![]() |
Ismail Raji al-Faruqi (bukan saya..) |
Oleh
karenanya, pada masa perkembangan Islam, umat Islam sendiri, di bawah
pemerintahan Khilafah, utamanya masa Bani Abbasiyah melakukan studi
keilmuan dengan menerjemahkan buku-buku dari Yunani. Kegiatan keilmuan
itu tidak hanya berhenti pada penerjemahan saja. Tetapi juga melakukan
analisis lanjutan yang melahirkan kritikan, penjelasan dan tambahan dari
apa yang telah dihasilkan oleh orang-orang terdahulu.
Menurut
Islam, ajaran agama tidak bisa dipisahkan dari keilmuan, ungkapan ini
mungkin bisa diwakili oleh pernyataan Einsten "iman tanpa ilmu buta dan
ilmu tanpa iman pincang". Ketimpangan ini telah bisa dilihat pada
sejarah manusia,dimana ilmu yang mendalam tanpa "kekangan" iman akan
menimbulkan kerusakan, seperi pengguna bahan peledak,vnuklir dan bom
atom. Sedangkan iman tanpa ilmu akan melahirkan kemandekan dalam
kehidupan, kejumudan terpelihara, seperti yang dialami oleh Islam pada
masa kemundurannya. Saat ulama memiliki asumsi bahwa segala sesuatunya
telah mapan. Hal ini sejalan juga dengan apa yang diungkapkan oleh
Jalaluddin Rahmat, bahwa iman tanpa ilmu akan mengakibatkan fanatisme,
kemunduran, takhayul dan kebodohan, sebaliknya, ilmu tanpa iman akan
membuat manusia menjadi rakus dan berusaha memuaskan kerakusannya,
kepongahannya, ambisi, penindasan dan lain sebagainya. Pemisahan dan
pengotakan ilmu dan agama jelas akan menimbulkan kepincangan-kepincangan
yang merugikan. Agama tanpa dukungan sains yang tidak dilandasi oleh
asas-asas agama dan sikap keagamaan yang baik akan berkembang menjadi
liar dan menimbulkan dampak yang mengancam keselamatan manusia itu
sendiri.
Pada
konteks Indonesia. Dapat dilihat dari adanya dua lembaga yang menaungi
pendidikan di Indonesia yaitu DEPAG dan DEPDIKNAS, ini menunjukkan
adanya pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini diperparah
dengan pengaruh imprealisme barat yang memasukkan pola-pola sekuler
dalam keberagaman umat Islam di Indonesia, dimana pola-polanya menuntut
adanya pemisahan antara agama dan keduniaan diberbagai aspek termasuk
kelimuan. Akibat pemisahan ini dalam konteks Indonesia sudah bisa kita
rasakan, dimana pendidikan masyarakat Indonesia yang notebenenya Islam
lebih mementingkan pendidikan umum yang dilihat lebih menjamin dalam hal
penghidupan dibanding pendidkan agama semata. Akibat selanjutnya Islam
yang harusnya menjadi ideologi dan ruh semangat umat Islam seakan
menjadi barang sekunder yang dikeluarkan bila perlu saja. Hal ini bisa
dilihat gambarannya pada kebanyakan orang-orang Indonesia yang akan
terlihat sangat sedih atau kecewa apabila timnas Indonesia mengalami
kekalahan dibanding mengetahui saudara-saudara semuslimnya mengalami
penderitaan di negara mereka.
Pada
perkembangan selanjutnya, hubungan antara agama dan ilmu menjadi dua
aliran, aliran integrasi dan sekularisasi. Aliran integrasi menuntut
adanya penyatuan kembali antara ilmu dan agama, melihat banyaknya
bencana yang terjadi. Berlawan dengan itu, aliran sekularisasi
menghendaki adanya pemisahan, karena keterikatan antara ilmu dan agama
menyebabkan keilmuan tidak bisa berkembang baik bahkan terkesan jumud
dan tidak objektif akibat sabda-sabda agama yang terkesan otoriter dan
doktriner. Pemahaman sekuler ini tidak terlepas dari pengalaman
traumatik pada masa dark age. Aliran integrasi atau sekarang
lebih dikenal sebagai Islamisasi pengetahuan pada dasarnya adalah respon
kritis terhadap pola sekularisasi pengetahuan dan agama yang diupayakan
oleh barat. Bahkan kritikan tidak hanya datang dari kubu Islam semata,
melainkan oleh orang barat itu sendiri yang melihat akibat buruk
keilmuan yang dilepaskan dari nilai-nilai agama.
