بِسْÙ…ِ اللَّÙ‡ِ الرَّØْÙ…َÙ†ِ الرَّØِيمِ
Bismillah....
Imam Abu Hanifah terlahir di dalam sebuah keluarga mawla yang
berkecukupan taat beragama di Kufah. Beliau telah memperoleh didikan dasar
dalam agama sejak masih kecil di keluarganya. Ia berhasil menghapal al-Qur’an
pada usia belia sebagai persiapan untuk lebih mendalami ilmu agama (al-‘Ajami, : 181). Beliau belajar al-Qur’an dengan baik
dan menguasai qira’ah ‘Ashim, sah
satu dari tujuh qira’ah dengan sanad bersambung hingga Rasulullah (Abu
Zahrah, 1947 : 21). Namun demikian, seperti telah disinggung sebelumnya, Imam
Abu Hanifah pada awalnya tidak fokus untuk memperdalam ilmu agama. Beliau hanya
mendatangi majlis-majlis para ulama yang banyak terdapat si Kufah sebagai
“selingan” dari kegiatan bisnisnya. Kesadaran
Imam Abu Hanifah untuk benar-benar terjun memperdalam ilmu agama terjadi berkat
pertemunnya dengan asy-Sya’bi. Hal ini juga telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya.
Setelah mencurahkan perhatiannya untuk menuntut ilmu agama, Imam Abu
Hanifah tidak serta merta menjadi seorang pengkaji fikih. Di Kufah ketika itu ada
tiga macam majlis ilmu yakni; halaqah mengenai dasar-dasar aqidah dan tempat
ini di hadiri oleh beberapa sekte dan golongan, halaqah periwayatan hadis dan
halaqah ilmu fikih (Abu Zahrah, 1947 : 24).Sejawaran justru mencatat bahwa
awalnya beliau lebih tertarik untuk terjun ke dalam perdebatan teologis ilmu
Kalam. Pada masa Imam Abu Hanifah, ada banyak sekali aliran keagamaan yang
muncul. Aliran-aliran sempalan itu merupakan tantangan tersendiri bagi ajaran
Islam yang murni. Olehnya, para ulama mencurahkan perhatiannya untuk mendebat
mereka. Situasi ini kemudian melahirkan disiplin ilmu kalam. Imam Abu Hanifah
mempelajari ilmu ini dengan sangat intens sehingga beliau menjadi seorang yang
sangat kompeten di bidang ini.
Menurut Abu Zahrah (1947 : 22), aktivitas perdebatan Imam Abu Hanifah
terhadap kelompok-kelompok sesat sebenarnya telah berlangsung sejak beliau
masih fokus pada keigiatan bisnis. Setelah beralih kepada dunia intelektual,
Imam Abu Hanifah semakin dalam mengkaji ilmu ini. Beliau juga semakin intens
mendebat tokoh-tokoh aliran sempalan. Fakta bahwa ia telah menjadi debator
ulung sebelum terjun dalam dunia intelektual secara penuh adalah bahwa beliau
telah menjadi pengajar ilmu Kalam di masjid Kufah ketika berumur 20 tahun
(Ghawiji, 1993 : 92). Selain di Kufah
Imam Abu Hanifah bahkan berangkat khusus ke kota Bashrah untuk berdebat dengan
tokoh-tokoh berbagai aliran di kota itu sebagaimana disampaikan oleh Ibnu
al-Bazzary di dalam buku biografinya.
Setelah tenggelam begitu dalam di dalam ilmu Kalam, Imam Abu Hanifah lalu
berpindah kepada ilmu fikih. Meskipun kepindahan beliau tidak berarti sama
sekali tidak berkecimpung dalam perdebatan melawan tokoh-tokoh menyimpang. Peralihan
fokus intelektual Imam Abu Hanifah ke ilmu fikih ini terekam di dalam beberapa
riwayat. Benang merah dari riwayat-riwayat itu adalah kesadaran Imam Abu
Hanifah bahwa ilmu Kalam hanya memberinya kepuasan intelektual semu ketika
berhasil mendebat lawan, semua itu membuat hati menjadi keras. Perkara-perkara
yang dipermaslahkan di dalam ilmu Kalam pun tidak pernah menjadi topik
pembicaraan generasi terbaik Islam yakni para sahabat. Pembahasan ilmu Kalam
terlalu elitis dan tidak menjangkau persoalan nyata umat Islam. Berbeda dengan
ilmu fikih yang benar-benar berurusan dengan masalah aktual umat Islam.
