Setelah dipikir-pikir,
ternyata ada penjelasan sederhana mengapa kata ''kafir'' dilazimkan untuk
menyebut non-Muslim secara umum di masyarakat kita, despite the fact (emang
kenapa klo sok inggris he?) bahwa kata ini memiliki lapis makna beragam dan
penggunaan bervariasi di dalam al-Qur'an. Alasannya adalah dominasi fikih dalam
cara beragama kita. Dan ini bukan sesuatu yang buruk, seperti yang mungkin
dicoba ditampakan oleh orang-orang. Fikih adalah ilmu paling membanggakan yang
dikembangkan oleh intelektual kita. Ini diakui oleh pengamat luar seperti
Oliver Leaman.
Sebagai gambaran, Ibn Rusyd
menulis lebih banyak buku kedokteran dibanding buku fikih, tapi beliau lebih
kita kenal sebagai seorang jurist Maliki, bukan dokter, karena kita begitu
terpesona pada fikih. Tubuh utama kurikulum pendidikan Islam, kata Makdisi,
adalah fikih. So, beragama yang fikih-oriented atau fikih-centered (istilah bikinan sendiri hehe) tidaklah buruk. Cuma...
memang akan ada implikasinya, contohnya, apa yang kita bicarakan ini.
Di dalam fikih memang
dibutuhkan kejelasan hukum dan dengan demikian kejelasan term. Tidak boleh ada
ambiguitas istilah. Maka yang bukan Muslim sebutannya kafir. Contoh yang
gampang adalah di hukum waris yang bikin punyeng itu. Ada satu kaidah penting
di hukum kewarisan Islam
yang diambil dari hadis Nabi berbunyi, ''Seorang Muslim
tak berhak mewarisi harta seorang kafir, dan seorang kafir tak punya hak
mewarisi harta seorang Muslim''
Berdasar hadis di atas, di
pengadilan agama hakim tidak akan memberikan harta warisan kepada seorang ahli
waris yang Muslim jika yang meninggal adalah seorang non-Muslim. Vice versa. Di
sini tidak akan ada tawar-tawaran, hakim cuma melihat KTP pihak-pihak
terkait. Selesai. Begitulah petunjuk dalam Kompilasi Hukum Islam; pedoman seorang boleh menjadi ahli waris adalah
KTP-nya. Dengan kata lain, menurut
KHI, dokumen yang sah dan di-approve konsitutusi kita itu, seorang ber-KTP bukan Islam masuk dalam kualifikasi kafir
menurut hadis di atas.
Jika tiba-tiba si ahli waris
maju dan berkata gagah dan bijaksana, ''Pak hakim, tidak semua non Muslim itu
kafir, mengapa pak hakim menyebut almarhum kafir? pemahaman pak hakim ini
berpotensi merusak kebhinnekaan bangsa kita. KebHHinnekaan pak hakim! pake
'H'!" Tentu saja pak hakim akan bingung karena ia beroperasi di alam
fikih, di alam hukum, dimana memang istilah kafir dilazimkan kepada sesiapa
yang tidak Islam. Istilah ini pun tidak inheren mengandung permusuhan, apalagi
berarti boleh dibunuh.
Jadi, sementara ini, itulah
pikiran saya di sekitar isu ini. Masyarakat kita terbiasa dengan alam fikir
fikih sehingga kategorisasinya pun mengikuti kategorisasi yang legalistic dan
mutlak. Mungkin corak pemahaman ini adalah
pengaruh sentralitas fikih dalam pengajaran agama kita. Olehnya tidak adil juga
jika kemudian hal ini dipandang sebagai bentuk intoleransi, tak beradab, atau
bahkan dicurigai bahwa itu bentuk sikap bermusuhan (hostile) komunitas Muslim
Indonesia pada mereka yang bukan Muslim. Plis dong ah, mengertilah posisi orang
lain.
Penjelasan di atas bukan bermaksud untuk
membenarkan secara mutlak praktek demikian. Hanya memberi sedikit masukan,
mungkin itu alasannya. Agar kita sedkit bertenggang rasa seperti ajaran PPKn SD
kelas 5 jama dulu itu. Tentu di samping fikih, kita perlu akhlak dalam bergaul. Soal ini,
ada penjelasan yang sangat menarik dari
Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Khitabuna al-Islamiya fi 'Ashri
al-Aulumah halaman 44 dan seterusnya. Judul buku ini berarti Artikulasi
Islam di era Global. Beliau
tulis 13 tahun silam.
