Bismillah, tulisan berikut adalah tulisan teman admin di PKU VIII, namanya M. Faqih Nidzom/ PKU VIII, kader ustad Hamid Fami di UNIDA Gontor , selamat menikmati. Ohya, sebelumnya saya berikan kutipan pencerahan dari seorang intelektual Islam, Habib Siddiqui ;
Standing over the carcass of Western Humanism with its deadly attachment and preference for materialism, man is gradually stripping himself of spirituality. Habbib Siddiqui, 2007 (Al-Munabbihat — The Counsel, Islamic Books Trust, KL
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Humanisme dan Dekonstruksi Syariah
Humanisme merupakan doktrin filosofis
yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu.[1] Doktrin
ini semakin menguat seiring kuatnya hegemoni Barat terhadap negara-negara
berkembang, kususnya negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti
Indonesia. Doktrin ini mempengaruhi beberapa pemikir Islam kontemporer. Dampaknya,
dalam pandangan mereka satu-satunya solusi agara masyarakat muslim bangkit dari
ketertinggalan, harus melakukan reformasi syari’ah. Karena, bagi mereka banyak
ketentuan-ketentuan syari’ah yang tidak sesuai dengan konteks sosial saat ini.
Ketentuan-ketentuan tersebut bagi mereka hanyalah cerminan dari budaya Arab.
Bahkan Al-Qur’an pun yang merupakan sumber utama syari’ah, di mata mereka
hanyalah hasil interpretasi manusia.[2] Dengan
demikian, maka syari’ah harus disesuaikan dengan konteks dan realitas masyarakat
saat ini. Bahayanya, pandangan tersebut tidak hanya berlawanan dengan pandangan
Islam, tapi akan menimbulkan problem baru dalam ketentuan hukum Islam.
Humanisme lahir dari tradisi Barat.
Paham ini menjadikan manusia sebagai subjek sentral dalam menentukan semua
kebijakan tentang relasi manusia dengan alam semesta, relasi sesama manusia.
Dalam pandangan Barat, sebagaimana dikatakan Spinoza, Goethe, Hegel serta Marx,
hakekat kehidupan manusia adalah apabila dia menguasai dunia di luar dirinya.[3] Dengan
perangkat rasio yang dimilikinya, manusia mampu menentukan sendiri cara
menyikapi kehidupan dan menentukan standar moralnya sendiri tanpa perlu
melibatkan agama ataupun Tuhan.[4]
Doktrin tentang superioritas manusia ini pada gilirannya menafikan peran dan
keberadaan Tuhan. Hal ini tergambar dari beberapa pemikir Barat yang menegaskan
hal tersebut. Jean Paul Sartre
menyatakan, “Kalau kita menerima manusia sebagai yang paling unggul, maka Tuhan
tidak ada”.[5]
Bahkan Nietzsche lebih dahsyat lagi, dia memproklamirkan penghapusan Tuhan
dalam diri manusia, dengan menyatakan, “Tuhan sudah mati”. Nietzsche membunuh
Tuhan dalam bentuk apapun, sehingga tidak ada ruang yang tersisa dalam diri
manusia dan alam semesta bagi Tuhan. Jadi, keberadaan Tuhan bagi masyarakat Barat
merupakan musuh yang harus dimusnahkan.[6]
Bagi humanisme, kebebasan menjadi nilai
yang harus dijunjung tinggi. Dan penyingkiran peran agama dan keberadaan Tuhan
dalam humanisme merupakan cita-cita untuk keluar dari ketundukan pada segala
bentuk otoritas. Semangat kebebasan ini kemudian mewarnai segenap sisi
kehidupan masyarakat Barat, baik segi sosial, ekonomi, politik, ilmu
pengetahuan dan bidang lainnya. Dari sinilah kemudian muncul gerakan
liberalisme di Barat.[7] Di samping kebebasan, humanisme juga
meniscayakan relativisme. Bagi humanisme masing-masing manusia dianggap
mempunyai ukuran kebenaran sendiri-sendiri, sehingga menapikan kebenaran
absolut.[8] Dengan
demikian, humanisme tidaklah relevan diaplikasikan dalam Islam, bahkan akan
merusak tatanan hukum Islam.
Belakangan beberapa pemikir Islam
mengadopsi dotrin humanisme tersebut. Doktrin ini berimplikasi pada Dekonstuksi
syari’ah yang dilakukan dengan desakralisasi syari’ah, sebagaimana dilakukan
Abdullahi Ahmed An-Na’im.[9] Bagi
An-Na’im syari’ah tak lain hanyalah produk sejarah yang dibangun manusia, yang
terus mengalami evolusi untuk penyesuaian dengan realitas. Menurutnya pula,
syariah hanyalah bentuk diskriminasi. Dalam hal aplikasi syariah ia menyatakan sebagai
berikut:
“…keterkaitan
antara syariah dan pelanggaran HAM di Sudan adalah aplikasi syariah yang
terjadi sebelumnya sebagai hukum waris. Mengingat fakta bahwa syariah tidak
menjamin kesetaraan dan non diskriminasi yang fundamental bagi semua standar
HAM. … Sebagaimana saya tegaskan di tempat lain, adalah mungkin, justru malah
keharusan menurut saya, mengkritik dan memperbarui aspek syariah ini dari sudut pandang Islam”.[10]
Dalam pandangannya, andaikan kaum Muslim
tetap memaksakan untuk menerapkan syariat Islam tersebut, mereka akan mengalami
kerugian karena tidak dapat mengecap manfaat sekularisasi. Dan menurutnya, yang
paling merasakan kerugian ini adalah masyarakat non-Muslim dan kaum wanita.
