Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » , » Misrepresentasi Muslimah Dalam Wacana Feminis (1)

Misrepresentasi Muslimah Dalam Wacana Feminis (1)

Written By apaaja on Sabtu, 18 Oktober 2014 | 18.38.00

Buku ini membongkar bagaimana fantasi dan obsesi  kolonial Prancis
terhadap Muslimah di aljazair.  
bislimllah.. lama tidak ngepos, kita mulai lagi dengan wacna feminisme yak.. kali ini tentang "misrepresentasi" muslimah di dalam wacana feminisme dan apa yang perlu kita lakukan untuk melawannya. Misrepresentasi itu sederhananya adalah sebuah penggambaran yang salah tentang pihak lain yang merugikan pihak tersebut. Seperti kalo kamu menggambarkan orang SulSel..\ itu jelek semua hanya gara-gara melihat muka saya, atau dengan ambisi agar kamu punya alasan untuk memaksa mereka semua melakukan oprasi plastik sebab kamu adalah dokter bedah plastik... aduh, semoga perumpamannya nyambung ya.. okedeh cekdisbroo..!
ohya, tulisan ini dibuat dua part, biar nggk kepanjangan :D
_________________________________________________________________________________
Ada hubungan yang kuat antara feminisme dan semangat kolonialisme Barat. Feminisme dianggap mewarisi semangat sarjana kolonial dalam merepresentasikan “yang lain” dengan citra inferior. Kritik tersebut berasal dari para feminis poskolonial yang muncul dibawah pengaruh tulisan-tulisan Edward Said seperti Orientalism dan Culture and Imperialism.[1] Di dalam karyanya, Said menunjukan bahwa sarjana-sarjana Orientalis lebih memilih membuat sebuah representasi imajiner yang negatif tentang timur dari pada meneliti gambaran yang sesungguhnya.[2] Feminisme Barat dituduh menempuh cara yang sama, Chandra Talpade Mohanty, salah satu feminis poskolonial terkemuka menunjukan representasi perempuan lain di dalam tulisan feminis Barat sebagai berikut ;

This “Average Third World” woman leads an esentially truncated life based on her feminine gender (read ; sexually constrained) and her being “Third World” (read : ignorat, poor, uneducated, traditional .....)  This is contrast to the impicit self-representation of Western woman as educated, as modern, as having control over their own bodies and sexualities and the freedom to make their own decisions.[3]  

Gambaran di atas oleh Mohanty disebut imaji“The Average Third World women” yakni  hasil dari pandangan feminis Barat yang menganggap perempuan tertindas di seluruh dunia adalah fenomena homogen. Mereka lalu membuat gambaran imajiner tentang perempuan-perempuan tersebut sembari menggambarkan diri dalam citra yang kontras ; maju, berpendidikan dan independen. Gambaran ini juga diperoleh dari feminis non-Barat yang mempergunakan pendekatan feminis Barat[4]. Berdasarkan penggambaran yang terdistorsi dan berbau imperialistik semacam itulah, para feminis menjalankan program-programnya di negara diluar Barat. Sehingga tidak mengherankan bila memajukan perempuan disamakan dengan westernisasi. Hal tersebut juga berlaku di dunia Islam.
Dalam konteks dunia Islam, misrepresentasi (penggambaran yang salah) Barat terhadap muslimah bisa dilacak jauh sebelum lahirnya feminisme. Mohja Kahf[5] melacak  representasi muslimah di dalam karya-karya di Barat mulai dari abad pertengahan hingga periode romantisisme. Ia menemukan adanya perubahan signifikan representasi muslimah di dalam narasi Barat dari waktu ke waktu yang merupakan produk dari perkembangan kebudayaan Barat serta perubahan perimbangan kekuatannya dengan dunia Islam.[6] Represetnasi tersebut bisa dibagi di dalam tiga kurun, masa Abad Pertengahan, Renaisans dan masa kolonial.
 Di dalam narasi abad pertengahan ketika peradaban Islam jauh mengugguli Barat, muslimah muncul di dalam karya sastra sebagai sosok Termagant, seroang ratu berwibawa yang memiliki kekuatan menakutkan. Gambaran ini kemudian berubah menjadi perempuan yang liar dan sensual ketika mulai terjadi konflik dengan peradaban Islam. Citra liar dan sensual itu diteruskan pada masa Renaisans selain adanya citra terkungkung agama. Akhirhya pada masa kolonial, munculah gambaran perempuan yang tertindas, terkurung di dalam harem dan menjadi korban kekolotan sekaligus memiliki pesona seksual yang menggoda[7]. Gambaran muslimah dari masa kolonial inilah yang hingga saat ini masih bertahan di dalam budaya pop ataupun dokumenter yang diproduksi di Barat.[8]
Sebagaimana budaya pop dan media Barat yang mewarisi representasi muslimah ala sarjana kolonial, feminisme pun terjebak di dalam bias tersebut. Etnosentrisme yang berada di belakang representasi feminisme Barat terhadap muslimah dianggap oleh Fedwa el-Guindi berakar dari warisan kolonial tersebut.[9] Akibatnya, mereka meyakini bahwa akar ketertinggalan muslimah terletak di dalam agama mereka yang terbelakang, sehingga solusi yang ditawarkan pun adalah sebuah upaya modernisasi yang lagi-lagi sejajar dengan westernisasi. Sebab nilai-nilai Barat selalu dianggap mewakili kemajuan, sebuah pandangan yang lahir dari perkawinan kolonialisme dengan feminisme.[10]
Analisis Jasmin Zine terhadap beberapa karya feminis yang menggambarkan muslimah menegaskan corak kolonialis, termasuk mereka yang sudah berupaya keluar dari kungkungan paradigma kolonial itu. Zine memberikan contoh tentang karya Geraldine Brooks ,jurnalis feminis dari Australia, berjudul Nine Parts of Desire. Di dalam buku itu Brooks selalu memulai babnya dengan sebuah ayat al-Qur’an untuk menujukan bahwa representasinya terhadap muslimah  memang berangkat dari teks paling otoritatif di dalam Islam. Namun demikian, di dalam karyanya tersebut, Brooks masih sangat bias. Ketika ia menggambarkan jilbab misalnya, secara halus Brooks menggunakan apa yang disebut Zine sebagai “metaphorical violence”untuk mentrasnfer bias negatifnya tentang jilbab kepada pembaca.[11] Hal yang sama juga terjadi pada penulis lain yang disurvei Zine.