Selain
faktor tersebut, upaya Islamisasi pengetahuan yang dilakukan juga
merupakan wujud menjawab tantangan modernitas oleh umat Islam, di mana
ada semacam keguncangan umat Islam melihat realitas kemajuan barat yang
dimulai semenjak masa pencerahan di tengah kemunduran berangsur yang
terjadi dikalangan umat Islam. Padahal masih segar di ingatan
kaum muslimin kemegahan dan kemajuan di segala bidang yang dicapai.
Sehingga umat Islam pada saat itu mendominasi pada ranah kebudayaan,
politik maupun ekonomi. Dengan simbol kekuasaan politik kekhalifaan
Abbasiyah di Baghdad, Dinasti Umayyah di Cordova dan kekhalifaan Turki
Ustmani yang pernah menjadi superior pada saat barat terkungkung
masa-masa kegelapan sejarah.
Pada dasarnya upaya menghubungkan antara agama dan ilmu telah dilakukan pada masa Ibnu Rusyd dengan memakai metode integralisitik-teosentrik. Hingga pada masa sekarang upaya ini masih terus dilaksanakan sebagai mana yang diungkapkan oleh Adian Husaini bahwa upaya ini bisa dilihat dari sistem UIN yang sudah mulai mengembangkan kelimuan yang tidak hanya berorientasi pada keilmuan umum tapi terlebih dahulu harus memiliki keilmuan agama setidaknya dasar-dasarnya.
Wacana
ini kemudian digulirkan pada seluruh negara Islam dan menjadi wacana
serius. Hingga tahun 1987. OKI (organsasi Konferensi Islam) telah
melakukan lima kali konferensi dunia yang membahas tentang pendidikan
Islam:
- Mekkah 1977: membahas berbagai masalah-masalah pendidikan formal dan non formal, dualisme pendidikan di negara-negara muslim, sistem pendidikan wanita serta pembagian konsep pengetahuan pada dua kategori yaitu pengetahuan yang diterima dan pengetahuan yang diperoleh
- Islamabad 1980: membahas persoalan kurikulum bagi pendidikan Islam ditingkat pertama, kedua dan ketiga atau tingkat Universitas. (telah dipakai sebagai model di Universitas King Abdul Aziz, tahun 1983)
- Dhaka 1981: membahasa tentang buku-buku dan konsep religius yang menggantikan konsep-konsep sekuler yang selama ini digunakan oleh negara-negara muslim.
- Jakarta 1982: membahasa model-model tipikal yang ideal dalam hubungannya dengan metodologi pengajaran dalam pendidikan Islam, yaitu perlunya pendekatan menyatu secara menyeluruh tanpa mengurangi metode yang ada ditiap-tiap disiplin kelimuan, baik tingkat dasar, lanjutan ataupun universitas.
- Kairo 1987 : membahas tentang evolusi dan implementasi pendidikan Islam dalam masyarakat masa kini.
Salah
satu keberhasilan dari upaya ini adalah adaya redefinisi pendidikan
Islam yang sebelumnya hanya diartikan sebagai hukum (fiqih) dan teologi
belaka, kemudian diartikan lagi sebagai pendidikan di semua cabang
pengetahuan yang disejajarkan dari sudut pandang Islam. Meski
memiliki konsep yang jelas, namun upaya integrasi ini, -utamanya pada
masa sekarang di mana keilmuan sudah mengkiblat pada kemajuan barat-
memiliki dilema, Dilema tersebut adalah apakah akan membungkus sains
Barat dengan label “Islami” atau “Islam”? Ataukah berupaya keras
mentransformasikan normatifitas agama, melalui rujukan utamanya
al-Qur‘an dan Hadits, ke dalam realitas kesejarahannya secara empirik?
Kedua-duanya sama-sama sulit jika usahanya tidak dilandasi dengan
berangkat dari dasar kritik epistemologis.
Dari sebagian banyak cendikiawan Muslim yang pernah memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar (Happy Susanto, 2008) Tokoh yang mengusulkan pertama kali secara resmi upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat Isma’il Raji al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman (Isma’il Raji al-Faruqi, 2003: 55-97).
