Sebenarnya, artikel ini hanya merupakan letupan ide dan dialektika
dalam pikiran penulis, sehingga motif penulisan ini hanyalah membuka
ruang-ruang diskusi, bukan untuk dijadikan pedoman, kecuali seorang yang
otoritatif mengamini argumen-argumen yang saya kemukakan. Penulis
sepenuhnya memahami posisi penulis yang hanya seorang mahasiswa S-1.
Artikel ini akan membicarakan soal Tragedy of Commons/Tragedi
Kepemilikan Bersama (Hardin, 1968). Tema ini masuk dalam sub-tema Game
Theory/ Teori Permainan dalam Ilmu Ekonomi Kontemporer. Sebagaimana kita
tahu bahwa Ilmu Ekonomi Kontemporer telah mengalami perkembangan hingga
menjadi sedemikian teknis dengan pesona-pesona kerumitan matematis.
Seorang profesor emeritus di kampus kami misalnya dalam suatu kelas,
seperti membanggakan bahwa teknis matematika-kalkulus dalam Ilmu Ekonomi
Kontemporer, pada tingkat tertentu, bahkan mengalahkan kerumitan di
bidang ilmuTeknik. Namun kita akan lebih dahulu membahas pada tataran
konsep.
Tragedi Kepemilikan Bersama mengacu pada konflik
atas sumber daya yang terbatas, yang merupakan akibat kepentingan
egoistis pada tiap pelaku ekonomi dan prinsip barang publik yang
harusnya bisa dikonsumsi oleh siapa saja. Hasil dari konsep ini akan
menjelaskan fenomena kerusakan lingkungan menurut Ilmu Ekonomi
Kontemporer. Contoh yang diberikan Hardin adalah soal padang rumput bagi
para penggembala. Diasumsikan bahwa tiap penggembala ingin
memaksimalkan pendapatan mereka, menambah gembalaan mereka sebanyak
mungkin di padang rumput. Tiap tambahan gembalaan, akan memberi dampak
positif pada penggembalanya, namun ada biaya dari berlebihnya gembalaan
yakni rusaknya kualitas rumput, yang pada akhirnya kerugian tersebut
dirasakan oleh semua penggembala.
Berdasarkan asumsi di atas, dibangunlah model matematika sebagai berikut:
vi merupakan hasil (payoff) bagi individui, yang merupakan fungsi dari ki konsumsi rumput bagi individu satu, K adalah total pada rumput yang tersedia, sedangkan
adalah rumput yang tersisa dari konsumsi individu i dan individu lain.
Untuk memaksimalkan digunakanlah turunan pertama, dan ditemukanlah hasil
Nash Equilbirum optimal sebanyak K/3 (dengan asumsi ada 2 individu/penggembala).
Di
sisi lain, terdapat isu soal sudut pandang masyarakat (bersama) sebagai
alternatif (kalau bukan lawan) dari sudut pandang individu, yang
dijelaskan di atas. Dengan asumsi, kesejahteraan sosial (w) adalah
kumpulan hasil (payoff) bagi semua individu (berdasar kriteria Pareto),
dibangunlah model matematika sebagai berikut:
Untuk memaksimalkan digunakanlah turunan pertama, dan ditemukanlah hasil Pareto Optimal sebanyak K/4 (dengan asumsi ada 2 individu/penggembala).
Dengan kedua hasil terlihat, terlihat adanya pertentangan kepentingan
individu dan masyarakat. Sehingga Hardin menawarkan bahwa harus adanya
sosok pemerintah untuk melakukan regulasi, karena dengan membiarkan
sudut pandang individu egoistis (sebagaimana model pertama), akan
terjadi kerusakan (tentu bagi sudut pandang masyarakat).
Kepentingan Individu vs Kepentingan Masyarakat : Dualismekah?
Dengan menyarankan pemerintah turun tangan, maka Hardin akan
memenangkan “kepentingan masyarakat” di atas kepentingan individu.
Pikiran penulis kemudian bertanya, benarkah demikian? Benarkah ada dua
kepentingan yang satu sama lain pasti bertolak belakang? Bagaimana
dengan Islam? Sebagai salah satu mahasiswa dia antara ribuan mahasiswa
yang sempat mencicipi suguhan pemikiran SMN Al-Attas, kita mengenal
diagnosa oleh Ulama kita ini mengenai “penyakit” Kebudayaan Barat. Salah
satu wajah Kebudayaan Barat ialah, Dualisme.
“Intisari
falsafah hidup Kebudayaan Barat ini berdasarkan kepada penerimaan faham
dualisme,atau penduaan yang mutlak peri hakikat, termasuk penduaan
nilai kebenaran,sebagai kenyataan yang dianggapnya benar dan mutlak.”
