Hadis
yang sampai kepada kita dari Rasulullah saw, tidak semuanya memiliki
kualitas sahih. Para ulama hadis membagi hadis secara umum menjadi hadis
yang maqbul atau diterima dan hadis yang mardud atau ditolak. Hadis maqbul termasuk
di dalamnya hadis Hasan dan hadis Sahih, tentu saja pengamlannya tidak
perlu lagi dipermasalahkan. Bahkan jika hadisnya benar-benar sahih dan
mutawatir, seorang yang enggan mengamalkannya patut diperingatkan agar
setia kepada sunnah Rasulullah. Namun hadis yang termasuk mardud dimana
di dalamnya adalah hadis daif, pengamalannya masih menjadi perdebatan
di kalangan ulama. Berikut ini adalah penjelasan seputar pengamalan dan
periwaytan hadis daif dair berbagai sudut pandang ulama dan kesimpulan
yang bisa diperoleh.
Secara sederhana, hadis marudud bisa disebut sebagai hadis yang
kehilangan salah satu atau lebih dari kriteria-kriteria
hadis maqbūl (sahih dan hasan). Hadis jenis ini secara umum disebut hadis
daif (ḍa’īf)[1]. Defenisi hadis daif menurut Nūr ad-Dīn ‘Itr
adalah :
ما فقد شرطا من شروط الحديث المقبول
“Hadis yang
kehilangan salah satu dari syarat hadis maqbūl.”[2]
Jika kehujahan
hadis sahih dan hasan hampir mencapai kata sepakat, maka di dalam pengamalan
hadis daif terdapat perselisihan di antara ulama. Mazab ulama di dalam
permasalahan ini dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, ulama yang
menyatakan bolehnya mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik dalam masalah
halal dan haram, atau yang menyangkut kewajiban-kewajiban. Dengan syarat tidak
ada hadis lain yang bisa dijadikan pegangan selain hadis daif tersebut.
Pendapat ini dipegangi oleh bebetapa al-Imām besar seperti Al-Imām Ahmād dan Abū Dawud. Kemungkinan yang dimaksud
di sini adalah hadis daif yang tidak termasuk sangat lemah, bahkan bisa saja
berstatus hasan mengingat pemakaian istilah “hadis hasan” dipopulerkan oleh
at-Tirmidzi yang hidup setelah Al-Imām Ahmad bin Hanbal.[3]
Lagi pula di dalam membangun mazabnya Al-Imām Ahmad memang lebih memilih hadis daif
ketimbang ra’yu.
Kedua, bolehnya
memakai hadis daif di dalam persoalan keutamaan-keutamaan dari amalan-amalan
tertentu (faḍāil al-a’māl) atau menyangkut perkara-perkara yang mustahāb
atau makruh. Pendapat ini adalah mazab jumhur ulama hadis, fikih dan selain
mereka. Dalam hal ini Ibn Hajr menetapkan tiga syarat : (1) hadis tersebut
tidak termasuk hadis yang sangat lemah; (2) tidak bertentangan dengan
pokok-pokok agama ; (3) dan orang yang mengamalkannya tidak meyakini secara
pasti bahwa hadis tersebut berasal dari Nabi saw.[4]
Ketiga, tidak boleh
mengamalkan hadis daif secara mutlak, baik di dalam perkara halal-haram,
hukum-hukum agama maupun masalah faḍāil al-a’māl. Pendapat ini dipegangi
antara lain oleh al-Qāḍī Abu Bakr Ibn al-‘Arābi, Ibn Hazm, Yahya bin Ma’in dan
Ibn Syāmah. Ulama kontemporer yang berpegang pada mazab ini antara lain Syaikh
Ahmad Syākir, al-Albāni, dan Subhi as-Shālih. Subhi as-Shālih berargumen bahwa
hadis daif tidak mungkin menjadi sumber hukum agam atau akhlak. Karena ḍan tidak
memberikan manfaat apa-apa, sedangkan akhlak, keutamaan-keutamaan seperti
halnya hukum adalah tiang dari agama maka di dalam persoalan tersebut kita
tidak butuh hadis-hadis daif karena masih ada begitu banyak hadis yang sahih
atau hasan[5].
Di dalam
pengamalan dan periwayatan hadis daif, al-Qaraḍāwi memberikan beberapa catatan
yang perlu diperhatikan terutama bagi para khatib, dai, ulama dan pendidik yang
kerap menggunakan hadis daif sebagai motivasi dan ancaman (at-targhīb wa
at-tarhīib) bagi ummat. Pertama, kita harus mengingat bahwa sebagaian
ulama salaf menolak hadis lemah secara mutlak sebagaimana dijelaskan pada mazab
ketiga di atas. Kedua, kebanyakan dai atau orang-orang yang mengaku
mengikuti mazab kedua cenderung tidak memperhatikan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh ulama yang
membolehkan penggunaan hadis daif sehingga hadis yang kadar lemahnya sangat
parah seperti hadis mauḍu’ sekalipun masih diriwayatkan dan dijadikan
hujah. Bagi mereka yang mengaku mengikuti mazab kedua harus benar-benar
mengikuti tiga syarat tersebut[6].
Ketiga, di dalam
meriwayatkan hadis daif, tidak boleh menggunakan lafal yang pasti bahwa hadis
tersebut berasal dari Rasululllah saw, seperti lafal qāla Rasūlullah[7].
