بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Akhir-akhir
ini, isu SARA (suku-agama-ras) terutama yang berkaitan dengan agama menjadi
santer bergentayangan di sekitar eskalasi perpolitikan. Pemicunya adalah
pilkada DKI yang membuat bumi (sosmed) ganjang-ganjing. Masalah agama ini
memang selalu hangat diperbincangkan. Ki Bagus Hadikusumo, salah satu pendiri
bangsa, ternyata telah jauh-jauh hari memberikan kita peringatan dan petuah seputar
isu SARA dalam konstelasi politik ini. Petuah itu terekam di dalam bukunya,
Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Alangkah baiknya jika petuah
bapak bangsa yang tahun lalu dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional itu kembali
kita ingat dan renungkan, demi merawat cinta pada Indonesia, demi menjaga akal
tetap sehat.
Ki Bagus Hadikusumo pas masih muda ganteng ya, sama kayak admin :D |
Jika
membincangkan isu sara, maka salah satu lintasan pikiran yang segera menyergap
saya adalah sebuah memori tentang debat caleg beberapa tahun silam. Acara debat
antara caleg itu sebenarnya tidak terlalu istimewa, makanya detail waktu,
tempat, atau stasuin televisi mana yang menyiarannya tidak tersimpan dengan
baik di memori saya. Namun ada satu fragmen dari acara itu yang tetap melekat
di salah satu ceruk ingatan karena cukup berkesan. Debat itu menghadirkan caleg
dari beberapa partai, di antaranya ada partai-partai berhaluan agama yakni
partai yang berlambang benda-benda langit dan partai yang lambangnya bergambar
pohon cemara (kalau nggk salah ingat si).
Fargmen
berkesan itu terjadi ketika caleg dari partai benda langit dipersilakan
membentangkan ide-ide yang hendak ia wujudkan sekiranya terpilih. Si caleg
partai benda langit itu dengan semangat menyampaikan bahwa sektor pertanian
yang menjadi potensi daerahnya ingin ia kembangkan, salah satunya dengan ihya
al-mawat ; menanami lahan-lahan terbengkalai dengan tanaman-tanaman produktif.
Tak lupa si caleg menyetir hadis yang berisi anjuran Rasulullah saw untuk gemar
menanm beserta regulasi fikih berkenaan dengan bab ihya al-mawat.
Sepintas,
apa yang disampaikannya sebenarnya biasa-biasa saja, tidak mengandung unsur
apapun yang dapat menyinggung golongan manapun. Apa yang salah dengan ide
menanami lahan yang terbengkalai? Bukankah ide reboisasi dan pemberdayaan
petani sungguh sebuah isu global? Orang-orang di seluruh planet Bumi ini bahkan
tengah dilanda khawatir mendalam akibat global warming, pemanasan global yang
salah satunya bisa diatasi dengan memperbanyak vegetasi. Intinya, hal itu
memang layak dilakukan, entah karena perintah hadis atau karena anjuran Green
Peace.
Namun
ternyata tidak semua orang berpikiran sama, terutama karena si caleg pake
bawa-bawa hadis segala. Maka angkat bicaralah caleg dari partai berlambang
tanaman yang kemudian dengan semangat memberikan kuliah tentang betapa telah
finalnya Pancasila sebagai dasar neagara kita. Rupanya bagi ibu caleg itu,
bapak caleg yang bawa-bawa hadis tadi telah keliru karena hendak menerapkan
kebijakan yang berlandaskan agama tertentu tanpa peduli bahwa isu yang
diangkatnya sebanrnya sangat universal. Dengan segala hormat bagi saya acara
itu menjadi agak menggelikan.
Melihat
kalapnya si caleg dari partai berlambang tanaman dalam menekankan finalitas
Pancasila, saya jadi menyimpulkan bahwa ternyata ada orang-orang tertentu di
republik ini yang amat sangat sensitif terhadap penggunaan agama sebagai inspirasi
penetuan arah negara, dan sensitifitas itu membuat mereka melupakan substansi
yang bersama dicitakan ; kemajuan negara tercinta. Bagi si caleg dari partai
berlambang benda-benda langit ingin saya katakn ; mungkin memang hari-hari ini
bukan lagi saatnya mengumbar agama dengan terlalu vulgar. Apa salahnya kita
menjalankan perintah Rasululullah dengan tetap berniat ittiba’ tanpa harus
mengumumkan bahwa saya sedang mengikuti Sang Junjungan kepada dunia? Tapi hey,
bukankah itu sebenarnya hak azasi di caleg?, menjalankan perintah agamanya?
Kenapa harus disuruh sembunyi-sembunyi?. Duh, lihatkan, memperbincangkan isu
seputar agama dan politik memang agak-agak problematis di era kita kini. Tak
pelak isu agama pun menajdi bola panas di pilkada DKI.
Ki
Bagus Hadikusumo salah satu pendiri republik yang bijak bestari ternyata telah
menyadari panasnya masalah agama jika dibwa-bawa ke pentas perpolitikan sejak
beliau memperjuangkan ideologinya di sidang-sidang BPUPKI. Namun beliau
memiliki sikap yang sangat elegan dalam masalah ini. Sikap itu beliau tuangkan
dalam salah satu pernyataannya di sidang BPUPKI ketika menanggapi lontaran
kalimat dari seorang anggota sidang yang cukup tidak enak didengar oleh sesepuh
Muhammadiyah tersebut.