Dari sebagian banyak cendikiawan Muslim yang pernah memperdebatkan tentang Islamisasi ilmu, di antaranya bisa disebut adalah: Ismail Raji al-Faruqi, Syed Muhammad Naquib al-Attas, Fazlur Rahman, dan Ziauddin Sardar (Happy Susanto, 2008) Tokoh yang mengusulkan pertama kali secara resmi upaya ini adalah filosof asal Palestina yang hijrah ke Amerika Serikat Isma’il Raji al-Faruqi. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman (Isma’il Raji al-Faruqi, 2003: 55-97).
Latar Belakang Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi:
Jika
kita cari di google tulisan atau biografi Ismail Raji Al-Faruqi, maka
akan kita dapat ratusan tulisan mengenai beliau. Dari sini saya ingin
katakan, kalau biografinya semata kita sudah bisa mengetahuinya dari
tulisan-tulisan itu secara lengkap, yang perlu kita perhatikan
sebenarnya adalah latar belakang pemikiran beliau. Dari pembacaan
penulis sendiri terhadap biografinya, penulis berasumsi setidakya ada
dua potongan riwayat kehidupan beliau yang menjadi latar lahirnya
pemikiran beliau:
pertama, pendidikan pertama beliau dilalui ketika Palestina masih keadaan damai baik secara politik, budaya dan kemasyarakatan di bawah pemerintahan Arab. Artinya mungkin saja (sekali lagi ini Cuma asumsi) ketika itu pendidikan yang didapatkannya merupakan pendidikan yang memakai pola integrasi agama dan ilmu. Melihat palestina merupakan salah satu negeri yang tingkat keberagamaannya tinggi, bahkan tanahnya diklaim sebagai tanah suci tiga agama Abraham (untuk hal ini bisa dibaca di buku "Perang Suci" karya Karen Amstrong) (sebenarnya bisa kita mulai dari pendidikan keluarga beliau yang taat pada agama, atau seperti ulama-ulama Indonesia, bahwa orang tua mereka merupakan pemuka agama, sehingga tentunya pendidikan kepada anaknya dititik beratkan pada pemahaman agama dan semangat memperjuangkannya. Tapi penulis tidak berasumsi pada pernyataan ini, karena sepembacaan penulis sendiri dari literature yang dimiliki, tidak ada yang menyinggung keluarganya secara jelas).
kedua, aktifitas pendidikan beliau di beberapa daerah yang memiliki suasana/iklim keilmuan yang berbeda, memberikan bahan bagi beliau untuk melakukan komparasi atau semacam analisis perbandingan antara kedua iklim tersebut, dan menciptakan sebuah resep baru yang ia sebut Islamisasi pengetahuan[1].
Konsep Ringkas Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Beliau
mula-mula membeberkan kenyataan (sebagaimana yang telah kami tuliskan
di atas) bahwa, barat dengan segala kemajuannya termasuk dalam hal
teknologi dan pendidikan menjadikan setiap metodologi dan materi-materi
yang dimapankannya dijadikan tolak ukur bagi setiap negara, tidak
terlepas negara-negara muslim. Hal ini -khususnya buat negara muslim
tersebut- berkibat buruk karena menghilangkan ruh dan esensi ajaran
Islam, yang mana menuntut setiap umatnya mendasari segala hal tanpa
terlepas dari sendi-sendi Islam sebagai agama yang mengatur secara
komperhensif dan universal. Ini juga diperparah dengan pengajar-pengajar
muslim yang juga ternyata tidak memiliki visi untuk mengenalkan dan
menanamkan semangat Islam di dalam upaya pengajaran dan pendidikan anak
murid. Hal ini mengakibatkan nantinya
ketika mereka memasuki jenjang kuliah yang lebih "seram", maka mereka
tidak memiliki dasar untuk setidaknya bersikap kritis secara objektif atas faham-faham nyeleneh yang akan mereka temui. Maka sangat wajar jika yang lahir adalah mahasiswa-mahasiswa yang liberal, sekuler atau setidaknya memahami ajaran agama yang didasari
oleh subjektifitas mereka belaka.
Oleh
karenanya, menurut beliau, dualisme sistem di dalam Islam yang saling
bertolak belakang haram hukumnya. Yang dilakukan adalah perpaduan
kelebihan sistem dan kemajuan pendidikan barat (bukan sekularis) dengan
khazanah Islam yang ada, dengan memasukkan semangat Islam sebagai ruhnya.
