Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » , » Periwayatan dan Pengamalan Hadis Dhaif / Hadis Lemah

Periwayatan dan Pengamalan Hadis Dhaif / Hadis Lemah

Written By apaaja on Rabu, 05 Juni 2013 | 23.01.00

Hadis yang sampai kepada kita dari Rasulullah saw, tidak semuanya memiliki kualitas sahih. Para ulama hadis membagi hadis secara umum menjadi hadis yang maqbul atau diterima dan hadis yang mardud atau ditolak. Hadis maqbul termasuk di dalamnya hadis Hasan dan hadis Sahih, tentu saja pengamlannya tidak perlu lagi dipermasalahkan. Bahkan jika hadisnya benar-benar sahih dan mutawatir, seorang yang enggan mengamalkannya patut diperingatkan agar setia kepada sunnah Rasulullah. Namun hadis yang termasuk mardud  dimana di dalamnya adalah hadis daif, pengamalannya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Berikut ini adalah penjelasan seputar pengamalan dan periwaytan hadis daif dair berbagai sudut pandang ulama dan kesimpulan yang bisa diperoleh.
Secara sederhana, hadis marudud bisa disebut sebagai hadis yang kehilangan  salah satu atau lebih dari kriteria-kriteria hadis maqbūl (sahih dan hasan). Hadis jenis ini secara umum disebut hadis daif (ḍa’īf)[1].  Defenisi hadis daif menurut ­­ Nūr ad-Dīn ‘Itr adalah :
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
“Hadis yang kehilangan salah satu dari syarat hadis maqbūl.[2]
Jika kehujahan hadis sahih dan hasan hampir mencapai kata sepakat, maka di dalam pengamalan hadis daif terdapat perselisihan di antara ulama. Mazab ulama di dalam permasalahan ini dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, ulama yang menyatakan bolehnya mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik dalam masalah halal dan haram, atau yang menyangkut kewajiban-kewajiban. Dengan syarat tidak ada hadis lain yang bisa dijadikan pegangan selain hadis daif tersebut. Pendapat ini dipegangi oleh bebetapa al-Imām  besar seperti Al-Imām  Ahmād dan Abū Dawud. Kemungkinan yang dimaksud di sini adalah hadis daif yang tidak termasuk sangat lemah, bahkan bisa saja berstatus hasan mengingat pemakaian istilah “hadis hasan” dipopulerkan oleh at-Tirmidzi yang hidup setelah Al-Imām  Ahmad bin Hanbal.[3] Lagi pula di dalam membangun mazabnya Al-Imām  Ahmad memang lebih memilih hadis daif ketimbang ra’yu.
Kedua, bolehnya memakai hadis daif di dalam persoalan keutamaan-keutamaan dari amalan-amalan tertentu (faḍāil al-a’māl) atau menyangkut perkara-perkara yang mustahāb atau makruh. Pendapat ini adalah mazab jumhur ulama hadis, fikih dan selain mereka. Dalam hal ini Ibn Hajr menetapkan tiga syarat : (1) hadis tersebut tidak termasuk hadis yang sangat lemah; (2) tidak bertentangan dengan pokok-pokok agama ; (3) dan orang yang mengamalkannya tidak meyakini secara pasti bahwa hadis tersebut berasal dari Nabi saw.[4]
Ketiga, tidak boleh mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik di dalam perkara halal-haram, hukum-hukum agama maupun masalah faḍāil al-a’māl. Pendapat ini dipegangi antara lain oleh al-Qāḍī Abu Bakr Ibn al-‘Arābi, Ibn Hazm, Yahya bin Ma’in dan Ibn Syāmah. Ulama kontemporer yang berpegang pada mazab ini antara lain Syaikh Ahmad Syākir, al-Albāni, dan Subhi as-Shālih. Subhi as-Shālih berargumen bahwa hadis daif tidak mungkin menjadi sumber hukum agam atau akhlak. Karena ḍan tidak memberikan manfaat apa-apa, sedangkan akhlak, keutamaan-keutamaan seperti halnya hukum adalah tiang dari agama maka di dalam persoalan tersebut kita tidak butuh hadis-hadis daif karena masih ada begitu banyak hadis yang sahih atau hasan[5].  
Di dalam pengamalan dan periwayatan hadis daif, al-Qaraḍāwi memberikan beberapa catatan yang perlu diperhatikan terutama bagi para khatib, dai, ulama dan pendidik yang kerap menggunakan hadis daif sebagai motivasi dan ancaman (at-targhīb wa at-tarhīib) bagi ummat. Pertama, kita harus mengingat bahwa sebagaian ulama salaf menolak hadis lemah secara mutlak sebagaimana dijelaskan pada mazab ketiga di atas. Kedua, kebanyakan dai atau orang-orang yang mengaku mengikuti mazab kedua cenderung tidak memperhatikan syarat-syarat yang telah  ditetapkan oleh ulama yang membolehkan penggunaan hadis daif sehingga hadis yang kadar lemahnya sangat parah seperti hadis mauḍu’ sekalipun masih diriwayatkan dan dijadikan hujah. Bagi mereka yang mengaku mengikuti mazab kedua harus benar-benar mengikuti tiga syarat tersebut[6].
