Rakyat
Indonesia tentunya tidak akan lupa dengan
poin keempat dari sembilan agenda prioritas “Nawa Cita” yang dijanjikan oleh Presiden terpilih Jokowi-JK, yaitu menolak
negara lemah dengan melakukan sistem dan penegakan hukum yang bebas dari
korupsi.
Upaya merealisasikan poin tersebut ditemukan dari beberapa penanganan
kasus, di mana pelaksanaan hukum indonesia terlihat “garang” tanpa pandang bulu
. Mulai dari pengeboman kapal asing yang melakukan ilegal fishing. Hingga
proses pengadilan seorang nenek yang terjerat
kasus pencurian 28 papan kayu jati milik perhutani. Pelaksanaan hukum
tersebut sepintas menunjukkan bahwa pemerintah tidak main-main dalam mewujudkan
hukum Indonesia yang tegas dan efektif.
Namun,
di tengah usaha untuk mewujudkan agenda tersebut, mata rakyat Indonesia tidak
bisa ditutupi dari penyakit “tebang pilih” dan “lancip ke bawah tumpul ke atas”
yang menciderai penegakan hukum. Seperti
pada kasus Asyani. Nenek miskin yang hingga persidangan ketiganya harus duduk
bersimpuh dan menangis di depan majelis untuk
memohon ampun atas perbuatannya, tetap dengan keras didakwa dengan dera lima
tahun penjara.
Tegasnya pelaksanaan hukum itu justru tidak didapati bahkan
terkesan layu dan tidak berdaya apa-apa pada kasus yang sama dengan skala
kejahatan yang lebih besar. Seperti kasus Bob Hasan, pelaku illegal logging kelas
kakap yang dijuluki raja kayu, ternyata bisa menikmati udara segar di luar
penjara setelah mendapatkan bebas bersyarat melalui surat edaran departemen
kehakiman dan HAM nomor 3 E 46997 PK 6405 2004, (suaramerdeka.com)
Lemahnya
realisasi penegakan hukum yang adil juga terlihat dari penanganan kasus
terorisme dan narkoba di Indonesia. Bukan rahasia lagi, jikalau penanganan
terhadap orang-orang yang baru dicurigai sebagai teroris dilakukan secara brutal. Semisal kasus
seorang guru yang diduga teroris ditembak mati ketika sholat di depan istrinya.
Mengenai hal tersebut Dr. Nurhadi, pakar politik Islam universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga mengatakan “mereka kembali menggunakan pendekatan barbaric,
yang ini sudah usang”. Sayangnya, pendekatan barbaric ini ternyata tidak
diterapkan pada kasus penanganan narkoba yang tidak kalah mendesaknya. Hingga
kini masih saja adanya tarik ulur eksekusi mati para pengedar narkoba dari Australia
yang telah didakwa. Padahal, jika dilihat dari aspek kejahatan, korban penyalahgunaan
narkoba mencapai 5,8 jiwa sebagaimana
yang disampaikan oleh menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Tentu hal ini
menjadi bukti kuat bahwa penanganan Narkoba harusnya lebih atau setidaknya sama
dengan penanganan kasus terorisme.
Apalagi
terkait dengan korupsi kelas kakap yang sampai hari ini tidak menemui ujung
pangkal penyelesaian. Tidak hanya ditutup-tutupi, ternyata upaya penegakan
tindak korupsi secara terang-terangan dipersulit bahkan dikriminalisasikan. Bukti
real yang bisa ditemukan adalah kasus dijeratnya calon Kapolri Presiden Joko
Widodo, Budi Gunawan oleh KPK sebagai pelaku korupsi.
Upaya penanganan kasus
tersebut ternyata membuka pertikaian antara cicak dan buaya jilid dua bahkan
mengantarkan Abraham Samad sebagai ketua lembaga musuh korupsi tersebar di indonesia
tersebut di ujung kariernya bahkan menjadi bulan-bulanan media dengan
beredarnya “fitnah” foto-foto tidak senonoh pembesar kpk tersebut dengan
seorang perempuan.
Kenyataan
“wajah” penegakan hukum di Indonesia ini, tentu memberi kesadaran bahwa terlalu
dini untuk mengatakan janji era Jokowi-JK terkait penegakan hukum sudah
terlaksana dengan baik. Berlalunya 100 hari kepemimpinan era sekarang justru
memperlihatkan penyakit lama pelaksanaan hukum Indonesia yang semakin lama
semakin mendekati stadium kritis. demonstrasi semisal yang dilakukan Aliansi
Bali anti korupsi menunjukkan kesadaran masyarakat terkait hal ini. Sehingga
jika virus “tebang pilih” dan “lancip ke bawah tumpul ke atas” ini tidak segera
diberantas, sulit mengharapkan era Jokowi-JK bisa merealisasikan penegakan
hukum yang adil dan efektif.
*tulisan ini pernah dimuat di islampos.com, dimuat ulang di blog ini untuk kepentingan amar makruf.
*tulisan ini pernah dimuat di islampos.com, dimuat ulang di blog ini untuk kepentingan amar makruf.