بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Catatan kuliah sesi Brainstorming sebelum kuliah adab bersama Ustad
Adian Husaini. Tulisan ini adalah ide-ide yang berhasil saya ikat selama sesi
brainstorming yang isinya tanya-jawab random tentang beragai persoalan. Ternyata,
diskusinya mengarah pada pendidikan.
buku ustad Adian Husaini |
Apabila liberalisasi pendidikan dianggap mengurangi peran
pemerintah dalam pendidikan, umat Islam punya peluang dan tantangan. Di satu
sisi, umat Islam punya peluang untuk mengembangkan lembaga pendidikan
independen. Tapi di sisi lain, ancamannya adalah pihak asing dan kelompok lain
akan punya akses besar ke dunia pendidikan. Selama ini, pemerintah masih
mengatur agar setiap sekolah mengajarkan agama dan beberapa pelajaran wajib. Bila
AFTA memasukan liberalisasi pendidikan, dan peraturan seperti ini melonggar
maka umat Islam harus menyediakan lembaga pendidikan yang kuat bersaing agar
umat tidak “tergoda” lembaga pendidikan yang tidak memperhatikan penanman agama
pada murid-muridnya.
Ancaman libetralisasi juga bisa dilihat dari perspektif
liberalisasi pemikiran keagmaan melalui pendidikan. Hal ini sebenarnya sudah
dimulai dari era politik etis, terutama oleh orientalis seperti Snouck
Horgronje. Tujuannya adalah menjauhkan umat Islam dari agamanya secara massal
sebab umat Islam yang kuat persaan keagamaannyalah yang serius melawan
penjajahan. Ketika itu, sekolah Belandan mendapatkan perlakuan istimewa
sehingga yang berhasil masuk akan merasa menjadi bagian dari kelas elit. Para ulama
kita telah berusaha melawannya sebab mereka menyadari bahayanya. Upaya mereka
adalah dengan secara konsisten mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Standar pendidikan
Belanda ketika itu sangat tinggi, gambarannya ; seorang siswa (setara) SMA
harus sudah membaca 20an lebih karya sastra besar dunia. Maka para ulama pun
membuat lembaga-lembaga pendidikan dengan standar tinggi. Salah satu ranah yang
menjadi lahan “perebutan” antara sekolah negri Belanda, swasta Kristen dan para
ulama adalah sekolah guru.
Olehnya hampir setiap ulama mendirikan kulliyah mu’allimin. Para
ulama sangat militan dalam mencetak kader-kader guru. Hasilnya misalnya, Natsir
yang masih SMA memulai polemik di media massa dengan seorang pendeta Katolik
besar. Dari segi integritas, ia diatawarkan beasiswa di Belanda, tapi ia
menolak dan memilih mendalami agma bersama A, Hassan. Upaya lain para ulama
adalah mengupayakan agar generasi calon elit bangsa di sekolah-sekolah Belanda
memiliki pengetahuan agama Islam. Hasilnya adalah kader-kader Islam dari latar
belakang pendidikan Belanda di JIB. Perjuangan ini masih terus berlanjut, hasil
ulama pasca kemerdekaan misalnya menggolkan undang-undang SISDIKNAS agar semua
sekolah wajib mengajarkan agama dengan guru seagama.
Perjuangan ini masih terus berlanjut. Titik yang kritis adalah
mengajarkan generasi umat Islam agar melihat Indonesia sesuai worldview Islam.
Di bidang kewarganegaraan, pendidikan umat Islam tidak karu-karuan sehingga
muncul dua kutub ekstrim ; ada yang mengaggap Indonesia 100% kafir, tapi ada
pula yang mengangap 100% kebijakan pemerintah Indonesia sesuai ajaran Islam. Negara
ini harus dilihat sebagai hasil perjuangan para ulama terdahulu, dan memang begitulah
kenyatannya. Perjuagan dakwah itu bukan terbatas pada perang melawan penjajah. Perjuangan
itu bermula ketika ulama pertama berhasil menjejakan kaki di Nusantara ini. Dahulu,
negara ini 100% tidak Islam, ulama secara sabar mengislamkannya. Proses Islamisasi
itu tidak boleh berhenti karena umat Islam menganggap negara ini sudah tidak
ada harapan, atau malah menganggapnya sudah selesai terislamkan.
Kedepannya, umat Islam perlu untuk terus memperjuangkan dakwah
pendidikan yang telah dirintis oleh para ulama kita. Para stake holder
pendidikan Islam harus memiliki konsep yang matang tentang pendidikan Islam.
Konsep dan apliksi yang mantap penting sebab keberhasilan dakwah terbesar
adalah ketika kita mampu menyiapkan generasi Islam terbaik untuk membuat Islam
menang pada masa setelah kita. Para wali ketika tiba di Jawa tidak pernah
berusaha menghancurkan Majapahit, mereka mendidik kader-kader. Katika Majapahit
melemah mereka melihat peluang, generasi Raden Patah telah siap ; masyarkat
Islam Demak pun langsung bisa dieksekusi.
Perjuangan dakwah berhasil bila pesan tersampaiklan, terutama pada
generasi setelah kita. Bukan pada apa yang terjadi pada para penyampai dakwah. Dakwah
Ibrahim berhasil sebab ia bisa menelanjangi kedangakalan logika musyrik
kaumnya, meski ia secara poltis kalah ; ia dihinakan dibakar di depan massa. Keberhasilan
sampainya pesan dakwah (Islam) tentu sangat erat kaitannya dengan keberhasilan
pendidikan. Bukankah pendidikan adalah upaya mendidik seorang yang padanya pesan
Islam telah terinstal sempurna. Maka pendidikan yang berhasil adalah salah satu
puncak suksesnya dakwah. Dengan demikian, liberalisasi pemikiran Islam dalam
pendidikan adalah penyakit paling berbahaya bagi dakwah Islam.
Bisakah dijelaskan, apa yang dimaksud dengan liberalisasi pemikiran Islam dalam pendidikan ? Thanks.. ainnurws@yahoo.co.id
BalasHapushai ain.. haha
Hapusliberalisasi memang merujuk pada dua hal dalam tulisan ini, bisa ke tata-kelolanya, yg ikut sistem liberal ; peran pemerintah diminimalkan atau dihilangkan, smuanya dilepas ke mekanisme pasar. Subsidi dicabut dll
trus bisa juga beramkna liberalisasi pemikiran Islam. Artinya, agama dilihat darikacamata liberal yg akarnya sekuler ; agama bukan sesuatu yg penting. agama diletakan di dalam kerangka budaya sehingga harus berubah sesuai perubahan budaya... ukuran tertinggi adalah hak dan kebebasan individu.. apabila agama bertentangan dgn hak dan kebebasan individu (menurut ukuran yg sekuler) maka agama harus diubah, atau dibuang..
misalnya, adalah hak orang untuk jadi Homoseks, nah agama tidak boleh turut campur, sebab agama ada di domain privat, sama dgn orientasi seksual, jadi agama tidak punya kekuatan untuk ikut campur...
liberalisasi pemikiran dalam pendidkan, adalah mendidik generasi muda islam, biar melihat agamanya seperti itu ; nggak penting, yg penting adalah HAM, demokrasi dan uang.