Ketiga, di dalam meriwayatkan hadis daif, tidak boleh menggunakan lafal yang pasti bahwa hadis tersebut berasal dari Rasululllah saw, seperti lafal qāla Rasūlullah[7]. Penegasan al-Qaraḍawi ini berkaitan dengan syarat ketiga yang ditetapkan Ibn Hajr, Ibn Shalāh menambahkan bahwa aturan ini juga berlaku bagi hadis yang masih diragukan apakah ia daif atau mencapai derajat hasan atau sahih.[8] Keempat, lebih baik memakai hadis hasan atau sahih meskipun jumlahnya sedikit dari pada hadis mauḍu’ yang jumlahnya banyak. Kelima, perlu diperhatikan bahwa meskipun tidak mengandung hukum halal-haram atau hukum-hukum syariah lainnya, hadis-hadis tentang targhīb wa tarhīb juga mengandung perkara lain yang juga sangat penting yakni “ukuran suatu amal”. Terkadang hadis-hadis lemah memberikan sangat berlebihan dalam memberikan ancaman dan janji pahala bagi amal-amal tertentu. Keenam, para ulama yang membolehkan periwayatan hadis lemah tidaklah menetapkan sebuah amalan berdasarkan hadis lemah tersebut, akan tetapi hukum-hukum atau amalan-amalan itu telah tetap dengan dailil-dalil yang kuat. Hadis-hadis lemah itu hanya sejalan dengan dailil-dalil yang lebih kuat. Sebagian orang mengabaikan hal ini sehingga mereka menetapkan suatu amalan dengan hadis daif. Al-Qaraḍāwi memberikan contoh amalan menghiduplan malam nishfu sya’bān di beberapa negri Islam.[9] Dalam hal ini Ibn Taimiyah menegaskan ;
...مَا عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ : لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ شَرْعِيٍّ.... فَإِذَا رُوِيَ حَدِيثٌ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَحَبَّةِ وَثَوَابِهَا وَكَرَاهَةِ بَعْضِ الْأَعْمَالِ وَعِقَابِهَا : فَمَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَأَنْوَاعُهُ إذَا رُوِيَ فِيهَا حَدِيثٌ لَا نَعْلَمُ أَنَّهُ مَوْضُوعٌ جَازَتْ رِوَايَتُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ بِمَعْنَى : أَنَّ النَّفْسَ تَرْجُو ذَلِكَ الثَّوَابَ أَوْ تَخَافُ ذَلِكَ الْعِقَابَ......[10]
Disamping memberikan catatan-catatan di atas, al-Qaraḍāwi juga menambahkan dua syarat bagi dibolehkannya periwayatan hadis daif disamping ketiga syarat yang telah dijelaskan di atas. Syarat pertama adalah hadis-hadis tersebut tidak mengandung hal-hal berlebihan yang membuatnya bertentangan dengan akal sehat, syariat, dan kaidah kebahasaan.  Para ulama hadis telah menetapkan bahwa salah satu indikasi yang menandakan palsunya sebuah hadis adalah ia bertentangan dengan akal sehat. Di antara hadis-hadis semacam ini adalah hadis yang memberikan ancaman berat bagi suatu perkara yang tidak terlalu serius yang banyak terdapat di dalam hadis-hadis kisah[11].
Hadis yang tidak sesuai dengan bahasa banyak ditemukan di dalam hadis-hadis yang menafsirkan lafal-lafal tertentu di dalam Al-Qur’an.  Misalnya hadis riwayat Ibn Abi Dunya dari Syafī bin Māti’ bahwa di dalam neraka terdapat lembah bernama aṡāman yang di dalamnya terdapat ular-ular raksasa dan kalajengking dan seterusnya. Hadis itu menjelaskan makna ayat وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا, padahal kata aṡāman merupakan musytak dari kata    al-iṡmu (الاثم)  yang berarti dosa. Begitu juga dengan penafsiran kata wail sebagai sebuah lembah di neraka. Hadis-hadis semacam itu menurut al-Qaraḍāwi, apa bila lemah, maka ia harus dihindari periwayatannya karena bertentangan dengan bahasa Arab[12].  Syarat kedua adalah hadis tersebut tidak bertentangan dengan dalil syar’i yang lebih kuat darinya.


[1] Mahmūd Ṭahhān, Taisīr MusṬalah al-Hadīṡ...hal 52.
[2]  Nūr ad-Dīn ‘Itr, Manhaj an-Naqd....hal 281.
[3] Ibid, hal 291.
[4] Ibid, hal 292.
[5] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis... hal 197.
[6] Yūsuf  al-Qaraḍāwī  , Kaifa Nata’āmal ...hal 93-94.
[7] Ibid, hal 95
[8] Ibn as-Shalāh, Muqaddimah Ibn as-Ashalāh, (Halab: MaṬba’āh al-‘Ilmiyah, 1931), I : 114.
[9] Yūsuf  al-Qaraḍāwī  , Kaifa Nata’āmal ...hal 97.
[10] Ibn at-Taimiyah, Majmū’ al-Fatāwa, cet. ke-3, (ttp : Dār al-Wafā, 2005), XVIII : 40.
[11] Yūsuf  al-Qaraḍāwī  , Kaifa Nata’āmal ...hal 100.
[12] Ibid, hal 101.
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template