Upaya dekonstruksi syariah dewasa ini tengah diupayakan oleh
beberapa cendekiawan muslim. secara umum, hal ini didasari oleh asumsi bahwa
bentuk syariah yang didasari oleh ushul fiqh klasik tidak lagi bisa
mengakomodir kebutuhan umat Islam untuk bisa bersaing di era modern.[1] sebut
saja Muhammad Taha yang memberikan kritik terhadap upaya menerapkan syariah
yang berlaku di abad ke tujuh ke abad ke dua puluh.[2]
Begitu juga Abdullahi Ahmad an-Na’im yang mengajak umat Islam untuk
menyesuaikan agama dan tradisi Islam dengan konstitusionalisme Barat, yang ia
anggap sebagai bentukan atas seluruh kemajuan modern.[3]Seluruh
pernyataan di atas, tidak diragukan lagi merupakan bukti atas adanya upaya
untuk mereformasi ulang syariah.
Upaya
mendekonstruksi syariah tersebut, tidak akan pernah terwujud jika pemahaman dan
cara pandang umat muslim terhadap al-Qur’an dan Sunnah tidak diubah. Hal ini
karena al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber pokok dalam penetapan syariah.[4]
Untuk itu, dalam mewujudkan perubahan syariah yang dicita-citakan, para pelaku
dekonstruksi syariah, mau tidak mau harus memberikan konsep baru atas al-Qur’an
dan Sunnah yang sudah pasti sangat bertolak belakang dengan kesepakatan
mayoritas ulama Islam selama ini.
Tulisan
ini mencoba mengelaborasi upaya Muhammad Syahrur dalam memberikan pemahaman baru
atas definisi Sunnah di dalam Islam, yang mana, dengan pembaharuan konsep tersebut,
Syahrur kemudian menawarkan teori hudud-nya dalam mereinterpretasikan
dalil-dalil syariat untuk melahirkan hukum-hukum syariat yang baru. Selain
melihat pembaharuan konsep tersebut, tulisan ini juga akan memaparkan beberapa
analisa ringkas atas pengertian Sunnah tersebut.
Sunnah
Sebagai Salah Satu Sumber Syariah
Sebelum
melangkah lebih jauh pada pokok pembahasan, terlebih dahulu akan dipaparkan
definisi Sunnah dan pentingnya Sunnah dalam penetapan syariat. Hal ini,
tentunya sangat penting, agar kedepannya bisa terlihat jelas perbedaan antara
konsep Sunnah yang ditawarkan Muhammad Syahrur dengan konsep Sunnah yang telah
diterima selama ini.
dalam
kitab Lisan al-‘Arab -mengutip pendapat Syammar- bahwa Sunnah pada
mulanya berarti cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu
kemudian diikuti oleh orang belakangan. Dalam kitab Muhktar al-Shihah
disebutkan bahwa Sunnah secara bahasa berarti tata cara dan tingkah atau
perlaku hidup, baik perlaku itu terpuji maupun tercela.[5]
Adapun
secara istilah, Sunnah difahami secara berbeda. Bagi Ahli Hadis, Sunnah adalah
sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau tingkah laku
Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sementara ahli
fiqh memandang Sunnah sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw baik
ucapan, maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan. Meski berbeda
pada definisi, tapi ahli hadis dan ahli fiqh tetap sepakat memandang sunnah termasuk
wahyu. Sebab bagi mereka, apa yang keluar dari mulut Nabi saw adalah wahyu dan Nabi
pun tidak berwenang membuat suatu aturan kecuali atas perintah wahyu.[6]
Adapun
Sunnah ditinjau dari fungsinya tidak kalah penting dari al-Qur’an. Karena Sunnah
sebagai penjelas (mubayyin), perinci (mufaṣṣil), dan penjabar (mufarri’)
dari hal-hal pokok dalam al-Qur’an.[7]
Muh. Zuhri menyatakan, jika al-Qur’an bersifat konseptual, maka Sunnah bersifat
praksis.[8]
Hal ini bisa dibuktikan, misalnya dengan melihat dalil-dalil mengenai shalat
yang hanya didapatkan detailnya dalam Sunnah.[9]
Definisi
Sunnah Menurut Syahrur
Muhammad
Syahrur merupakan cendekiawan muslim yang lahir di kota Damaskus. Ahli teknik
sipil ini, menunjukkan minatnya pada kajian keislaman setelah mendalami kajian
filsafat bahasa di Moskow. Hal ini terbukti dengan lahirnya buku al-Kitab wa
al-Qur’an; Qira’ah Muashirah karya beliau. Dalam kitab ini, Muhammad Syahrur
menjelaskan teori hudud, yang ia anggap sebagai solusi atas kesalahan
metodologi fiqh Islam dan tafsir al-Qur’an yang tidak memperhatikan
karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks kitab suci. Teori ini,
kemudian mempopulerkan namanya sebagai tokoh dekonstruksi syariah.[10]
Dalam
buku itu pula, Muhammad Syahrur menuangkan pemikirannya tentang pengertian
Sunnah. Menurut Syahrur, Sunnah dalam arti tindakan dan segala keputusan Nabi
saw merupakan aspek di luar wahyu, ia merupakan sisi kehidupan Nabi yang
berkaitan dengan keadaan dimana Nabi hidup dan berinterkasi. Sehingga Sunnah
tidak termasuk ushul dan hanya menjadi alternatif interaksi Islam di
jazirah Arab pada abad ke tujuh.[11]
Pengertian
di atas, Syahrur landasi dengan beberapa alasan. Pertama, terdapat perbuatan Nabi
yang ternyata bertentangan dengan keinginan Allah sehingga ditegur oleh Wahyu.
