Akhir-akhir ini banyak sekali kejadian yang membuat warga Indonesia
berduka. Sebab berbagai macam bencana silih berganti menimpa. Mulai dari
longsor besar di Banjarnegara. Kebakaran di Pasar Klewer Solo. Dan kini yang
paling menghebohkan, satu lagi pesawat komersil Air Asia jatuh dan memakan
korban 115 penumpang.
Berbagai macam peristiwa na’as yang terjadi ini jika mau diperbandingkan,
sangat kontradiktif dengan tradisi menjelangnya pergantian tahun. sebab
biasanya, perayaan pergantian tahun disambut dengan gebyar gegap gempita.
Kesenangan menunggu detik-detik tahun baru dengan berbagai macam cara; mulai dari
menggelar pesta pertengahan malam. Terompet-terompet dibunyikan. Petasan
dinyalakan. Hingga yang tak bisa terelakkan, maksiat-maksiat tumbuh bak jamur
di musim hujan. Segala kesenangan ini sepertinya akan tertutupi oleh luapan
kesedihan yang naik tinggi memasang. Malu-lah kita jika masih tertawa
terbahak-bahak di tengah kesedihan mendera orang lain.
Terlepas dari itu semua, bagi kita umat muslim perayaan pergantian
tahun tidak dilalui dengan bersenang-senang semata. Banyak ber-muhasabah,
berintropeksi diri di saat waktu hidup mulai terkikis adalah tabiat kita
–muslim sebenarnya. Sebagaimana pesan Sahabat Nabi Umar R.A “hisab lah
dirimu sebelum engkau di hisab di kemudian hari”. Apalagi untuk tahun ini,
pergantian tahun diiringi dengan berbagai musibah. Kejadian tidak mengenakkan,
yang bagi kaum muslim adalah salah satu peringatan dari Allah.
Maka sebagai sebuah upaya berintropeksi diri, ada baiknya kita men-tadabburi
segala kejadian tersebut dalam upaya mengambil satu atau beberapa
hikmah bagi diri kita. di antara hikmah yang mungkin bisa diambil dari musibah
dan bencana ini adalah, lagi-lagi Allah ingin memberikan peringatan atas
kehidupan manusia yang sudah sedemikian jauh dari tuntunan agama. Sebab
kemajuan yang semakin pesat menerjang tiap sendi kehidupan. Berbagai macam
teknologi mutakhir yang memudahkan. Termasuk pesawat terbang, sistem pasar dan
tata kota yang tidak jarang kita bersombong dengan itu semua. Dengan
kesombongan, kita mulai lupa bahwa Allah di atas segala-galanya. Sebab sombong
adalah dosa tertua dan paling membinasakan hingga sekarang.
Sejalan dengan hal tersebut, Musthafa Bahu memberikan kritikan atas
kehidupan manusia modern. Dia menyoroti betapa manusia modern mulai meletakkan
harapan kebahagian mereka pada perkembangan sains. Dahulu, ketika mesin-mesin
ditemukan pada revolusi industri. Rasionalisme terbit di tebing zaman
rennesaince. Orang lalu-lalang berjibaku mengangkat sains sebagai sebuah
“matahari”. Ilmu pengetahuan mulai dipisahkan dengan agama yang dianggap
mengekang. Hampir semua manusia pada akhirnya menuhankan kemajuan yang
disandarkan pada ilmu pengetahuan. Mulai bermunculan teknologi-teknologi yang
maju tersebut. mulai bermunculan pula faham matrealisme. Orang mulai bersikap
individualis dan hedonis. Semua itu karena menggantungkan kebahagian kepada
kemajuan modern tersebut. Sang mantan atheis itu kemudian bertanya “betul kah
kita bahagia”?
Pada
kenyataanya, ilmu pengetahuan tidak mendatangkan apa-apa. Orang boleh sampai ke
bulan dengan teknologi. Boleh pula memotong jarak ruang dan waktu dengan
kendaraan canggih dan peralatan komunikasi yang sudah sedemikian maju. Tapi di
saat itu pula senjata-senjata di “kembang biakkan”. Saling membunuh satu sama
lain tidak terelakkan. Sistem sosial, baik itu kapitalis, kolonialis justru
menyengsarakan, “betul kah kita sudah bahagia?”
Bahkan dengan untaian kata-kata yang sangat
puitis, ulama kenamaan kita, Hamka mengatakan:
“Di tengah kerumunan cakap orang-orang sekitar, lalu
lalang manusia membawa belanjaan. mereka terasa seperti robot. Dingin dan
menyepikan. Menjalarlah bosan dari kulit kering kita. Sering-seringlah kita
termenung sendiri memikirkan di mana hendak dicari bahagia, atau setidaknya
pelepas jenuh. Kita lalu melihat di wallstreet New York, ada “bendi”
atau “andong” sewaan ditarik kuda, berjalan lambat seperti andong Yogya. Jangan
kaget, jika lebih mahal dari taxi. Karena orang-orang kaya sudah bosan menaiki
mobil mewahnya.”
Pada
kenyataannya pula, ilmu pengetahuan juga tidak berkuasa apa-apa. sebut saja
pesawat yang jatuh kali ini. Pesawat ini termasuk pesawat yang memiliki
kapasitas besar dan menggunakan teknologi modern. Terbukti dalam satu bulan
terakhir, pesawat ini telah melakukan rute penerbangan beberapa kota di tiga
negara. Tidak hanya itu, pesawat ini juga dibawa oleh pilot yang tak kalah
berpengetahuan. Diketahui kapten Irianto sebelum menerbangkan pesawat komersi
adalah penerbang pesawat tempur F-5 tiger milik TNI AU. Beliau tercatat sebagi
satu-satunya lulusan IDP yang lolos tugas di satuan tempur TNI AU. Dengan
memiliki 2.500 jam terbang di militer serta 1.000 jam terbang bersama F-5
tiger, tentu kemampuan terbangnya sudah tidak diragukan lagi. Segala kecanggihan
dan
pengetahuan tersebut ternyata tidak berdaya menghindari salah satu awan
kumulonimbus ciptaan Allah swt.
Allah sudah jauh-jauh hari mengingatkan “Diperhiaskan
bagi manusia kesukaan kepada barang yang diingini, (yaitu) dari hal perempuan
dan anak laki-laki, dan berpikul-pikul emas dan perak, dan kuda kenderaan yang
diasuh, dan binatang-binatang ternak dan sawah-ladang. Yang demikian itulah
perhiasan hidup di dunia. Namun di sisi Allah ada (lagi) sebaik tempat kembali.”
(Ali: Imran). Dengan jelas Allah mengatakan kecintaan kita yang berlebih
terhadap dunia ini, termasuk sikap materalisme kita dan menuhankan ilmu
pengetahuan, tidak akan membawa kebaikan, ketika itu semua tidak disandarkan
kepada Allah swt. Sebab hanya Allah-lah tempat segala kebaikan. Dan jika
peringatan-peringatan ini masih tidak kita indahkan, masih saja bersifat
materalis, hedonis dan sombong dengan sedikit pengetahuan yang kita miliki,
jangan pula kita harapkan kelapangan hidup di dunia apalagi di akhirat. ”Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya dia telah mengalami penghidupan yang sempit.” (QS. Thaaha
:124).
Wallahu
Musta’an