Salah satu riwayat yang cukup menjelaskan alasan beliau lebih mendalami
fikih adalah riwayat yang dilaporkan oleh Yahya bin Syaiban, salah satu murid
beliau ;
Pada mulanya aku mengira
ilmu Kalam adalah ilmu terbaik. Aku juga pernah menyatakan bahwa ilmu Kalam
merupakan asas agama. Setelah usiaku beranjak aku merenung mengevaluasi diri
dan berkata dalam hati ; para sahabat Nabi dulu dan juga tabi’in tidak
melewatkan suatu pun ilmu yang kami jumpai saat ini. Tentu mereka lebih mengetahui itu (bahasan ilmu
Kalam) ..... mereka tidak menjadikannya bahan untuk saling bertikai, mereka
juga tidak mendalaminya. Mereka malah menahan diri darinya dan melarang keras
untuk itu. Mereka justru memperdalam syariat dan fikih. Aku mengetahui mereka
terkait fikih, mereka duduk dalam forum untuk membicarakannya. Karena fikih
pulalah mereka datang, belajar dan menyeru orang lain untuk belajar, memberi
fatwa dan meminta fatwa. Keadaan seperti itulah yang terjadi pada periode
pertama para pendahulu ummat (salaf al-ummah) kemudian diikuti oleh para
genrerasi tabi’in. Setelah mengetahui semua itu, kami akhirnya meninggalkan
perdebatan dalam ilmu Kalam, cukuplah kami tahu saja. Kami kembali ke manhaj
salaf (metode para pendahulu), kami terapkan teladan mereka dan kami lakukan
apa yang mereka kerjakan (mengkaji fikih). ()
Perlu dicatat bahwa fokusnya Imam Abu Hanifah terhadap persoalan fikih
dalam pengertian hukum tidak membautnya melupakan atau meremehkan persoalan
akidah. Bagi beliau, akidah adalah persoalan utama ajaran Islam sehingga beliau
menulis buku berjudul al-Fiqh al-Akbar. Pada riwayat lainnya disebutkan
sebab yang lebih spesifik mengapa Imam Abu Hanifah akhirnya lebih memilih untuk
memperdalam ilmu fikih. Riwayat ini berasal dari Zufar bin Hudzail yang juga
salah satu murid sang imam. Adz-Dzahabi (tt : 397) mencatat riwayat
tersebut dimana Imam Abu Hanifah bercerita tentang dirinya ;
Aku mempelajari ilmu
Kalam hingga mencapai tingkat yang diperhitungkan. Kami pernah duduk di dekat
majlis Hammad bin Abu Sulaiman, tiba-tiba seorang wanita datang menghampiriku,
dia bertanya, “Saya mempunya suami yang beristrikan seorang budak. Ia ingin
menceraikannya sesuai dengan sunnah. Berapa kali suami saya menjatuhkan talak?
” Aku tidak tahu jawabannya lalu aku menyuruhnya untuk bertanya kepada Hammad,
selanjutnya kembalilah padaku dan beritahu aku jawabannya. Wanita itu akhirnya
bertanya kepada Hammad, ia datang kepadaku dan memberitahu jawabannya. Setelah
itu aku pun menyatkan, “Aku tidak membutuhkan ilmu Kalam”.
Riwayat ini memiliki informasi utama yang sama dengan riwayat sebelumnya
tentang alasan berpindahnya fokus Imam Abu Hanifah kepada fikih. Hanya saja,
dari riwayat ini dapat diperoleh informasi yang lebih detail tentang titik
kesadaran Imam Abu Hanifah akan pentingnya ilmu fikih. Kesadaran itu
diperolehnya setelah seorang wanita meminta fatwa kepadanya sedangkan ia sama
sekali tidak megerti persoalan hukum. Persoalan wanita itu justru mampu dijawab
oleh seorang ulama fikih terkemuka bernama Hammad bin Abi Sulaiman. Tokoh ini
lah yang kemudian memainkan peran cukup signifikan di dalam perjalanan
intelektual Imam Abu Hanifah dalam ranah fikih. Setelah memutuskan untuk
belajar fikih, segera saja Imam Abu Hanifah memutuskan untuk belajar kepada
Hammad. Olehnya, tokoh ini adalah salah satu dari guru-guru Imam Abu Hanifah
yang terkemuka.