Umat Butuh Tauhidnya Ibrahim dan
Ismail
Tergerusnya Nilai Tauhid
Pada tanggal 16, agustus 2015 telah diadakan
Parade Tauhid Indonesia. Edy Mulyadi, selaku ketua Panitia I menjelaskan adanya
fenomena tergerusnya nilai-nilai tauhid dalam kehidupan masyarakat. Hal itu
kemudian, menjadi sebab terpuruknya negara mayoritas muslim terbesar di dunia
pada segala bidang. Diharapkan, dengan kegiatan ini, bangsa Indonesia kembali
sadar bahwa nilai-nilai ketauhidan merupakan pondasi sekaligus solusi dari
problem yang ada. (Hidayatullah.com)
Tergerusnya
nilai-nilai tauhid yang disampaikan oleh Edy Mulyadi, sejatinya memang harus
dianggap persoalan yang serius. Sebab faktanya, upaya sekularisasi di bumi
pertiwi, negara yang menjadikan “Ketuhanan yang maha Esa” sebagai salah satu
dasar negara, sudah sangat mengkhawatirkan. Beberapa fakta terlihat bagaimana
pandangan hidup masyarakat yang -secara sadar maupun tidak- mulai menyisihkan
nilai agama dalam kehidupan. Sebagai contoh, bagaimana MUI, corong suara ulama
justru menuai kritik yang tajam ketika
hendak menjaga umat dari perilaku yang ditentang agama. Seperti ketika
mengeluarkan fatwa adanya unsur gharar dalam program BPJS, juga fatwa
haram LGBT atau perkawinan beda agama yang dianggap melanggar HAM atau/dan
DUHAM.
Bahkan belum
lama ini, Musdah Mulia, di akun Facebooknya (Musdah Mulia II) secara tidak langsung mengganggap tidak pentingnya
pelajaran agama di sekolah. Adanya upaya legalisasi perzinaan dan miras juga
mulai diusahakan oleh salah satu pihak pemerintah. Melihat kenyataan ini, maka
sangat berasalan sekali Dr. Mawardi dalam bukunya fiqih al-Aqalliyat dan
Evolusi Maqashid Syari’ah, menyatakan bahwa, dari segi kwantitas muslim
Indonesia adalah mayoritas, tapi dari segi ketaatan, adalah pihak minoritas. Ketaatan
kepada nilai ketauhidan, dengan demikian menjadi barang mahal dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Nilai Tauhid dalam Relasi Ibrahim-Ismail
Berbicara
tentang nilai Tauhid yang utuh, dalam al-Qur’an telah ada dua ikon sebagai
teladan, yaitu Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alahima as-Salam. Dua Nabi yang
mulia ini, oleh Allah sama-sama disebut sebagai orang jujur dalam keberimanan
mereka (Maryam: 41 dan 42). Dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim, ketika telah
mendapatkan kebenaran dari Allah, langsung mewujudkan kebenaran itu dengan
mengajak ayahnya untuk menegakkan ibadah hanya kepada Allah swt dan
meninggalkan segala bentuk kesyirikan (Maryam:41).
Sama halnya
dengan Ibrahim, Nabi Ismail juga dinyatakan sebagai Nabi yang menegakkan ibadah
sebagai perwujudkan kenabian dan kerasulannya, baik untuk dirinya juga untuk
keluarganya (Maryam: 42). Mereka juga sama-sama mewujudkan keimanan dan
ketauhidan tersebut dengan mendirikan pondasi-pondasi yang nantinya menjadi
rumah Allah, pusat peribadatan umat muslim hingga sekarang (al-Baqarah: 127).
Tidak hanya
memiliki relasi ketauhidan yang sama, antara keimanan Nabi Ibrahim dan Ismail juga saling
menguatkan satu sama lain. Dikisahkan bagaimana ketika Nabi Ibrahim meminta
pendapat anaknya atas petuah Allah untuk menyembelih dirinya sebagai bentuk
ujian keimanan, Ismail, selaku Nabi dan seorang anak langsung menguatkan
keyakinan ayahnya untuk melaksanakan perintah tersebut (as-Shaffat: 102).
Jawaban yang tegas dari Nabi Ismail tentulah menjadi sumber terbesar dan
penguat keyakinan.
Anas Ismail Abu
Daud dalam kitabnya dalil as-Sa’ilin, memberikan penjelasan bahwa
sebenarnya nilai keimanan dan ketauhidan adalah tidak semata sebuah
kepercayaan. Sebab aspek tauhid dan iman yang harus dipenuhi meliputi tiga
unsur. Pertama, pernyataan dengan lisan, kedua ketetapan dengan hati dan ketiga
pembuktian dengan perbuatan. Aplikasi tauhid seperti inilah yang senyatanya
dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail. Ikrar atas kebenaran ilahi yang
mereka dapatkan ditunjukkan dengan berbagai macam perjuangan. Mulai dari
meniadakan segala hal di atas ketaatan kepada Allah, mengajak satu sama lain
untuk mengaplikasian ketauhidan tersebut, hingga saling menguatkan dalam
mewujudkan ketaatan. dalam hadis Rasulullah juga dinyatakan bahwa nilai
keimanan yang paling puncak adalah kalimat ketahuidan, yang tentunya tidak
hanya sebatas kalimat tapi sebagai pegangan hidup.
Kesimpulan
Belajar dari
relasi ketauhidan dua manusia mulia ini, maka harusnya Masyarakat Muslim
Indonesia sudah mengetahui bagaimana menghayati keimanan dan ikrar
keberislamanan mereka. Setidaknya ada dua bentuk perwujudan. Pertama, ketaatan
atas nilai-nilai ilahiyah yang tertuang dalam ajaran yang diridhoiNya adalah
ketaatan puncak yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Naquib al-Attas pernah
menyatakan bahwa, Loyalitas seorang manusia harus diberikan kepada Tuhannya,
meski negara dan pemerintahan datang silih berganti. Senada dengan itu, Adian
Husaini juga berpendapat, muslim apapun, dengan keislaman mereka harusnya sudah
pasti menolak tindak perzinaan, homoseksual, korupsi, kezaliman dan sebagainya,
tanpa alasan apapun yang dicari-cari, cukup karena hal itu sebagai perwujudan
ketaatan atas tauhid kepada Allah swt.
Kedua, ketaatan atas nilai-nilai tauhid antara satu muslim dengan
muslim yang lainnya haruslah sama dan saling menguatkan. Dengan itu maka umat
Muslim di Indonesia harus saling mendukung tidak hanya dalam laku kebajikan
sosial, melainkan juga dalam upaya menegakkan ketakwaan. Tidak justru malah
menyalahkan bahkan melemahkan pihak yang sudah berupaya merealisasikan nilai
keislaman, dengan dalih-dalih kemanusiaan, toleransi dan hak asasi yang
ternyata, bertentangan dengan nilai kemanusiaan, toleransi dan hak asasi yang
dipandang dalam Islam. Nilai ketahuidan harus menjadi pandangan hidup, tidak
hanya bagi individu tertentu, tapi untuk seluruh masyarakat.