Adanya peniruan terhadap teori pendidikan secara membabi buta harus
ditinggalkan. Buku-buku yang tidak memadai untuk bersikap kritis secara
objektif harus dilengkapi dan para pengajar yang seyogyanya paham secara
totalitas akan materi yang diajarkan. Yang tak kalah penting adalah
memiliki visi yang bertujuan menanamkan nilai-nilai agama Islam dalam tiap
aktifitas pendidikan . Untuk
itu, setiap disiplin ilmu harus ditempa ulang dan dimasukkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologi-metodolgi, tujuan-tujuan,
strategi dan aspirasi disiplin ilmu tersebut. Hingga pada akhirnya
disiplin-disiplin ilmu yang diajarkan dapat merelevansikan ajaran Islam
dalam pokok ajaran "tauhid" pada tiga landasan:
- berlandaskan pengetahuan, di mana pengetahuan ini harus bersikap kritis secara objektif dalam mencari kebenaran, dengan demikian dituntut adanya sumber yang bersifat akal (aqli) dan beberapa pengetahuan lainnya yang tidak bersifat rasional (naqli). Artinya menyadari adanya disiplin yang bersifat ilmiah, mutlak dogmatis dan relatif.
- kesatuan hidup, artinya setiap disiplin ilmu harus dilandaskan pada satu tujuan yaitu tujuan penciptaan itu sendiri, jadi tidak ada perbedaan nilai antara ilmu yang ada dalam hal tujuan penciptaan ini.
- kesatuan sejarah, artinya setiap disiplin ilmu tidak boleh terlepas dari semangat kemasyarakatan, disiplin ilmu harus diarahkan pada kemashlahatan secara umum, tidak individu.
Untuk
kesemua itu, beliau kemudian merumuskan rencana sistematik dan
langkah-langkah prioritas guna membangun kembali epistemologi pendidikan
agar dapat mewujudkan Islamisasi pengetahuan: (1)
penguasaan disiplin ilmu modern, (2) meninjau ulang setiap disiplin ilmu,
(3) Penguasaan khazanah Islam, (4) Penentuan relevansi Islam terhadap disiplin ilmu, (6) Penilaian
kritis terhadap disiplin ilmu modern, (7) Penilaian kritis terhadap
khazanah Islam, (8) survey permasalahan yang dihadapi umat manusia, (10)
analisis kreatif dan sintesa, (11) penuangan kembali disiplin ilmu modern
kedalam kerangka Islam, (12) Penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah
diislamisasikan.
Respon Terhadap Islamisasi Pendidikan
Adanya
upaya Islamisasi pengetahuan ternyata mendatangkan respon yang berbeda
bahkan saling bertolak belakang. Berdasarkan penelitian Mashood Ahmed
mengenai "etos Islam dan ilmuan Muslim serta isu sains Islam" pada tahun
1985, maka respon-respon tersebut, secara umum bisa golongakan menjadi
tiga kelompok:
Pertama, muslim apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karenanya, mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains dengan mencari ayat-ayat yang sesuai dengan teori tersebut. Meski apa yang diupayakan oleh kelompok ini merupakan hal yang bagus, tapi terdapat pula kritikan yang menyatakan bahwa, pada nantinya al-Qur'an hanya berisi konsep teori tentang struktur ilmu, tidak menjadi kitab suci yang mengatur prilaku hidup manusia. Kalaupun ada ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan, maka itu karena al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi kebahagian dunia dan akhirat sehingga tidak heran terdapat ayat-ayat yang menyiratkan ilmu pengetahuan.
Kedua kelompok yang masih bekerjasama dengan sains modern, tetapi juga berusaha memperlajari sejarah dan filsafat ilmuanya, sehingga dalam taraf ini, mereka bisa menyaring elemen-elemen yang tidak Islami. Mereka berpendapat bahwa ketika sains modern berada dalam masyarakat Islami, maka fungsinya dengan sendirinya akan termodifikasi sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Oleh karena itu, bagi kelompok ini yang diperlukan saat ini bukan proses Islamisasi pengetahuan, melainkan proses Islamisasi perilaku masyarakat intelektual, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah, proses pengakuan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai dasar dari segala perilaku kehidupan individu atau masyarakat.
