![]() |
sumber gambar ; junk-drawer-mind.com |
Membaca sejarah hidup orang-orang besar memang selalu
menghadirkan decak kagum. Bahkan ada yang menyatakan bahwa sejarah
(sendiri) tak lain adalah kisah hidup orang-orang besar. Kita akan
membicarakan empat tokoh intelektual Islam : Maulana Kalam Azad,
Muhammad Asad, Cak Nur, dan Musdah Mulia. Keempat tokoh ini adalah
tokoh-tokoh yang sedikit banyak telah menggerakan sejarah, menarik
perhatian pemikir untuk berpikir, penulis untuk menulis, penyair untuk
berpuisi, atau sekedar komentator warung kopi untuk berkomentar tentang
mereka. Saya sendiri, tampaknya masuk kedalam kelompok yang terakhir.
Komentar saya pun sebatas yang saya ketahui tentang mereka. Tulisan ini
sekedar refleksi, cermin bagi yang merasa perlu bercermin.
Keempat tokoh ini membuat saya berdecak kagum sekaligus ngeri, dan
terheran-heran betapa pemikiran seseorang dapat berubah berbalik arah.
Tidak heran jika para peletak dasar kaidah-kaidah jarh wa ta’dil
merumuskan sebuah jarh yang selalu membuat saya merinding : tsiqah, taghayyara ; seorang
yang dapat dipercaya namun belakangan dia ‘berubah’. Meski sebenarnya
kadiah ini lebih pada aspek intelektualitas (daya hafal) namun dalam
beberapa kasus juga dalam hal integritas akidah keislaman. Dalam kasus
keempat intelektual Islam yang akan kita bicarakan ini, tampaknya perlu
dibuat kriteria lain yakni adanya ‘taghayyur’ dalam hal pemikiran mereka (sekali lagi, sebatas yang saya tahu).
Dari sebuah buku yang saya baca tentang Cak Nur dan Musdah Mulia,
dikatakan bahwa ketika masih muda keduanya adalah pejuang Islam yang
tangguh. Nurchalis muda bahkan dijulujki Natsir muda. Natsir karena ia
begitu gigih dan meyakinkan mengkritisi sekularisme, baginya muslim
yang menerima sekularisme pasti akan mengalami split personalitiy. Muda
karena ketika itu dia adalah salah satu tokoh puncak HMI. Mereka yang
pemikirannya berhulu di ‘semangat Masyumi’ menaruh harapan besar pada
Nurcholis. Sampai pada suatu ketika dia diundang belajar ke Amerika
untuk “melihat sendiri apa yang selama ini dia tentang”, sekembalinya
dari sana lahirlah sosok yang baru ; Cak Nur dengan semboyannya yang
mengundang polemik ‘Islam Yes Partai Islam No’. Pada akhirnya Cak Nur
malah bertentangan dengan tokoh-tokoh Masyumi atau HMI yang
pemikirannya segaris dengan Masyumi seperti Endang Saefullah Anshori.
Pertentangan itu menurut Ahmad Wahib bukan sekedar salah paham tetapi
“karena perbedaan pemikiran yang sangat fundmental ”. Akhirnya, Wahib,
Endang, Dawam, bahkan seorang Kang Imad pun sepakat bahwa ‘Nurchalis
telah berubah’.
Demikian juga Musdah Mulia, dulu ketika aktif di PII dia adalah salah
satu primadona pejuang yang militan. Pada masa ketika berjilbab adalah
perkara yang besar, berat, dengan konsekuensi yang tidak sepele,
santiriyah dari Bone itu dijuluki di PII sebagai “Jilbab Putih dari
Timur” (kalau tidak salah). Alasannya jelas, dia seorang aktivis
pendukung jilbab, dan dengan kecakapanya berjuang agar segala larangan
berjilbab dihilangkan. Pada masa-masa itu (Orba) PII memang dikenal
militan, bahkan seorang aktivis PII meminta fatwa kepada Natsir untuk
menghalalkan darah Cak Nur, tapi tidak diberikan. Musdah berada di dalam
gerakan itu, menjadi salah satu aktivisnya. Namun seiring berjalannya
waktu, perubahan pun terjadi. Kini Siti Musdah Mulia dikenal sebagai
pejuang hak kaum penyuka sesama jenis. Dia bahkan berani membuat sebuah
pernyataan konyol “Allah tidak meliht orientasi seksual seseorang,
tetapi yang dilihat adalah ketakwaannya”. Untuk kegigihannya dalam
medan baru perjuangannya, dia telah mendapat awward dari banyak lembaga.
Begitulah,
Musdah tetap berjilbab, namun isi kepalanya kini telah berubah
berbalik arah. Yang diperjuangkannya bukan lagi agar orang-orang bebas
menjalankan perintah Allah, kini ia berjuang gigih agar siapa pun bebas
melaksanakan larangan Allah yang sungnguh keji. Perubahan yang sepola
meski tidak persis sama juga terjadi pada dua intelektual Islam dari
belahan dunia yang lain ; Muhammad Asad dan Maulana Kalam Azad.
Muhammad Asad adalah tokoh yang sangat saya kagumi, dan sialnya
sampai sekarang belum ada satu pun bukunya yang berhasil saya miliki.