(Al-Attas, RUKM, 20)
Dalam kasus ini, kami
menganalogikan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat sebagai
dua nilai kebenaran yang terpisah dan berlawanan (sebagaimana yang
disebut Al-Attas). K/3 adalah benar bagi individu, dan K/4 adalah benar
bagi masyarakat. Meskipun Hardin pada akhirnya menyarankan agar adanya
sosok pemerintah sebagai regulator yang memenangkan kepentingan
masyarakat, tetap saja bagi individu (atau perusahaan), kepentingannya
untuk menjadi egoistis mendapat justifikasi dari teori ini. Bagi
individu, kepentingan masyarakat hanyalah urusan pemerintah-bukan urusan
mereka, dan mereka tetap dengan pandangannya untuk memaksimalkan
kepentingan egoistisnya. Hardin juga pada akhirnya harus berharap pada
adanya sosok pemerintah yang benar-benar pro kepentingan masyarakat
untuk melawan individu-individu egoistis. Dan ini sangat utopis dalam
praktik di dunia demokrasi, dimana pemerintah mendapat mandat dari suara
mayoritas rakyat. Rakyat yang terdiri atas manusia-manusia egoistis
yang selalu akan memaksimalkan keuntungannya (menurut teori ini) tentu
akan hanya memilih calon pemerintah yang akan melicinkan kepentingan
egoististis mereka!
Tawaran Lain
Dalam Islam, kita diajarkan bahwa setiap kegiatan kita hanyalah untuk
beribadah pada Allah SWT. Beribadah pada Allah SWT adalah berdasar
syariat Islam, tiap pengamalnya akan mendapat pahala, dan pelanggarnya
akan mendapat dosa. Selain itu setiap amalan kita haruslah ikhlas,
sebagai syarat untuk diterima Allah SWT.
Keadilan dan
kebenaran dalam Islam adalah hubungan yang intim antara individu dengan
Allah, berbeda dengan Barat yang mengukur bahwa keadilan dan kebenaran
adalah baru terjadi pada hubungan masyarakat dan pemerintahnya.
Dengan
adanya syariat, ukuran sekuler yakni versi masyarakat atau individu
(sekuler) yang akan menimbulkan dualisme ini tidak lagi relevan.
Misalnya, jika seseorang bermuamalah jual-beli dengan curang, dia akan
merugikan dirinya sendiri (dosa) karena melanggar syariat juga merugikan
orang lain (kerugian materiil pembeli, praktik curang yang dia lakukan
bisa dicontoh orang lain akhirnya meluas di masyarakat,dan lain-lain).
Bahkan berkaitan dengan ibadah sholat, ia tidak hanya bermanfaat bagi
individu pelakunya, namun juga bagi masyarakat. Pelaku yang tidak sholat
tidak hanya merugikan dirinya (dosa) namun juga masyarakatnya (dalam
kasus) apabila kemudian perbuatannya tersebut menjadi contoh di
masyarakatnya. Belum lagi jika dimasukkan dimensi adanya azab Allah pada
para pelaku maksiat yang akan berdampak pada seluruh masyarakat (shalih
maupun yang zalim). Memang betul bahwa dalam sejarah dunia Islam juga
terdapat perilaku zalim dari tiap penguasa dan masyarakatnya. Sama juga
seperti di Barat. Namun, setidaknya dalam tataran konsep soal kebenaran
dan keadilan, Islam sudah jelas memberikan gambaran yang jelas,
sistematis, dan tidak kontradiktif- tidak seperti konsep kebenaran
dualistik ala Hardin yang telah kami jelaskan.
Demikianlah
Islam menawarkan konsep yang tauhidi, bukan dualistis. Namun timbul
pertanyaan, jika kita sudah mengetahui konsep Islam yang berbeda, apakah
dapat lahir model ekonomi matematis yang khas Islam? Bukankah ini salah
satu cara untuk mengejar ketertinggalan kita dibanding Ilmu Pengetahuan
Kontemporer ala Barat sekarang? Bukankah dengan adanya model matematis,
indeks, variabel, dsb, Ilmu Pengetahuan Kontemporer selama lebih bisa
memberikan gambaran lebih pasti untuk melaksanakan sebuah kebijakan
pemerintah? Pertanyaan-pertanyaan tersebut ada baiknya kita akan
diskusikan pada kesempatan mendatang.
Wallahu a’lam bisshawab.
Sumber :
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, 2001
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Risalah Untuk Kaum Muslimin, 2001
Steven Tadelis, Game Theory: An Introduction, 2013