Tulisan ini saya niatkan sebagai paparan renungan tentang jilbab
secara fenomenologis; sekadar upaya bagi diri saya pribadi untuk
melaksanakan yang saya rasa sebagai sebuah tanggung jawab sebagai sesama
perempuan muslim yang sama-sama masih belajar dan berproses untuk
senantiasa meraih keridhaan Allah SWT.

Pada salah satu SMA tersohor di Solo sendiri,
ada sebagian (cukup besar) siswa perempuan muslim yang memakai jilbab
“berbeda” dari teman-temannya yang lain. Jilbab yang mereka pakai
terulur bagian belakang hingga hampir menyentuh tanah, sedang bagian
depan sedianya hampir mencapai lutut. Siswi perempuan dengan ciri jilbab
khas seperti itu dapat dipastikan adalah pengurus/ anggota Lembaga
Dakwah Sekolah. Sekolah memang tidak memiliki aturan khusus mengenai
ukuran seragam (jilbab) yang wajib dikenakan oleh siswa.
Setelah
era reformasi Negara ini memang memiliki banyak kegagapan dalam
mendefinisikan apa arti demokrasi yang sebenarnya. Di sekolah saya
sendiri di Blora, Lembaga Dakwah Sekolah sedang berada dalam fase
limbung karena sekolah mulai merasa tidak aman dan mulai memberi
tindakan pada para invisible hand haroki yang bekerja tanpa
sepengetahuan birokrasi sekolah. Bukannya su’udzon, tapi seringkali
memang ada temuan siswa menerima “pengetahuan” dan “tugas” yang belum
masanya mereka harus lakukan. Untuk membedah hal ini, mungkin butuh satu
judul tulisan tersendiri.
Kembali pada persoalan jilbab
siswa perempuan muslim tadi, pada awalnya saya tidak mempersoalkan hal
apapun dan menghargai itu sebagai bagian dari kesadaran seorang dalam
mencari kebenaran mutlak (Allah SWT). Hingga suatu ketika saya mendapat
kabar yang sedih. Saya memiliki seorang kenalan (adik tingkat) di
kampus. Secara tampakan, sejak saya mengenalnya, dia biasa saja.
Sehari-harinya, ia memakai celana jins, kaos panjang santai, berjilbab
(paris) yang diulur ke dada dan dari saya mengenalnya, ia sudah punya
“pacar”. Tidak ada pertanyaan khusus dalam diri saya; saya melakukan
muamalah yang baik dengannya, hingga akhirnya saya menemukan “Buku
Tahunan” adik kos saya; buku tahunan yang biasanya berisi foto,
identitas singkat dan pesan kesan teman-teman seangkatan saat perpisahan
itu. Dalam buku itu, saya menemukan nama adik tingkat itu. Disana ia
tidak menampilkan wajahnya di foto. Ia memakai jilbab panjang selutut
dan berfoto membelakangi kamera sehingga yang nampak hanya punggung
jilbabnya saja. Dalam buku itu, banyak gaya sejenis itu yang rata-rata
mereka adalah alumni Rohis/ Lembaga Dakwah Sekolah.
Hal
yang membuat saya sedih adalah bukan karena menyesali ia yang
menyusutkan panjang kain jilbabnya atau bahkan meragukannya dalam hal
iman dan islam (ibadah dan muamalah). Sama sekali tidak. Yang menjadi
perhatian saya pertama sekali adalah menanyakan secara definitif tentang
jilbab padanya. Sebagai mantan pengurus Lembaga Dakwah Sekolah yang
telah menyusutkan jilbabnya itu ia bercerita bahwa jilbabnya semasa
sekolah adalah semata ikut teman-temannya saja. Ia merasa harus
menyamakan panjang jilbabnya sesuai ukuran yang teman-temannya pakai
(pengalaman kikuk menyamakan panjang jilbab ini pernah pula terjadi pada
saya pribadi, hehehe…). Padahal ketika di rumah atau di tempat lain, ia
dan teman-temannya mengakui kalau memakai jilbabnya tidak identik
seperti itu.
Kisah diatas bukanlah satu-satunya, sebab
ternyata banyak dari teman-teman di sekitar kita yang begitu juga hanya
mungkin dulunya nggak segitunya selutut alayhim jadi tidak terlalu
mencolok ketika memutuskan untuk berubah hehehe…
Tanpa mendasari
pendapat atas dasar prasangka, mari mempersoalkan hal ini pada tempat
yang semestinya untuk dibahas, yang lebih strategis. Jelas sabab
musababnya pada kasus diatas adalah Siswa SMA tanpa benteng pengetahuan
yang kokoh ikut-ikutan meneguhkan jati dirinya pada sebuah mayoritas
yang lebih diakui. Lazim, gerakan-gerakan untuk mengajak perempuan
muslim berjilbab syar’I yang sedang ngartis dan terkenal akhir-akhir ini
saya amati masih sebatas kulit ari-ari saja, tipis dan rapuh sekali.