Salah satu bukunya yang diakui bernas dalam membela Islam dan mengkritik
filsafat Barat yang materialistik adalah Islam in Crossroad, atau Islam
di Persimpangan Jalan. Buku ini bahkan menjadi salah satu buku yang
inspiratif bagi Maryam Jameelah, yang sebagaimana Muhammad Asad sendiri,
adalah muallaf Yahudi yang kemudian menjadi cendikiawan Islam. Namun
kekaguman Maryam Jameelah kepada tokoh bernama asli Leopold Lewis
(lagi-lagi jika tidak salah) ini berubah menjadi semacam kesedihan dan
rasa kasihan ketika dari surat Abul A’la al-Maududi ia mengetahui bahwa
Muhammad Asad telah berubah menjadi seperti “kaum ‘progresif atau Yahudi
yang ‘terbarukan’’ ”. Saya yang membaca korespondensi Maryam Jameelah
dan al-Maududi bisa merasakan apa yang dirasakan Jameelah. Mengapa tokoh
yang pemikirannya sangat brilian begitu bisa berubah berbalik arah?.
Permasalahan ekonomi dan pengucilan intelektual mungkin saja menjadi
alasannya. Setidaknya begitulah dugaan al-Maududi.
Dari korespondensi al-Maududi dan Maryam Jameelah juga lah saya
mengetahui perihal Maulana Kalam Azad. Tokoh pejuang kebangkitan
khilafah dari anak benua India yang pada akhir hayatnya mengalami
perbuahan orientasi. Sampai tahun 1921 Maulana Kalam Azad adalah seorang
pejuang kebangkitan Islam dan khilafat yang tangguh. Pada masa itu
dunia intelektual Islam memang sedang menggeliat, di sisi lain,
kekuatan politik mereka di kancah internasional kolaps yang berakhir
dengan runtuhnya Turki Utsmani pada tahun 1924. Namun belakangan,
Maulana Kalam Azad mengalami perubahan dalam gerakan dan pemikiran. Dia
menjadi pendukung nasionalisme India yang berdiri dengan komponen muslim
dan non-muslim.
Al-Maududi menceritakan perubahan Azad dengan sedikit nada sesal.
Akan tetapi sebenarnya perubahan orientasi Azad dapat kita sejajarkan
dengan apa yang dialami Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo,
atau bahkan hampir semua tokoh Islam yang aktif dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Pada mulanya mereka menginginkan agar Indonesia
merdeka didasarkan atas Islam, namun dengan banyak kompromi dan
pertimbangan pelik, toh mereka “merelakan” Indonesia tidak berdasarkan
Islam. Pada ranah dasar negara ini saya masih berbaik sangka kepada
Maulana Kalam Azad, dengan membandingkannya dengan tokoh-tokoh kita
sendiri di Indonesia. Perubahan sebenarnya dari Maulana Kalam Azad yang
patut disayangkan adalah kecendrungannya pada pluralisme agama.
Al-Maududi menjelaskan bahwa di dalam tafsir al-Qur’an yang ditulisnya,
Azad mencoba mengasimilasikan “kesatuan agama” yang dicetuskan oleh
filosof Hindu dengan teori Evolusi Darwin dari barat. Seorang Kalam
Azad, kata al-Maududi, telah mengalami metamorfosis sehingga lahir
seorang Kalam Azad yang baru. Ya, Kalam Azad berubah berbalik arah.
Lalu apa?. Jika telah mengetahui perihal mereka, apa pengaruhnya
bagi kita?. “Itulah orang-orang yang telah berlalu”, firman Allah di
dalam al-Qur’an, “bagi mereka apa yang telah mereka lakukan, dan bagimu
pula apa yang kau lakukan”. Berefleksi dari mereka mungkin tindakan
yang paling bijak. Ternyata, seperti juga hati yang senantiasa
berbolak-balik, pikiran dan arah perjuangan juga tidak lah tetap. Kita
ternyata diselimuti jutaan kemungkinan, yang pada suatu ketika
mendatangi pikiran dalam bentuk pilihan-pilihan. Disamping itu, ada
berjuta konteks potensial, yang pada waktunya akan datang dalam bentuk
konteks yang rumit, membuat kita sukar menentukan yang terbaik. Meminta
pertolongan Allah adalah satu-satunya cara, semoga Dia menetapkan kita
pada pilihan-pilihan yang tepat. Sebagai ikhtiyar yang mendampingi doa,
tidak banyak yang mampu kita lakukan selain terus meningkatkan wawasan
keislaman. Dunia sudah tua, dajjal meraja lela. Surga kadang tampak
seperti neraka, dan neraka tampak seperti surga. Wahai Tuhan yang maha membolak-balikan hati, tetapkan hati kami diatas jalan iman. Izinkan kami untuk tetap “billahi fi sabil al-haq”, membersamai-Mu meniti jalan kebenaran.
mungkin akhirnya mereka menemukan kebenaran yang sesungguhnya.... kita sajalah yang menganggap mereka berubha jadi buruk... gimana?
BalasHapushmm...
BalasHapusSangat yakin bahwa saya tidak bersetuju dengan ini:
BalasHapus{mungkin akhirnya mereka menemukan kebenaran yang sesungguhnya.... kita sajalah yang menganggap mereka berubha jadi buruk... gimana?}
Mengenai tokoh2 yang "kena cuci otak" di atas, satu hal yang bisa saya simpulkan. Mereka memandang agama itu sama dengan filsafat, yaitu hanya berisi hukum positif dan prinsip2 moral (akhlak). Secara rasio-intelektual, mereka unggul, tapi kecerdasan tauhidnya nol sama sekali. saya cenderung yakin, mereka tidak pernah tersentuh atau tidak pernah bersentuhan dengan ilmu tauhid yang sesungguhnya.
Meskipun benar, Allahlah Sang Pembolak balik hati, tapi yakinkan begitu paham prinsip2 tauhid, takkan pernah seorang muslim muwwahid berbalik arah. Sebab, Allah tidak bersifat zalim. (Q.S. Qaf:29) :)