan bahwa pendirian ini
berasal dari Yunani, yakni sebuah kelompok bernama Shopis.
Ibnul Arabi menegaskan bahwa
hakikat sesuatu itu tetap, meskipun mungkin suwar/bentuknya
berubah-ubah. Jadi misalnya perubahan manusia dari muda menjadi tua, atau dari
keadaan diam menjadi bicara, bukanlah perubahan hakikat, melainkan perubahan
bentuk saja. Perubahan itu disebabkan gerak dan waktu. Sedangakn hakikat
manusia tetap. Sehingga kita tetap bisa mengetahui manusia.[10]
Ulama lain yang memperingatkan
ummat tentang bahayanya paham skeptisisme dan relativisme dalam agama adalah
Imam an-Nasafi. Di dalam buku akidah yang ditulisnya, al-Aqaid an-Nasafiyah,
beliau menegaskan pada pembukannya bahwa posisi ahlul haq adalah
meyakini bahwa manusia mungkin mengetahui sebab hakikat sesuatu itu tetap.[11]
Dalam syarahnya terhadap pernyataan
Imam Nasafi tersebut, Imam at-Taftazani mengemukakan tiga keberatak kamu Shopis
pada masanya terhadap kepastian ilmu yakni ; pertama, apabila ilmu
dianggap adalah hasil dari indra (al-hissiyat) maka indra bisa saja
salah. Kedua, apabila ilmu dianggap sebagai hasil dari persepsi yang
segera kita ketahui begitu (al-badihi) maka bisa saja setiap orang akan
memiliki persepsi yang berbeda tentang sesuatu. Ketiga, ilmu bisa
diperoleh dengan penalaran rasional melalui silogisme. Tapi hal ini juga tidak
mungkin menurut mereka sebab premis-premis yang berbeda di antara orang-orang
juga akan mengahsilkan simpulan yang beragam. Olehnya ilmu yang pasti terhadap
sesuatu, yang benar-benar disepakati tidak mungkin terjadi.[12]
Imam at-Taftazani menjawabnya
sebagai berikut ; pertama, kesalahan yang muncul dari pancaindra terjadi
karena adanya alasan tertentu atau penyebab tertentu. Apabila sebab itu hilang,
maka indra akan kembali berfungsi baik. Olehnya, kesalahan indra pada saat
adanya sebab tertentu tersebut, tidak bisa menafikan kemungkinan indra untuk
benar pada saat tidak adanya penghalang/penyebab ia malfungsi. Kedua, keslahan
persepsi tentang sesuatu secara badihi terjdi karena kurangnya
pengenalan seorang tersebut terhadap subjek, atau karena terjadi kesukaran
sehingga ia susah membentuk persepsi yang benar dalam pikirannya. Olehnya hal
ini tidak bisa menajdi alasan menafikan kemungkinan mampunya seseorang untuk
membentuk persepsi yang benar tentang sesuatu dalam pikirannya bila ia terbebas
dari halangan-halangan tadi. Ketiga bila ada yang salah dalam
penyimpulan silogisme karena salah membentuk premis, maka itu tidak menafikan
kemungkinan orang lain yang premisnya benar untuk sampai pada simpulan
silogisme yang benar. Namun pada akhirnya, Imam at-Taftazani berkata bahwa
sia-sia saja berdebat dengan para skeptis relativis alias Shopis, sebab mereka
tidak akan mengakui validitas ilmu, maka diskusi adalah sia-sia. Hal ini sama
dengan nasehat Ibnul Arabi yang telah disebutkan sebelumnya.[13]
Di zaman modern, ulama yang berusaha menghilangkan bibit-bibit
skeptisisme dan relativisme dalam tubuh ummat salah satunya adalah Syed Naquib
al-Attas. Proyek Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer yang beliau rintis,
salah satunya mengandung dewesternisasi ilmu. Bagi al-Attas, ilmu yang kini
secara sistematik disebarkan ke seluruh dunia bukanlah ilmu yang sejati, tetapi
telah dipenuhi oleh watak dan kepribadian kebudayaan Barat, dipenuhi dengan
semangatnya dan disesuaikan dengan tujuannya. Unsur-unsur itulah yang harus
dikenali, dipisahkan, dan diasingkan dari tubuh ilmu pengetahuan . Hal ini
penting karena tidak semua nilai Barat harus dihilangkan, tetapi hanya yang
bersifat destruktif . Unsur-unsur tersebut bukanlah ilmu itu sendiri
tetapi ia menentukan bentuk khusus bagi memahami, menilai, dan menafsirkan ilmu
tersebut agar sesuai dengan pandangan alam peradaban Barat.[14]
Salah satu unsur destruktif dalam
epistemologi barat menurut al-Attas adalah skeptisisme. Peradaban Barat telah
mengangkat doubt, melalui Descartes, menjadi alat yang sah untuk
mencapai pengetahuan. Hasilnya adalah skeptisisme yang membawa kebingungan.