Misreprsentasi ini menimbulkan reaksi dari sekelompok cendikiawan Islam, mereka memunculkan Feminisme Islam, tapi berhasilkan feminisme Islam itu mengakhiri misrepresentasi muslimah? Akan dipaparkan di part 2  (klik untuk baca hehe)

[1] Sara Mills, “Teori Feminis Poskolonial” dalam Stevi Jackson dan Jackie Jones, Teori-Teori Feminis Kontemporer, (Yogyakarta : Jalasutra, 2009), hal. 169.
[2] Said menunjukan bahwa citra tentang Timur di dalam imajinasi kolektif Barat bisa dilacak dari karya-karya sastra pada masa konflik Yunani-Persia hingga laporan-laporan dan kerja intelektual tentang Islam. Mereka membuat garis imajiner yang tegas antara dua benua, dimana Timur digambarkan eksotis menggoda tapi sekaligus meneror, lalu menjadi yang kalah dan terbelakang, lihat Edward Said, Orientalism, (London : Penguin, 1977), hal 56 – 97.
[3] Chandra Talpade Mohanty, Feminism Without Borders ; Decolonizing Theory, Practicing Solidarity, (Durham & London : Duke University Press, 2003), hal 22
[4] Ibid, 18.
[5] Seorang guru besar sastra kelahiran Damaskus yang kini tinggal di Amerika.
[6] Mohja Kahf, Western Representations of the Muslim Woman: From Termagant to Odalisque, (Austin : University of Texas Press, 2010),  hal 2
[7] Gambaran tersebut bahkan dipertegas dengan menerbitkan serangkaian kartu pos yang menampilkan muslimah berjilbab tapi digambarkan seksi, menampakan payudara dan senyum sensual, lihat,. Malek Alloula, The Colonial Harem, (Mennapolis : University of Minnesota Press, 1986), hal 105 – 106.
[8] Mohammed Azaouibaa, The Representation of Muslims in Western  Documentaries, (Fes : Sidi Mohamed Ben Abdellah University, 2013), hal 29.
[9] Fedwa el-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan, (Jakarta : Serambi, 2003), hal 57
[10] Mihret, Woldesemait,. Unfolding the Modern Hijab: From the Colonial Veil to Pious Fashion.Diss. (Trinity College, 2013), hal 25.
[11] Jasmin, Zine. "Muslim Women And The Politics Of Representation." American Journal of Islamic Social Sciences 19.4 (2002), hal 11
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template