PADA tahun 1997, Runnymede Trust mengeluarkan sebuah laporan tentang
adanya sikap antipati, benci, dan pada tahap tertentu takut yang tidak
rasional kepada agama Islam dan komunitas Muslim di kalangan masyarakat
Inggris. Kelak sikap tersebut dikenal dengan sebutan Islamophobia.
Istilah ini menjadi semakin sering terdengar ketika perang melawan
terorisme rezim Bush berkecamuk. Pasalnya narasi para analis dan
media-media Barat seakan mengidentikan Islam dengan terorisme. Hasilnya
tindakan Islamophobia kian marak di sana.
stigmatisasi adalah langkah awal islamophobia |
Akibat Islampohbia tidaklah main-main. Di tahun 2015 saja ada dua
peristiwa pembunuhan dengan motif Islamophobia. Peristiwa tersebut cukup
membuka mata dunia, maka tagar #MuslimLiveMatter muncul lalu bergulir
menjadi kampanye di media sosial Twitter. Para netizen mengugatan narasi
media Barat yang seolah menganggap nyawa seorang muslim tidak berarti.
Indikasi hate crime pada pembunuhan mereka disamarkan. Lebih lanjut, peran Hollywood dalam memprovokasi Islamophobia juga dikritik. Film seperti American Sniper yang memberikan legitiamsi moral pada pembantaian muslim di Fallujah dinilai sudah keterlaluan.
Namun di tengah peningkatan tensi Islamophobia tersebut, di satu sisi
justru muncul kesadaran simpatik dari sebagian masyarakat di Barat.
Mereka mulai menyadari bahwa stigma yang ditanamkan media pada Islam dan
komunitas muslim di benak mereka tidak boleh ditelan begitu saja.
Disamping itu, peran aktif komintas muslim di sana juga memberikan angin
segar. Misalnya ketika komunitas muslim di Inggris melalukan aksi
membagikan bunga dan hijab di tempat umum pertengahan Maret ini, respon
publik ternyata sangat positif. tentu ini menjadi secercah cahaya
optimis, bahwa penyakit Islamophobia suatu saat akan benar-benar sirna.
Ketika mulai muncul kesadaran untuk melawan Islamophobia dari
masyarakat di Barat sendiri, kita dikejutkan oleh peristiwa yang terjadi
di tanah air. Di negeri yang menjunjung tinggi kebinekaan ini, muncul
beberapa peristiwa yang mengarah pada Islamophobia. Mulai dari kesulitan
memasuki autogate bandara Soekarno-Hatta bagi mereka yang
bernama Muhammad dan Ali, hingga pemblokiran situs-situs Islam.
Ironisnya, dua tindakan ini berjalan di atas rel kebijakan pemerintah.
Eksekutornya adalah aparat negara. Dalam hal ini kantor Imigrasi,
Menkominfo dan BNPT.
Dibalik dua kebijakan ini, terlihat ada logika yang sama dengan cara
berpikir kaum Islamophob; generaslisasi serampangan, dipicu kekhawatiran
berlebihan, berujung represi irrasional. Kekhawatiran pada ancaman
kelompok yang disebut Islam radikal membutakan nalar sehingga setiap
muslim akan dianggap berbahaya. Kelanjutannya adalah perlakuan buruk
kepada muslim secara umum. Perlakuan tersebut mulai dari diskriminasi
ringan hingga tindakan merenggut hak-hak mendasar mereka.
Autogate, menurut klarifikasi dari pihak imigrasi, memang sensitif
dengan nama-nama tertentu yang memiliki kemiripan dengan nama-nama yang
dicurigai. Generalisasi ini dilakukan oleh mesin sehingga masih
dimaklumi. Namun pada kasus pemblokiran beberapa situs Islam,
generalisasinya memang tampak gegabah dan berlebihan.
Bila ISIS dijadikan patokan gerakan radikal, maka seharusnya
situ-situs Islam tersebut tidak dimasukan ke dalam daftar blokir karena
selama ini justru anti terhadap ISIS. Bahkan ada situs yang fokus pada
pengembangan studi al-Qur’an, termasuk menggalakkan anak-anak untuk
mengahfal al-Qur’an. Tokohnya pun jelas menolak radikalisme, terutama
yang diwakili ISIS. Masyarakat juga bingung sebab tidak ada kriteria
jelas dalam memutuskan situs yang dianggap radikal
Pemerintahan kita tentu saja tidak anti-Islam, apalagi pengidap
Islamophobia. Namun demikian adanya kebijakan-kebijakan yang tampak
berjalan dengan logika Islampohobia tersebut bisa dinilai sebagai
tindakan gegabah yang tentu seharusnya bisa ditinjau kembali. Kedepan
kebijakan seperti itu jangan sampai terulang, sebab peluang untuk itu
masih terbuka lebar. Survey tentang adanya siswa SMA yang simpati pada
ISIS misalnya, jangan sampai melahirkan kebijakan represif terhadap
kegiatan keislaman siswa. Kebijakan yang berjalan di atas logika
Islamophobia sangat kontraproduktif, sehingga perlu dihindari.
*tulisan ini pernah dimuat di media Islampos(dot)com. dimuat lagi di sini untuk kepentingan dakwah
*sumber gambar ; https://abagond.wordpress.com/2015/01/13/islamophobia/
*adminnya sedang nggak ada modal buat internetan, jadi update lama :D hehehe