Bagi masyarakat non-Muslim mereka akan menjadi masyarakat kelas kedua, dan bagi
wanita pula mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Tapi
kaum lelaki pun, katanya, juga akan merasakan dampaknya, sebab mereka
akan kehilangan kebebasan karena disekat berbagai undang-undang.[11] Dari
sini terlihat jelas bahwa An-Na’im mendesakralisasikan syariah, yang menurutnya
bisa diubah.
Selanjutnya, dekonstruksi syari’ah ini
dilakukan dengan menggugat otoritas ulama. Misalnya Abû Zayd melontarkan
tuduhan kepada Imam Syafi’i yang berkenaan dengan metodologi hukum Islam, yang
diangggap oleh Abu Zayd sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan hegemoni
ke-Quraysy-annya. Mereka tidak ingin terkungkung dengan segala metodologi yang
hasilkan oleh para ulama terdahulu.[12] Apa
yang dilakukan oleh beberapa pemikir ini mengindikasikan bahwa mereka anti
otoritas. Dekonstruksi syari’ah juga dilakukan melalui kritik sejarah atau
kontekstualisasi ijtihad. Metodologi istinbat hukum (Usul Fiqih) yang ada saat
ini, dianggap tidak relevan dan bersifat subyektif-ideologis, sehingga memerlukan metodologi yang lebih obyektif. Salah
satu pendekatan yang dianggap obyektif adalah pendekatan sejarah.[13]
Hasilnya, bebarapa kasus yang berkaitan dengan syari’ah yang ada di Indonesia,
seperti mengharamkan poligami, menghalalkan nikah beda agama, masa iddah, penghalalan
pernikahan sesama jenis, dsb.
Inilah beberapa stategi yang dilakukan
untuk mendekonstruk syaria’ah. Semua cara tersebut mempunyai semangat yang sama
dengan apa yang menjadi doktrin dalam humanisme. Sehingga kalau ini
dilanjutkan, maka yang ada bukan lagi syari’ah tapi paham humanisme. Bisa
dikatakan ini merupakan strageti paling jitu dalam membaratkan Islam.[14] Akibatnya,
humanisme dengan doktrinnya menjadikan manusia ukuran segala sesuatu (antroposentris),
anti terhadap agama (ateis), menjunjung tinggi kebebasan, menolak semua bentuk
otoritas, dan meniscayakan relativisme, akan menghasilkan hukum-hukum yang
bertentangan dengan Islam. Dari sini jelas bahwa paham ini tidak bisa diaplikasikan
dalam Islam karena justru akan mendekonstruksi syari’ah.
humanisme pada dasarnya sekuler bahkan ateis. Semboyan mereka adalah Good without god. |
padahal dalam Islam kita diajarkan ; kebaikan adalah fitrah manusia yg ditanamkan Allah, menjadi lebih maksimal dengan syariah humanis gagal memahami ini, sebab mereka memang anak sah sekulerisme. |
[1]
Zaenal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui
Filsafat, (Bandung: Rosda, 2006), cet. iv. p. 42.
[2]
Nashr Hamid Abu Zayd dan
Esther R. Nelson, Voice of an Exile:
Reflection on Islam, (London: Westport, Connecticut, 2004), p. 96.
[3]
Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung
Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. III, p. 39.
[4]
Saiyad Fareed Ahmad dan
Sahuddin Ahmad, 5 Tantangan Abadi
Terhadap Agama, terj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung: Mizan, 2008), p.
259-260.
[5]
Linda Smith dan William
Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu
dan Sekarang, terj. P. Hardono Hadi, (Yogyakarta: Kanesius, 2004), cet.
v. p. 132.
[6]
Lihat: Karen Armstrong,
Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan,
(Jakarta: Serambi, 2007), cet. v. p. 703.
[8]
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005),
p.51.
[9]
Adib Abdushomad GJA
(ed), Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap
Pemikiran An-Na’im, (Yogyakarta, Gama Media,2004), p.20-22.
[10]
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Syariah dan HAM, dalam: Dekonstruksi Syari’ah II: Kritik Konsep,
Penjelajahan Lain, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta, LKiS, 1996), p. 164.
[13]
Muhamad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer ,
terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), p. 106.
[14]
Lebih jauh tentang strategi
Barat, baca: Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat: dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005).