Ketiga kelompok yang merintis dan mengupayakan Islamisasi ilmu pengetahuan modern. Menurut mereka, tidak mungkin mengkompromikan Islam dengan sekularisme, dimana sekularisme berarti pendekatan ilmiah modern terhadap pengetahuan dan pola hidup. Bagaimana mungkin seseorang bisa menerima adam sebagai manusia yang pertama diciptakan oleh Tuhan tapi bersamaan dengan itu pula, percaya pada konsep Darwin?, bagaimana akan bisa ada sebuah ekonomi yang bebas bunga jika seluruh struktur ekonomi masyarakat berakar dalam bunga?. Pada sepak terjangnya kelompok ini memiliki argumen yang tak kalah kuatnya dalam menghadapi argumen-argumen yang dikemukakan dalam peradaban barat terhadap eksistensi pengetahuan, di mana mereka dapat mengemukakan bantahan-bantahan yang rasional. Hal ini wajar jika menilik latar belakang pendidikan mereka yang tak lepas dari pendidikan barat yang kuat sehingga membentuk kemampuan untuk mengkritisinya.
Penutup
Pertama, muslim apologetik. Kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karenanya, mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains dengan mencari ayat-ayat yang sesuai dengan teori tersebut. Meski apa yang diupayakan oleh kelompok ini merupakan hal yang bagus, tapi terdapat pula kritikan yang menyatakan bahwa, pada nantinya al-Qur'an hanya berisi konsep teori tentang struktur ilmu, tidak menjadi kitab suci yang mengatur prilaku hidup manusia. Kalaupun ada ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan, maka itu karena al-Qur'an adalah kitab petunjuk bagi kebahagian dunia dan akhirat sehingga tidak heran terdapat ayat-ayat yang menyiratkan ilmu pengetahuan.
Kedua kelompok yang masih bekerjasama dengan sains modern, tetapi juga berusaha memperlajari sejarah dan filsafat ilmuanya, sehingga dalam taraf ini, mereka bisa menyaring elemen-elemen yang tidak Islami. Mereka berpendapat bahwa ketika sains modern berada dalam masyarakat Islami, maka fungsinya dengan sendirinya akan termodifikasi sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Oleh karena itu, bagi kelompok ini yang diperlukan saat ini bukan proses Islamisasi pengetahuan, melainkan proses Islamisasi perilaku masyarakat intelektual, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah, proses pengakuan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai dasar dari segala perilaku kehidupan individu atau masyarakat.
Ketiga kelompok yang merintis dan mengupayakan Islamisasi ilmu pengetahuan modern. Menurut mereka, tidak mungkin mengkompromikan Islam dengan sekularisme, dimana sekularisme berarti pendekatan ilmiah modern terhadap pengetahuan dan pola hidup. Bagaimana mungkin seseorang bisa menerima adam sebagai manusia yang pertama diciptakan oleh Tuhan tapi bersamaan dengan itu pula, percaya pada konsep Darwin?, bagaimana akan bisa ada sebuah ekonomi yang bebas bunga jika seluruh struktur ekonomi masyarakat berakar dalam bunga?. Pada sepak terjangnya kelompok ini memiliki argumen yang tak kalah kuatnya dalam menghadapi argumen-argumen yang dikemukakan dalam peradaban barat terhadap eksistensi pengetahuan, di mana mereka dapat mengemukakan bantahan-bantahan yang rasional. Hal ini wajar jika menilik latar belakang pendidikan mereka yang tak lepas dari pendidikan barat yang kuat sehingga membentuk kemampuan untuk mengkritisinya.
Penutup
Islamisasi
pengetahuan secara makro bertujuan untuk mengkonsep kembali ilmu
melalui upaya Islamisasi sebagai penguatan pada keyakinan Islam sebagai
ajaran hidup yang rahmatan lil alamin, serta menolak struktur kelimuan
barat modern (baca : sekularisme) yang sekarang menjadi paradigma
keilmuan dunia.
Pada kenyataannya, upaya ini tidak dipahami secara baik dan menyeluruh, sehingga orang muslim yang mendukungnya tidak sedikit berangkat hanya dari sikap romantisme, suka kepada hal yang berbau pembelaan terhadap Islam dan tak jarang pula timbul kontradiksi dalam sikap dan tindakan yang berkenaan dengan gagasan ini. Bahkan gagasan Islamisasi pengetahuan ini tidak lebih dari sekedar simbol perjuangan dan kebencian terhadap dunia barat yang telah menjajah muslim selama berabad-abad.
