Bismillah...
postingan kali ini masih lanjutan dari postingan sebelumnya mengenai
sentimen anti-Islam dan sikap ideal dalam menghadapinya.
Pada postingan sebelumnya
tentang faktor yang menyebabkan barat membeci Islam, telah diajukan
beberapa tesis yang mungkin menjadi jawaban dari sebuah pertanyaan
besar ; mengapa masih banyak masyarakat
Barat yang merasa antipati atau bahkan takut terhadap Islam sebagai
sebuah
agama dan kaum Muslimin sebagai sebuah komunitas umat beragama?.
Terlepas dari
faktor apa sebenarnya yang menjadi pemicu dominan dari rasa takut atau
benci
tersebut, suatu yang pasti bahwa sentimen ini telah berkembang menjadi
penolakan atas Islam sebagai agama atau bahkan terhadap keberadaan
komunitas
kaum muslimin. Penolakan terhadap Islam memang telah ada sejak pertama
kali
dakwahnya diserukan oleh Rasulullah, dan akan terus ada hingga kiamat
kelak.
Faktornya mugnkin beragam, mulai dari ketakutan kehilangan pengaruh
seperti
elit Quraisy dan Abdullah bin Ubay bin Salul si gembong munafik, hingga
faktor-faktor yan telah kita diskusikan sebelumnya., namun Allah swt di
dalam al-Qur’an
memberikan penyederhanaan yang padat dan jelas dalam maslah ini. Di
dalam
bahasa al-Qur’an, kaum yang menolak kebenaran Islam ada di dalam dua
klasifikasi besar ; adh-dhalin (kaum yang sesat) dan al-maghdub (kaum
yang dimurkai). Kedua klasifikasi ini disebutkan pada surah al-Fatihah, sebagai
antagonis dari kaum beriman yang menerima Islam dan senantiasa berdoa agar
tetap berada pada “jalan yang lurus”.
kaum al-dhalin, sesat karena provokasi |
Kaum
kedua adalah adh-dhalin, atau kaum yang tersesat. Para mufasir
menyebutkan bahwa julukan ini merujuk kepada orang-orang Nasrani dan siapa pun
yang mengikuti sifat mereka. Jenis kedua ini adalah merekak yang menolak Islam
karena ketidak tahuan akan hakikat kebenaran Islam. Mereka adalah korban
propoganda media yang terlanjur bersikap bias terhadap Islam, seperti yang
dikatakan Edward Said. Ketika menafsirkan ayat terkahir surah al-Fatihah
tersebut, Syaikh Mutawalli asy-Sya’rawi menyatakan bahwa disamping mereka yang
tersesat karena ketidak tahuan atau kebodohan, kelompok adh-dhalin juga
mencakup kaum al-mudhil, yaitu mereka yang setelah tersesat mulai
menyebarkan kesesatannya dengan antusias. (asy-Sya’rawi, tt : 33). Dalam konteks kasus Barat, kaum yang
disebutkan oleh asy-Sya’rawi ini adalah media dan penulis-penulis yang gemar
memunculkan citra buruk Islam. Belakangna pencitraan itu berkembang menjadi
film, karikatur, bahkan vidio games.
Kedua
jenis kelompok penolak Islam tadi telah diliputi oleh kegelapan karena enggan
menerima cahaya Islam. Adalah tanggung jawab kita yang telah menerima cahaya
Islam untuk menyebarkan cahaya itu kepada mereka. Di dalam al-Qur’an Allah swt
memberikan isyarat bahwa cahaya Islam dapat diketahui manusia melalui al-qalam
(al-‘Alaq : 5-6). Bahkan untuk menanggapi sikap anti dawah para elit
Quraisy yang mengangap Nabi Muhammad gila, Allah swt bersumpah demi al-qalam
dan segala yang dituliskan bahwa Muhammad sang penerima risalah sama sekali
tidak gila (al-Qalam : 3). Al-qalam berarti
pena, dalam konteks kemoderean, pena dapat diartikan kegiata menyebar luaskan
ide melalui media, terutama media tulis baik cetak maupun online. Kami
yakin bahwa di era informasi ini, seperti kata Alvin Toffler, mereka yang
menguasai informasi atau pembentuk wacana adalah akan menjadi penguasa. Telah
kita maklumi bahwa opini publik kini berada di tangan kaum yang tidak terlalu
simpati pada Islam.
Dengan
spirit al-Qalam ini, saatnya kaum muslimin untuk menggalakan kegiatan menulis,
karena seperti yang telah diisyratkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an, menulis
dapat membuktikan betapa Muhammad adalah pribadi yang mulia dan ajaran yang
dibawanya adalah kebenaran yang nyata. Logikanya, bagaimana mungkin ajaran yang
datang dari seorang yang gila, mampu melahirkan peradaban yang dibangun di atas
tradisi ilmu dimana kegiatan tulis-menulis adalah tiang utamanya. Jika ajaran
Islam memang ajaran barbar, bagaiaman mungkin dari rahim peradabannya lahir
penulis-penulis ensiklopedis seperti al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Miskawaih dan
sangat banyak lagi?. Dahulu Islam
disegani karena tradisi al-qalam yang mengagumkan ; seorang ulama akan diberikan emas seberat
kitab-kitab yang dapat disusunnya. Bahkan setelah peran politik-militer umat
Islam telah pudar, buku-buku karangan ulama Islam seperti al-Razi, al-Ghazali,
Ibnu Sina, atau Ibnu Taimiyah tetap dikaji dengan penuh gairah di Barat. Dus,
spirit al-Qalam ummat Islam telah berhasil membuktikan keagungan ajarannya.
Maka, jika selama ini Muhammadiyah berbangga dengan spirit al-Maun, kini
saatnya Muhammadiyah menggalakn spirit al-Qalam. Semoga dari lingkungannya
lahir para penulis yang mampu menghapus citra buruk Islam dengan gorean pena
mereka. Wallahu a’lam.
Paling gemes dengan kaum al-mudhil yang merasa paling intelek.. *lirik JIL :D :D :D
BalasHapushehehe.... iya, bahkan si novri anak jil itu, nggk segan2 ngatain orang kolot. ckckck,
BalasHapustafsiran asy-Sya'rawi ttg keberadaan kamu al-mudhil itu memang pas mantap sama mereka *ngelirik2 JIL juga hehe.
suka ending nya! kita memang harus bergerak. media yang pas untuk membendung itu semua, selain media. yaa dengan tulisan ini!
BalasHapusterus berkarya!
Allahu Akbar.
lirik juga: zarkasih20.blogspot.com
makasih mas... ya ya, aduh sebenarnya ini memang tulisan untuk majalah SM, jadi ada Muhammadiyahnya hehe... tapi yaa, ini tetap berlaku bagi setiap muslim.
BalasHapusyup bro... langsung ke tkp ni.