Kajian-kajian yang ada sama sekali tidak membangkitkan kesadaran
iluminatif seorang perempuan muslim untuk akhirnya berjilbab dengan
sepenuh jiwa dan raganya. Menggunakan Al- Ahzab: 59 dan An Nur ayat 31
sebagai satu-satunya alat untuk menyeru pada perintah jilbab tanpa
memberi pengertian secara komprehensif dan kontekstual. Tak jarang,
ketika ada yang hanya ingin bertanya baik-baik, dianggap kaum munafik
yang tidak percaya pada ayat-ayat Allah hehehe…Padahal, ulama-ulama
zaman dahulu mulai dari Ibnu Taimiyah, Ibnul Jauzi, Ibnu Abbas, Ibnul
Arabi, hingga ulama-ulama kita di Indonesia pun melakukan kerja-kerja
penafsiran sesuai dengan kondisi zaman dan ijtihad masing-masing.
Saya
selalu membatin,”Kok segitunya ya?” sama tidak strategisnya dengan
gerakan JIL ketika menyoal toleransi (yang remeh temeh) yang padahal
sebenarnya sejak dulu bangsa yang dirahmati Allah SWT dengan Islam ini
sama sekali tidak ada masalah dengan toleransi. Sambil geli, saya
penasaran kapan JIL dan ANTI JIL yang aselinya senang mengurusi hal-hal
yang kurang strategis di Indonesia ini ishlah dan menikah secara sah,
sehingga pasti akan lahir bayi baru yang fenomenal.
Bagi
mereka yang tumbuh di lingkungan pesantren atau sekolah islam,
barangkali malah tidak berlebihan dalam menyoal jilbab. Saya pun selalu
bertanya-tanya mengapa pada usia 20-an baru gencar dengan hal-hal
seperti ini? Mengapa baru hari ini? Buat saya, mempersoalkan jilbab
(apalagi tentang panjang pendeknya) disaat mahasiswa (dengan berlebihan)
adalah hal yang kurang produktif. Apalagi ditambah-tambahi dengan
kegiatan-kegiatan yang katanya untuk mempererat ukhuwah tapi sering saya
dapati kurang produktif (kegiatannya seputar chibi-chibi, makan-makan,
foto-foto, jalan-jalan tanpa ada hal yang lebih filsafati atasnya).
Kajian-kajian
perempuan yang menyoal kemuslimahan pun kurang menggigit. Kadang-kadang
banyak saya bertemu dengan judul lucu semacam : Menjadi Cerdas dengan
Jilbab (?) atau Genggam Masa Depan dengan Jilbab Syar’I (?). Wah,
judulnya terlalu ringan dan membuat saya kadang sakit hati, sebab bagi
saya kerja menjadi cerdas dan menggenggam masa depan lewat jalan tafakur
itu berat sekali, kenapa jadi cukup selesai dengan semacam “parade”?
Hal ini sama saja dengan gerakan mahasiswa sekarang yang masih
mempersoalkan remeh tamah macam tentang manajemen organisasi daripada
mengenai progress gerakan. Pas ngomongin tentang progress gerakan, yang
dateng sedikit… (Harusnya kalau masih seperti ini jangan jadi mahasiswa
saja, hehehe…)
Kegiatan Dakwah Kampus yang ditujukan bagi
para mahasiswa perempuan muslim harusnya lebih dari itu. Perempuan dan
laki-laki muslim memiliki kedudukan yang setara dalam Islam. Baik
perempuan dan laki-laki sama-sama manusia yang memiliki peran sebagai
wakil Allah di muka bumi yang harus menerima kehidupan ini sebagai
Rahmat, menjalankan kehidupan sebaik-baiknya sesuai kaidah hidup
(Muslim) sehingga kelak dapat mempertanggungjawabkan dengan
sebaik-baiknya di hadapan Allah SWT. Laki-laki maupun perempuan
sama-sama memiliki kewajiban untuk amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan
keadilan dan kebenaran, serta mengokohkan akhlak yang tingga dalam
pembangunan masyarakat. Artinya, perempuan muslim boleh berada dimana
saja untuk ikut memperjuangkan kewajiban itu asal sesuai dengan batas
kemampuan dan fithrahnya sebagai manusia (yang jasadi maupun ruhani).
Perempuan
muslim boleh menjadi apa saja dan ada dimana saja, asal tidak
meresahkan masyarakat huehehe. Khadijah, Aisyah dan Shafiyah, Zaynab,
Ummu Sulaim, Ummu Salamah sudah membuktikan semuanya. Mereka para ummul
mukminin itu kan lengkap ada yang pedagang, pendidik, guru, ikut perang
angkat senjata, seniman dan lain-lain, lengkap dah….