Ilmu yang dihasilkan pun ternyata banyak membawa kehancuran bagi tiga alam
kerajaan ; manusia, hewan, binatang. Hal ini menurut al-Attas disebabkan karena
Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan
ilmu wahyu dan dasr-dsar keyakinan agama. Barat yang sekuler sepenuhnya
bergantung kepada spekulasi filosofis dengan dasar data materialistik. Di dalam
spekulasi filosofis yang hanya berdasarkan akal seperti itu tidak akan
ditemukan adanya kepastian. Hasil akhirnya adalah peradaban Barat mengalami ever
shifting dalam nilai dan moralitas[15].
Sehingga seperti yang kita lihat kini, skeptisisme terhadap agama, nilai-nilai
luhur berkembang pesat di Barat. Untuk mengatasi masalah ilmu ini, al-Attas
menawarkan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Al-Attas menegaskan bahwa
di dalam epistemologi Islam, kepastian wahyu adalah pondasi utama. Selanjutnya
manusia bisa mengetahui kebenaran mutlak sebagai pemberian dari Allah.
Penutup
Sesungguhnya skeptisisme berawal
dari keinginan untuk terus-menerus menguji hasil pencapaian ilmu manusia tanpa
pernah merasa puas. Dalam batas-batas ini, Islam pun mengajarkan ummatnya untuk
terus mencari ilmu dan pada saat-saat tertentu boleh “curiga” terhadap
informasi yang datang kepadanya. Namun perkembangan skeptisisme menjadi paham
yang menafikan tercapainya pengetahuan yang pasti bagi manusia ataupun paham
yang menyatakan bahwa kebenaran itu relativ jelas membahayakan akidah ummat.
Apabila pemahaman seperti ini diterapkan ke dalam ajaran Islam, maka akan
timbulah paham-paham menyimpang. Misalnya pluralisme agama. Olehnya. ulama pun
memberikan respon terhadap skeptisisme yang jelas-jelas lahir dari peradaban
Yunani, tapi kemudian menginfeksi pemikiran sebagian umat Islam. Demikianlah,
adalah tugas ulama untuk melindungi akidah dan cara berpikir umat agar selalu
tuntunan ajran Islam.
[1] Penulis adalah
alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah PP. Muhammadiyah Yogyakarta dan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[3]Julia Annas. The
Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations. (Cambridge
University Press, 1985) hal 1
[4] Kumara Ari Yuana, The Greatest
Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang
Menginspirasi Dunia Bisnis (Yogyakarta : Penerbit Andi, 2010) hal 82
[5] Barry Stroud, The Signicance of Philosophical Scepticism, (New
York : Oxford University Press, 1984) hal vii
[6] Annas. The
Modes of Scepticism: Ancient Texts and Modern Interpretations, hal 1
[7] Jamaluddin
Abul Faraj Abdurrahman Ali bin Muhammad al-Jauzi, Talbis al-Iblis, (Beirut
: Dar al-Fikr, 2001) Vol 1, hal 38.
[9] Muhammad bin
Abdillah Abu Bakar Ibnul Arabi
al-Maliki, an-Nash al-Kamil li Kitab al-‘Awashim min al-Qawashim, (Kairao
: Dar at-Turats, tt) vol I hal 11.
[11] Sa’ad ad-Din
at-Taftazani, Syarh Aqaid an-Nasafiyah, terj Earl Edgar Elder, A
Commentary on the Creed of Islam, (New York : Columbia University Press,
1950) hal 3
[14] Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, Islam dan
Sekularisme terj dari Bahasa Inggris oleh Khalif Muhammad, (Bandung :
Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan, 2011), hal 171
*tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tabligh edisi ... ah udah lupa hehe, dimuat ulang di sini untuk kepentingan pendidikan dan dakwah..