Begini kata mbah al-Qaradhawi,
salah satu bentuk berdakwah dengan hikmah di era globalisasi ini adalah
menghindari penggunaan istilah “kafir” bagi yang berbeda agama dengan kita,
meski kita meyakini kekufuran akidah mereka. Terutama pada
mereka yang termasuk ahlul kitab. Ada dua alasannya, pertama, kata “kafir”
memiliki banyak makna. Salah satu
maknanya itu adalah mengingkari Allah, Rasul-Nya dan keberadaan akhirat, inilah
posisi kaum materialis. Tentu kaum ahli kitab tidak masuk kategori ini, olehnya
ketika kita menyebut mereka “kafir” maksudnya adalah mereka mengingkari kebenaran
risalah Nabi Muhammad saw, sebagaiman mereka juga yakin bahwa kita telah ‘’mengkafiri’’
agama mereka.
Alasan kedua, kata mbah al-Qaradhawi, adalah bahwa
sesungguhnya al-Qur’an sendiri pun tidak selalu menyebut mereka yang tak
beriman dengan panggilan “kafir”. Kadang
al-Qur’an memanggil mereka dengan seruan “ya ayyuhannas” ( wahai
manusia), “yaa bani adam” (hai anak adam), “yaa ‘ibaadi” (hai
hamba-hambaku) atau “yaa ahlalkitab” (hai ahlul kitab). Hanya ada dua
ayat di dalam al-Qur’an yang menyebut kaum tak beriman sebagai “kafir”; pertama
di at-Tahrim : 7, dan di surah al-Kafirun. Konteks at-Tahrim adalah ketika
Allah berbicara pada penghuni neraka di
akhirat nanti. Konteks al-Kafirun lebih relevan ke kita; ketika itu kaum musyrik
mengajukan proposal pembentukan masyarakat pluralis kebablasan (ring a bell?). Beliau
diminta menyembah berhala dan mereka juga akan menyembah Allah. Ibadah bersama.
Di sini al-Qur’an memerintahkan Nabi Muhammad untuk berucap tegas, lugas, tapi
juga mengandung makna toleransi yang sebenarnya ; bagiku agamaku, bagimu
agamamu!
Berdasar pertimbangan di atas, dan juga
perintah al-Qur’an untuk berucap yang baik pada sesama manusia dengan mutlak (al-Isra
: 53), mbah al-Qaradhawi pun bilang, sebaiknya kita memanggil non-Muslim saja,
janganlah panggil orang-orang ‘’hai kafir!” Bahkan beliau mengajukan istilah
lain, “muwathinun” yang artinya “saudara sebangsa”. Beliau juga
menegaskan bahwa sudah lama hal ini menjadi aspirasinya, sehingga jauh sebelum
buku Khitabuna ini ditulis, ia sudah menulis buku berjudul Ghair
Muslim fi Mujtama’ al-Islam, dimana beliau menghindari penggunaan kata “kafir”.
Itulah mbah al-Qaradhawi, seorang ulama yang
kerap dicap “Wahabi”, “Islamis” intelektual Ikhwanul Muslimin, gerakan yang
diberi stempel “Islam transnasional” ; Serangkai sebutan-sebutan buruk yang
ditimpakan orang-orang yang mendaku moderat kepada beliau. Lihat tuh, beliau
sudah bicara soal ‘’kafir” dan “non-muslim” before it was cool. Aneh juga, jika
kita menghindari penggunaan kata “kafir” sebab tak sedap di telinga, tapi gampang
sekali memanggil sesama Muslim “wahabi radikal” yang bukan hanya tak enak di
dengar tapi bisaa saja membuat ia masuk list-nya densus panlapan.
Maka kawanku, ikutilah ulama wahabi-Islamis-eksponen-gerakan-transnasioanl
itu. Jangan ikuti si Er*es, pelawak berdiri itu, di salah satu
materinya dia santai saja memanggil orang tak seiman kafir. Semua yang dengar
ketawa. Tak ada yang protes, mungkin karena dia ganteng dan
pelawak-berdiri sehingga
punya hak untuk ngoceh apa saja dan setelahnya bilang just kidding. Lah
ente? ganteng tidak, lucu kagak, bicaralah yang sopan.