Penegasan al-Qaraḍawi ini berkaitan dengan syarat ketiga yang ditetapkan
Ibn Hajr, Ibn Shalāh menambahkan bahwa aturan ini juga berlaku bagi hadis yang
masih diragukan apakah ia daif atau mencapai derajat hasan atau sahih.[8] Keempat,
lebih baik memakai hadis hasan atau sahih meskipun jumlahnya sedikit dari
pada hadis mauḍu’ yang jumlahnya banyak. Kelima, perlu diperhatikan
bahwa meskipun tidak mengandung hukum halal-haram atau hukum-hukum syariah
lainnya, hadis-hadis tentang targhīb wa tarhīb juga mengandung perkara
lain yang juga sangat penting yakni “ukuran suatu amal”. Terkadang hadis-hadis
lemah memberikan sangat berlebihan dalam memberikan ancaman dan janji pahala
bagi amal-amal tertentu. Keenam, para ulama yang membolehkan periwayatan
hadis lemah tidaklah menetapkan sebuah amalan berdasarkan hadis lemah tersebut,
akan tetapi hukum-hukum atau amalan-amalan itu telah tetap dengan dailil-dalil
yang kuat. Hadis-hadis lemah itu hanya sejalan dengan dailil-dalil yang lebih
kuat. Sebagian orang mengabaikan hal ini sehingga mereka menetapkan suatu
amalan dengan hadis daif. Al-Qaraḍāwi memberikan contoh amalan menghiduplan malam
nishfu sya’bān di beberapa negri Islam.[9] Dalam
hal ini Ibn Taimiyah menegaskan ;
...مَا عَلَيْهِ
الْعُلَمَاءُ مِنْ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ
: لَيْسَ مَعْنَاهُ إثْبَاتُ الِاسْتِحْبَابِ بِالْحَدِيثِ الَّذِي لَا يُحْتَجُّ
بِهِ ؛ فَإِنَّ الِاسْتِحْبَابَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ فَلَا يَثْبُتُ إلَّا بِدَلِيلِ
شَرْعِيٍّ....
فَإِذَا رُوِيَ حَدِيثٌ فِي فَضْلِ بَعْضِ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَحَبَّةِ
وَثَوَابِهَا وَكَرَاهَةِ بَعْضِ الْأَعْمَالِ وَعِقَابِهَا : فَمَقَادِيرُ
الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَأَنْوَاعُهُ إذَا رُوِيَ فِيهَا حَدِيثٌ لَا نَعْلَمُ
أَنَّهُ مَوْضُوعٌ جَازَتْ رِوَايَتُهُ وَالْعَمَلُ بِهِ بِمَعْنَى : أَنَّ
النَّفْسَ تَرْجُو ذَلِكَ الثَّوَابَ أَوْ تَخَافُ ذَلِكَ الْعِقَابَ......”[10]
Disamping memberikan
catatan-catatan di atas, al-Qaraḍāwi juga menambahkan dua syarat bagi
dibolehkannya periwayatan hadis daif disamping ketiga syarat yang telah
dijelaskan di atas. Syarat pertama adalah hadis-hadis tersebut tidak mengandung
hal-hal berlebihan yang membuatnya bertentangan dengan akal sehat, syariat, dan
kaidah kebahasaan. Para ulama
hadis telah menetapkan bahwa salah satu indikasi yang menandakan palsunya
sebuah hadis adalah ia bertentangan dengan akal sehat. Di antara hadis-hadis
semacam ini adalah hadis yang memberikan ancaman berat bagi suatu perkara yang
tidak terlalu serius yang banyak terdapat di dalam hadis-hadis kisah[11].
Hadis yang tidak
sesuai dengan bahasa banyak ditemukan di dalam hadis-hadis yang menafsirkan
lafal-lafal tertentu di dalam Al-Qur’an. Misalnya hadis riwayat Ibn Abi Dunya dari
Syafī bin Māti’ bahwa di dalam neraka terdapat lembah bernama aṡāman yang
di dalamnya terdapat ular-ular raksasa dan kalajengking dan seterusnya. Hadis
itu menjelaskan makna ayat وَمَن
يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا, padahal kata aṡāman merupakan
musytak dari kata al-iṡmu (الاثم) yang
berarti dosa. Begitu juga dengan penafsiran kata wail sebagai sebuah
lembah di neraka. Hadis-hadis semacam itu menurut al-Qaraḍāwi, apa bila lemah,
maka ia harus dihindari periwayatannya karena bertentangan dengan bahasa Arab[12].
Syarat kedua adalah hadis tersebut tidak
bertentangan dengan dalil syar’i yang lebih kuat darinya.
[1]
Mahmūd Ṭahhān, Taisīr MusṬalah
al-Hadīṡ...hal 52.
[2]
Nūr ad-Dīn ‘Itr, Manhaj an-Naqd....hal 281.
[3] Ibid, hal 291.
[4] Ibid, hal 292.
[5]
Subhi as-Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis... hal 197.
[6]
Yūsuf al-Qaraḍāwī
, Kaifa Nata’āmal ...hal 93-94.
[7] Ibid, hal 95
[8] Ibn as-Shalāh, Muqaddimah Ibn
as-Ashalāh, (Halab: MaṬba’āh al-‘Ilmiyah, 1931), I : 114.
[9]
Yūsuf al-Qaraḍāwī
, Kaifa Nata’āmal ...hal 97.
[10] Ibn at-Taimiyah, Majmū’
al-Fatāwa, cet. ke-3, (ttp : Dār al-Wafā, 2005), XVIII : 40.
[11]
Yūsuf al-Qaraḍāwī
, Kaifa Nata’āmal ...hal 100.
[12] Ibid, hal 101.