Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Ade Armando dan Kualitas Ibadah Haji

Ade Armando dan Kualitas Ibadah Haji

Written By apaaja on Jumat, 04 September 2015 | 00.49.00



bismillah..

Dalam konteks itulah, saya menganggap mungkin sebaiknya umat Islam saat ini tidak perlu menganggap naik haji sebagai kewajiban apalagi disertai dengan berumrah yang berkali-kali.” 

Kutipan di atas adalah kalimat pamungkas Ade Armando dalam artikelnya yang berjudul “Meninjau Kembali Hukum Wajib Haji Saat Ini” Inti dari artikel tersebut adalah ajakan untuk membatalkan kewajiban ibadah haji saat ini, sebab negara sedang miskin-miskinnya. Bagi Ade, uang para jamaah haji dan umrah adalah pemborosan yang lebih maslahat bila digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur. 

Ajakan Ade untuk menghentikan haji dan umrah sepenuhnya tertolak dan tidak masuk akal. Ia pura-pura lupa akan keberadaan pajak dan sumber dana lainnya untuk pembangunan. Alih-alih dipaksanya rakyat untuk bermaksiat pada Allah dengan meninggalkan perintah wajibnya haji.  Ucapan itu pun sepenuhnya menabrak konstitusi negara kita yang melindungi hak setiap warga untuk beribadah.  

Kegagalan pemerintah untuk menjalankan kewajibannya menyejahterakan rakyat ditimpakan di pundak umat Islam dengan menyuruh mereka berhenti menjalankan al-Qur’an.  Bukan berarti umat Islam tidak perlu peduli pada kesusahan sesama, tapi dalam bangunan ajaran Islam kita telah mengenal zakat, infaq, dan sadaqah. Bila ketiganya dimaksimalkan, potensinya luar biasa.  

Sangat sulit untuk setuju dengan ajakan dosen FISIP itu, untunglah ia tidak punya otoritas apa-apa, dan wacananya tersebut bisa dianggap angin lalu saja. Meskipun begitu, sebaiknya kita renungkan  masalah yang Ade angkat ini, yakni ibadah haji dan problem kemiskinan.  Betapa begitu banyak orang yang berumrah dan haji berkali-kali, tapi tetangganya masih berkubang dalam kemelaratan. Kepekaan Ade untuk melihat kejanggalan dalam masyarakat Islam Indonesia ini sebenarnya sangat baik. Sayangnya, solusi yang ditawarkannya terlampau ekstrim dan mengada-ada
.
Masyarakat Indonesia memang terkenal dengan penghargaan mereka yang tinggi kepada mereka yang telah menunaikan rukun Islam terakhir ini. Bahkan ada gelar khusus untuk mereka. Di masyarakat tertentu, misalnya komunitas Bugis-Makassar, status sosial seseorang akan bertambah bila telah bergelar haji atau hajjah.  Hal ini tentu sesuatu yang baik, menunjukan betapa Islam telah menyusup ke sum-sum tradisi negri ini. Namun demikian, kesemarakan menjalankan ritual menjadi kurang nilainya bila makna ritual tersebut ternyata terlupa. Sebagaimana semua ritus Islam lainnya, ibadah haji pun sesungguhnya mengandung hikmah yang harusnya membekas pada diri hamba. Seperti orang yang shalat akan celaka bila menerlantarkan anak yatim dan kaum miskin dalam narasi al-Maun, ibadah haji pun hampa bila tidak mampu melahirkan sosok haji mabrur. 

Inti dari ritual haji adalah agar menjadi haji mabrur, Rasulullah Saw dengan lugas menyebutkan dalam hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA, “Haji yang mabrur balasannya tiada lain adalah surga.” Maka haji dan umrah berkali-kali menjadi tidak berarti bila derajat ini tidak tercapai. Lalu, apakah haji mabrur itu? Akar kata dari kata mabrur adalah al-birr. Syaikh Yusuf al-Qaradhawi dalam kitab al-Halal wa al Haram fil Islam  menjelaskan bahwa makna kata al-birr mengandung segala makna kebaikan termasuk di dalamnya berbuat baik kepada diri sendiri dan orang lain. 

Jika menggali lebih dalam makna al-birr di dalam al-Qur’an, akan terungkaplah betapa kualitas haji sesungguhnya terletak pada kepedulian sosial. Di surah al-Baqarah ayat 177 hakikat konsep ini didedah; di antara makna kebaikan sejati adalah memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan  dan orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jadi jelaslah bahwa seorang yang hajinya berkualitas mabrur tidak mungkin buta pada penderitaan sesama. 

Masyarakat Indonesia memang sudah saatnya sadar bahwa kualitas haji yang mabrur ini hendaknya didahulukan dari kuantitas ritaulnya. Begitu pun dengan umrah. Bukankah Rasulullah sendiri hanya berhaji sekali dalam hidupnya dan berumrah empat kali. Namun lihatlah, haji Rasulullah yang hanya sekali itu sangat berkualitas, menjadi salah satu momen penting dalam sejarah Islam yang dikenal sebagai peristiwa haji wada’.  

Ibadah haji yang cukup sekali tapi diiringi kesadaran menjadi pribadi mabrur setelahnya akan lebih membawa kebaikan bagi masyarakat dibanding ke tanah suci berkali-kali tapi tidak berefek apa-apa. Momentum haji bagi tiap individu Muslim haruslah berdampak signifikan pada dirinya. Pribadinya akan menjadi mabrur, pribadi yang peduli dan cinta pada kaum papa. Ketimbang untuk berhaji dan berumrah berkali-kali, kelebihan hartanya digunakan untuk kepentingan umum ; melalui zakat, infak, sadaqah, pajak, dan berbagai jalan kebaikan lainnya. Bia ia pejabat, tentu godaan mencuri uang rakyat akan dihalaunya jauh-jauh. 

Konsep mabrur inilah yang absen dari nalar orang-orang seperti Ade Armando hingga ritual haji dianggapnya tidak berguna dan minta haji dihentikan. Namun kita pun butuh menghisab diri, jangan sampai cara berpikir ekstrim semacam itu muncul sebab ritual kita dianggap tidak lagi berbekas pada level sosial. Maka, kualitas haji hendaknya didahulukan di atas kuantitasnya. Jawablah prasangka busuk tentang haji dengan amal nyata pribadi-pribadi yang mabrur.
Share this article :

1 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template