Hal itu menunjukkan bahwa sikap Nabi bukanlah wahyu, karena, tidak mungkin satu
wahyu bertentangan dengan wahyu lain. Seperti dalam peristiwa penolakan Nabi
atas Abdullah bin Ummi Maktum yang menjadi asbab an-nuzul turunnya surat
‘Abasa: 1-3. Kedua, adanya perintah Nabi untuk tidak menuliskan hadis karena
ditakutkan bercampur dengan al-Qur’an. Hal ini pun difahami oleh para sahabat,
sehingga para Sahabat utamanya khulafa ar-rasyidin tidak melakukan
pengumpulan hadis sebagaimana dikumpulkannya al-Qur’an, karena menganggap Sunnah
bukan bagian dari ma’lum ad-din bi ad-dharurah, melainkan sikap Nabi
dalam mengaplikasikan wahyu yang bersifat temporal sesuai dengan keadaan zaman.
Dengan demikian Nabi dan Sahabat pun tidak menganggap sunnah sebagai wahyu. Seandainya
Sunnah adalah wahyu, maka tentu Nabi Muhammad akan menyuruh untuk menulisnya
dan Sahabat juga tentu akan berusaha mengumpulkannya.[12]
Dalam
kaitannya dengan penetapan hukum syariat, Syahrur membagi Sunnah menjadi Sunnah
an-nubuwwah dan Sunnah ar-risalah. Sunnah an-nubuwwah adalah Sunnah
yang berkaitan dengan keyakinan dan merupakan objek keagamaan. Sunnah ini
memuat model ketaatan yang berkaitan erat dengan adat kebiasaan Nabi
sehari-hari serta ketentuan hukum yang bersifat lokal, yang hanya dituntut
pemberlakuannya ketika Nabi masih hidup. Sementara Sunnah ar-risalah
adalah Sunnah yang sejalan dengan wahyu al-Qur’an, menyangkut hukum-hukum
sebagai salah satu bentuk penerapan atas ayat-ayat hukum dan merupakan objek
kepatuhan. Ketaatan pada model ini merupakan ketaatan abadi yang berlaku bagi
semua perintah Nabi dan berkaitan dengan hukum ibadah dan akhlaq.[13]
Implikasi
definisi Sunnah Muhammad Syahrur
Berdasarkan
pengertian Sunnah menurut Muhammad Syahrur di atas, dengan jelas terlihat
bahwa, ia tidak mengakui Sunnah itu sebagai wahyu dari Allah swt. Sunnah dalam
pandangan Syahrur berpengertian sebagai upaya ijtihad Rasulullah sendiri dalam
menerapkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an yang sangat terikat dengan
keadaan tempat, waktu dan kondisi sosial.[14]
Konsep
ini menurut penulis berimplikasi kepada fungsi Sunnah sebagai salah satu sumber
penetapan syariah. Dengan tidak menjadikan Sunnah sebagai wahyu, maka Sunnah
tidak lagi memiliki kekuatan otoritas dalam menetapkan suatu hukum, atau
memberi perincian atas suatu hukum di mana perincian itu harus diikuti karena bagian
dari syariat itu sendiri. hal ini tentu sangat menyulitkan, mengingat hampir
sebagian besar amalan dalam Islam yang bersifat praksis bersumber dari Sunnah
dan beberapa metode ijtihad juga bersandar pada hadis, seperti penetapan hukum
dengan metode qiyas.[15]
Pada
kenyataanya juga, pendapat Muhammad Syahrur mengenai arti Sunnah, bukanlah
pengertian orisinil yang datang pertama kali darinya. Karena, jika dikaji lebih
jauh, pengertian ini tidak jauh berbeda dengan definisi yang diyakini oleh para
orientalis. Sebut saja Goldzhier yang menjelaskan bahwa kata Sunnah itu semula
adalah istilah animis yang kemudian dipakai oleh orang-orang Islam, begitu juga
Margoliouth menyatakan bahwa pengertian Sunnah sebagai sumber hukum pada
mulanya adalah sikap yang ideal atau norma yang dikenal dalam masyarakat.,
kemudian pada masa-masa belakangan pengertian itu terbatas hanya untuk
perbuatan Nabi saw saja. Tidak jauh dari pendahulunya, Schachat berpendapat
bahwa pengertian Sunnah dalam masyarakat Islam pada masa awal adalah hal-hal
kebiasaan atau hal-hal yang menjadi tradisi.[16]
Pendapat
ini kemudian juga diikuti dan dikembangkan oleh beberapa tokoh yang oleh M.M.