Melalui
tafakur dan pemerenungan, dari hati kita akan muncul sebuah kekaguman
terhadap keMahaBesaran dan KeMahaAgungan Allah. Proses itu akan
melahirkan mahabbah sehingga melaksanakan apa yang menjadi perintahnya,
termasuk berjilbab adalah semata-mata untuk berserah, tunduk di hadapan
keMaha BesaranNya.
Menyinggung fenomena jilboobs yang
santer terdengar beberapa waktu lalu; jilboobs (yang secara definitif
adalah suatu keadaan pemakaian jilbab tapi masih menampakan hal-hal yang
seharusnya dihijab itu), bagi saya isu itu adalah isu yang sama sekali
tidak produktif dan tidak strategis. Sayangnya sekali lagi, yang
menggosok isu tersebut secara berlebih-lebihan di timeline social media
saya justru adalah yang rajin menyebut diri sebagai aktivis dakwah
kampus.
Berpengalaman menjadi content writer untuk
beberapa situs, fanpage dan web yang menggarap isu jilboobs itu
sebenarnya tidak lebih dari kerja bersayap para pemilik web-web lucah/
pornografi. Pasalnya, segencar apapun Pemerintah memblokir situs-situs
pornografi, pembuat situs tersebut bergerak lebih cerdik dan cepat
daripada Pemerintah. Maka selain upaya memblokir situs-situs lucah
tersebut, hal yang mendesak untuk segera dilaksanakan sebenarnya adalah
strategi bagaimana agar anak dapat memahami mana yang BAIK untuk diakses
dan TIDAK baik untuk diakses. Sayangnya, kembali lagi, blueprint
pendidikan karakter kita secara teknis belum memberikan panduan yang
jauh lebih baik/ komprehensif daripada bagaimana Islam memberi panduan
tentang adab; akhlak sehari-hari. Artinya, agama dan pendidikan agama
masih menjadi bagian penting dari pemberadaban umat dan pembangunan
bangsa hari ini.
Lagipula, fenomena jilboobs itu
sesederhana siapa yang menguasai pasar industry fashion. Nanti kalau
mode pakaian yang lagi tren nggak terbuat dari spandex atau jersey, dan
bentuknya ngga yang ngapret-ngapret juga pasti fenomenanya mereda
sendiri. Pertanyaannya adalah siapa yang menguasai dan berhak mengatur
industry mode? Hehehe… umat kita memang jarang memenangkan pertarungan;
(iya, karena suka meramaikan secara berlebih-lebihan hal-hal yang nggak
strategis. Termasuk ngedit gambarnya ibu kartini dipakein jilbab. ihik)
Suatu
ketika dalam acara kajian pagi oleh H.M Quraish Shibab tentang jilbab
yang disiarkan Metro TV, yang akhirnya berbuntut menjadi debat tak
selesai oleh umat muslim adalah ketika HM Quraish Shihab mengatakan
antara lain bahwa “jangan sampai kita justru berlebih-lebihan dalam
menjalankan perintah Allah.” HM Quraish Shihab adalah ulama’ besar
(tanpa memandang satu sekte yang menjadi keberpihakannya), tapi beliau
adalah tetap ulama’ yang telah memberikan sumbangsih besar terhadap
ikhtiar menafsir peradaban Islam di Indonesia selama ini. Dugaan saya
pribadi, maksud dari kalimat HM Quraish Shihab tersebut adalah sikap
ta’asub atau berlebih-lebihan dalam beragama yang dalam Islam hal ini
memang dilarang. Sikap ta’asub dalam banyak sisi memang menimbulkan hal
yang kurang baik, seperti misalnya merasa paling benar sehingga
menganggap yang lain sepenuhnya salah dengan melupakan bahwa
sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Allah, sehingga ada adab untuk
bertoleransi terhadap sesuatu yang berseberangan dengan pendapat kita.
Apalagi jika ada ta’asub dengan simbol-simbol pakaian dan jilbab yang
menjadikan kita bersombong diri atas segolongan lainnya (ini berkaitan
dengan gaya berjilbab yang menjadi identitas gerakan tertentu atas nama
politik dan maupun yang lain-lain).
Ayat untuk berjilbab
adalah bagian dari kasih sayang Allah SWT. Allah SWT menurunkan petunjuk
dan ajaran (syariat) sebagai mekanisme efektif untuk mengembangkan
kesadaran (self control) dalam diri manusia, dimana sebagai makhluk ia
juga dilengkapi oleh nafsu (syahwat) yang harus diposisikan pada tempat
yang semestinya. Maka jilbab bagi perempuan muslim bukanlah sekadar
simbol, ia adalah upaya dengan sepenuh kesadaran untuk memperjuangkan
taqwa.
Semoga kita menjadi bagian dari umat yang
mendudukkan jilbab dan persoalan keumatan yang lain pada tempat yang
semestinya. Wallahu a’lam bisshowab.
ditulis oleh Kalis Mardiasih, mahasiswi berjilbab yang menurut laporan sering terlihat di sekitar kota Solo,
gambar dari http://shadowness.com
tadz, ajarin bikin blog dong
BalasHapus