Dalam
pidatonya, Ki Bagus mengungkapkan keheranannya, mengapa orang-orang selalu
“berhati-hati” jika berbicara maslah agama dalam kaitannya dengan negara ketika
itu. Seolah-olah dengan membawa-bawa agama mereka akan memecah belah bangsa.
Padahal, kata Ki Bagus, bukan hanya perkara agama saja yang dapat menimbulkan
perecahan dan perselisihan apabila “diperbincangkan dengan tidak berdasar
kejujuran, kesucian, dan keikhlasan”. Perkara seperti apakah bentuk negara itu
republik, persyerikatan, atau monarki terbukti juga menimbulkan polemik yang dahsyat
ketika itu.
Jadi
jika ditarik inti sarinya, Ki Bagus Hadikusumo menganggap mereka yang selalu
mau terpecah belah dan berselisih ketika membincang agama di panggung politik
(apalagi perebutan suara), sebenarnya perlu waspada terhadap nurani mereka, apakah
mereka masih memiliki kejujuran, kesucian, dan keihlasan ketika
mempermasalahkan hal itu? Apakah mereka memang tengah membela keyakinannya atau
sekedar menjadikannya alat pemuas nafsu kekuasaan? Perkara apapun dapat memecah
belah jika dipersoalkan dengan semangat ingin menghalau lawan yang membara.
Perkara
apapun bisa membawa perselisihan bila yang memperdebatkannya masing-masing
menyimpan ambisi besar berkelindan tamak di dalam hati mereka masing-masing.
Perkara apapun bisa dijadikan api membara untuk menghanguskan lawan dalam
pemilu, jika memang awalnya sudah berniat menjungkalkan dengan tidak sportif.
Dan bagi yang membaca, jika anda mulai curiga saya sedang membela pihak
tertentu di pilkada DKI kemarin, mungkin anda juga perlu melakukan apa yang dinasehatkan
Ki Bagus, karena saya sama sekali tidak berminat ikut campur masalah itu.
Apa
yang diyakini Ki Bagus Hadikusumo ternyata terbukti beberapa generasi
setelahnya, tepatnya ketika sidang Konstituante digelar. Ketika itu
masing-masing tokoh mengusung ideologinya dalam pidato-pidato mereka untuk
merumuskan dasar negara. Tokoh nasionalis sekuler kokoh pada ide-ide
kebangsaan, kaum komunis mengajukan komunisme, dan kaum agama termasuk Islam
dan Kristen juga memperjuangkan keyakinan mereka. Percaturan sengit ide-ide itu
mengerucut ke dalam tiga pilihan ; Islam, Pancasila, atau Sosial-Ekonomi. Namun
karena mereka mungkin seperti kata Ki Bagus, memperbincangkan agama dengan
tetap ikhlas, jujur, dan niat suci demi kemajuan bangsa, kita menyaksikan
betapa elegan tokoh-tokoh itu. Kita
akan terkagum-kagum membaca catatan sejarah betapa Buya Mohammad Natsir sang
islamis dari Masyumi yang jelas-jelas menyatakan Konstituante adalah
“sanctuary” tempat ide-ide berkonfrontasi dengan tajam, IJ Kasimo dari Partai
Katolik, dan Aidit dari PKI masih bisa bercengkrama makan sate dan ngopi bareng
di kafe parlemen sehabis debat pelik di persidangan. Apa yang mereka lakukan
tentu bukan kepura-puraan untuk pencitraan, persahabatan mereka tetap
berlangsung di kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, tidak ada yang salah dengan menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dalam membentuk pandangan politik. Para pendahulu kita pun telah lama melakononya. Mungkin bedanya, pada mereka aspirasi berbasis agama itu diusung dengan hati yang ihlas, niat yang tulus, dan cara yang elegan nan cerdas seperti yang diinginkan Ki Bagus Hadikusumo, mereka pun tampak begitu memesona dan patut diteladani. Semoga kalimat "bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya" tidak hanya menjadi slogan kosong seperti kebanyakan slogan politik hari-hari ini. Semoga teladan dan petuah mereka dapat diikuti oleh mereka yang menceburkan diri di jeram perpolitikan Indonesia.
Itu yg jdi mslh sbnrnya ka. Kandidat kan cuma kampanye, smpekan visi misi, toh kl pun ada dalil agama yg dikutip, itu yg susah dinilai. Apa cuma sekedar manipulasi agama utk pencitraan atau memg ada keinginan utk diprtnggungjwabkan
BalasHapusmakanya perlu dilacak track recordnya, sebelumnya apakah dia memang menjadikan agama sebagai pertimbangan dalam kebijakannya?
Hapusbukannya mempromosikan salah satu calon, tapi Yusril sering mengambil inspirasi dari hukum Islam ketika masih jadi menhumkam (atau apalah jabatannya waktu itu) dia bahkan memakai hukum islam untuk mendamaikan konflik suku di papua tanpa bilang kalo itu hukum Islam hehe... begitulah yg diperlukan, mengambil kebaikan dari agma nggak usah bilang-bilang ini saya lagi pake hukum agama..
Sepertinya ini tanda2 kalo pilkada nanti sdh ikut memilih ka :D
BalasHapus