Azami digolongkan sebagai Inkar as-Sunnah era modern. Salah satu dari
mereka adalah Ghulam Ahmad Parwez -dari benua India- yang punya kegiatan
menonjol dalam kajian hadis hingga memiliki kelompok yang ia namakan ahl al-Qur’an.
kelompok ini berkeyakinan bahwa umumnya al-Qur’an menerangkan suatu hukum secara
global, sehingga penerapannya ditentukan oleh masing-masing tempat dan negara. Sunnah
bukanlah sumber hukum karena seandainya Sunnah Nabi merupakan suatu yang abadi
–termasuk wahyu-, niscaya Rasulullah saw sudah memberikan naskah tertulis
kepada kita.[17]
Kesimpulan
Pengertian
Syahrur atas Sunnah secara sederhana adalah sesuatu yang lahir dari Nabi
Muhammad tapi tidak digolongkan sebagai wahyu melainkan hanya sebatas sikap
Rasulullah dalam menerapkan hukum dalam al-Qur’an, di mana penerapannya
bersifat temporal dan terikat oleh tradisi dan kondisi sosial. Pengertian ini
didasari dengan dua alasan: pertama, karena pada kenyataannya terdapat sikap Nabi
yang tidak sejalan bahkan bertentangan dengan wahyu. Kedua Rasulullah tidak
pernah menyuruh untuk mengumpulkan hadis, begitu pula dengan sahabat, berbeda
terhadap al-Qur’an.
Pengertian
dan alasan-alasan ini, jika ditelusuri, ternyata mempunyai persamaan dengan
pendapat orientalis dan salah satu kelompik inkar as-Sunnah di benua India. Baik Gholdzier, Margoliouth ataupun Schachat,
sama-sama menilai Sunnah sebagai kebiasan dan tradisi pada masa awal Islam. Pernyataan
ini, tidak jauh berbeda dengan pengertian Muhammad Syahrur yang menyatakan
Sunnah adalah ijtihad Nabi yang sangat terikat dengan kebiasaan yang berlaku
ketika itu. Begitu pula dengan argumen yang diajukan oleh Syahrur, sama persis
dengan argumen yang dinyatakan oleh kelompok ingkar as-sunnah, ahl
al-Qur’an, bahwa Nabi sendiri tidak menganggap sunnah sebagai wahyu. kesimpulannya,
bahwa pengertian yang diungkapkan oleh Muhammad Syahrur pada akhirnya hanya
akan bermuara pada pengingkaran Sunnah sebagai wahyu dan sumber hukum sebagai
upaya dekonstruksi syariah yang dicita-citakannya.
[1] Asumsi seperti
ini telah diadopsi oleh beberapa pakar keislaman Indonesia yang bergerak di
dunia pendidikan. Contoh nyatanya adalah adanya ketertarikan sebagian besar
civitas UIN yang meyakini bahwa Hermeneutika adalah metodologi modern yang bisa
menggantikan ushul fiqh yang telah usang. Yudian Wahyudi, Ushul Fikih
Versus Hermeneutika; Membaca Islam dari Kanada dan Amerika (Nawesea Press:
2010), p.vii
[2] Muhammad Taha
membedakan antara term Islam dan syariah. Menurutnya, Islam adalah sebuah
ketundukan dan kepasrahan secara total dan meyakini Allah sebagai Tuhan. Adapun
syariah bukanlah Islam itu sendiri melainkan hanyalah interpretasi terhadap
teks/nash yang dipahami melalui konteks historis tertentu. Konsekuensi logis
dari pemahaman tersebut adalah suatu kesalahan besar jika menerapkan syariah
yang berlaku di abad ke tujuh ke abad ke dua puluh karena adanya perbedaan
tingkat yang cukup tajam antara abad ke tujuh dan abad ke dua puluh. (ahmoud
Muhammad Taha, The Second Message Of Islam: Syariah Demokratik,
terjemahan oleh Nur Rahman (Surabaya: eLSAD, 1996),p.18
[3] Abdullahi
Ahmed An-Na’im berpendapat, negara-negara Barat telah dengan sangat baik
mengartikulasikan konsep dan implikasi konstitusionalime, bukan berarti bahwa
konsep konstitusionalisme Barat adalah yang ideal. Akan tetapi, prestasi Barat
dalam membuat dan melaksanakan konsep konstitusionalisme perlu dihargai sebagai
bagian dari keseluruhan pengalaman dan pe ngetahuan umat manusia, untuk
kemudian diserap dan diadaptasi oleh umat Islam dan masyarakat lain dengan
menyesuaikan agama dan tradisi kultural yang dimiliki. Abdullahi Ahmed
An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and
International Law, terj., Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Dekonstruksi
Syari’ah, Yogyakarta : LKiS bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1994, p. 134
[4] Hal ini
didasari, salah satunya dengan hadis Rasulullah saw:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما
كتاب الله وسنة نبيه
“aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan pernah
tersesat selama memegang teguh keduanya; al-Qur’an dan Sunnah Nabi”. Shahih al-Bukhari
(4/85), shahih Muslim (4/39), Sunan Abi Daud (2/122) dan lain-lain.
[5] Lisan al-Arab;
kata “sunan”, Mukhtar al-Shihah, p.339. Dikutip dari M.M. Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),p.13
[6] Hal ini
berdasarkan ayat al-Najm: 3-4 dan al-A’raf: 157-158. Ibid,p. 14 dan 30
[8] Dalam cakupan
lebih luas, Yūsuf al-Qaraḍāwī menyebutkan bahwa fungsi hadis meliputi
interpretasi praktis (tafsir al-‘amali) dan implementasi langsung atau
nyata (taṭbīq al-wāqi’ī). Yūsuf
al-Qaraḍāwī, Kaifa Nata‘āmal ma‘a as-Sunnah an-Nabawiyyah (Kairo: Dār
asy-Syurūq, 1423/2002), p. 25
[10] Vita, Fitria, Komparasi
Metodologis Konsep Sunnah Menurut Fazlur rahman dan Muhammad Syahrur (Perspektif
Hukum Islam), Asy-Syir’ah, Jurnal Ilmu Syari’ah dan hukum, Vol. 45, No.II.
Juli-Desember 2011.p.1341-1342
[11] Syahrur tidak
sependapat dengan sebagian ulama hadis yang menyatakan bahwa semua yang datang
dari Nabi adalah wahyu (didasarkan pada an-Najm (53): 3-4).31 Menurut Syahrur,
pendapat tersebut memiliki dua kesalahan metodologis. Pertama, dlamir huwa
dalam ayat tersebut tidak kembali kepada Muhammad, melainkan kepada al-Kitab,
yang tidak berhubungan dengan kata yantiqu yang merujuk kepada Nabi. Kedua,
sabab alnuzul ayat yang turun di Makkah ini sesungguhnya berkaitan dengan
peristiwa ketika orang-orang Arab ragu akan kebenaran wahyu (Alquran) itu
sendiri, dan bukan meragukan perkataan/perbuatan Nabi. Muhammad Syahrur, al-Kitab
wa al-Qur’an; Qira’ah Mua’shirah, (Damaskus: Al-Ahli, t.t),p.546
[12] Ibid,p.147-148
[13]
Ibid,p.550
[14] Dengan hal
itu, dalam kaitannya dengan penerapan hukum, Syahrur juga memberikan definisi Sunnah
sebagai pola penerapan hukum-hukum syariat secara mudah dan gampang tanpa
keluar dari batas-batas yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an. Syahrur kemudian
mendasari pendapatnya dengan mengutip al-Baqarah: 185. Ibid
[15]
Bagi syahrur
meng-qiyas-kan hal-hal yang berlaku pada masa Nabi ke pada masa sekarang
adalah qiyas yang tertolak. Qiyas yang benar bagi Syahrur adalah qiyas
ayat-ayat yang mengandung pemahaman yang jelas (al-bayyinat al-maddiyah
al-maudhu’iyyah), dengan kehidupan sekarang tanpa keluar dari batas-batas
(yang ditetapkan oleh teori hudud). Muhammad Syahrur, al-Kitab wa
al-Qur’an; Qira’ah Mua’shirah, (Damaskus: Al-Ahli, t.t),p.582