Untuk itu perlu adanya pemahaman gagasan inti yang dikemukakan dalam konsep Islamisasi pengetahuan serta memahami latar belakangnya secara komperhensif. Agar tiap langkah yang diambil dalam mewujudkan gagasan tersebut betul-betul bisa mewujudkan umat Islam sebagai khairu ummah (sebaik-baik umat). Pada akhirnya, perlu ada upaya yang lebih lagi dalam mencari literatur-literatur mengenai masalah ini, karena apa yang disajikan oleh penulis yang ada ini, masih sangat kurang dan perlu banyak perbaikan.
Wallahu a'lam bisshawab
DAFTAR BACAAN
Herry Muhammad, dkk, "Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20", cet : 1, Penerbit Gema Insani, Jakarta, 2006.
Karen Amstrong, "Perang Suci", cet: IV, Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2011
Faturrahman, "Islamisasi Pengetahuan; Pro Kontra Membangun Basis
Keilmuan Islam", Jurnal Ilmiah "Kreatif", Vol. V, 2 Juli 2008, PDF
Adian Husaini "Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Beradab dan Berkarakter", PDF
Muhammad Solikin, "Integrasi Ilmu dan Agama Menurut Ismail Raji Al-Faruqi dan Kuntowijoyo" 2008, PDF
Abdul Latif, "Dikotomi Pendidikan Agama dan Umum di Indonesia", Jurnal "At-Tarbiyah", Vol. XX, 1 Juni 2007, PDF
[1] Pendidikan dasar al-Faruqi digelutinya di College Des Freses,
libanon semenjak 1926 hingga 1936, lalu melanjutkan pendidikan tinggi
di the America University, Beirut. Lulus sarjana, Ia kembali ke tanah
kelahirannya. Menjadi gubernur Galilea Dibawah mandat pemerintahan
Inggris. Hingga pada tahun 1947 wilayah itu jatuh ke tangan Israel dan
beliau hijrah ke Amerika serikat. Hijrah tersebut merupakan titik tolak
aktivitas akademis beliau yang semakin padat dilihat dari ketekunannya
sehingga menyelesaikan studi di Universitas Indiana pada tahun 1949,
dengan gelar master di bidang filsafat. Dan juga di unversitas Harvard,
dengan judul tesis "on justifying the god: metafisika and epistemology
of value" (tentang pembenaran kebaikan: metafisikan dan epistemologi
ilmu), sementara gelar doktornya beliau dapatkan di universitas Indiana.
Selain itu beliau juga memperdalam ilmu agama di universitas al-Azhar
selama 4 tahun, dan mulai mengajar di Universitas McGill, Montreal,
Kanada pada tahun 1959. Pada tahun 1962, beliau pindah di Karachi,
Pakistan dan aktif dalam kegiatan Central Institute For Islamic Reseeach.
Setelah itu beliau kembali ke AS untuk memberikan kuliah di fakultas
agama Universitas Chicago dan selanjutnya pindah ke program pengkajian
Islam di universitas Syracuse. Tepatnya tahun 1968, beliau pindah
ke Universitas Temple, Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan
pusat pengkajian Islam di institusi tersebut. Selain mengajar al-faruqi
juga mendirikan international institute of Islamic thought (IIIT)
tahun 1980 di amerika serikat. Pada perkembangannya lembaga ini semakin
maju dan memiliki gengsi keilmuan yang tinggi, terbukti dengan
berdirinya cabang-cabang dari lembaga ini di berbagai negara, termasuk
Indonesia dan Malaysia. Sebelumnya pula pada tahun 1972, beliau telah
lebih dahulu mendirikan the association of muslim social scientist.
Kedua lembaga ini menebitkan jurnal Amerika yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu sosial Islam. Disamping itu beliau aktif menulis berbagai
macam majalah ilmiah, popular, buku dan ratusan artikel yang telah
dipublikasikan. Buku-buku yang terkenal dari beliau diantaranya: "historical atlas of the religion of the world" (atlas historis agama dunia) –buku ini sampai sekarang dipandang sebagai buku standar dalam bidan perbandingan agama-. "Trialoque Of Abraham Faiths" (trilogy agama-agama Abrahamis), "the cultural atlas of Islam"
(atlas budaya Islam) dan lain sebagainya. Aktifitas pendidikan yang
dilakukan oleh beliau semuanya merupakan wujud pemikiran dan cita-cita
beliau untuk mengintegrasikan ilmu dan agama Islam. selengkapnya Bisa
dilihat di buku karangan Herry Mohammad, dkk "tokoh-tokoh Islam yang
berpengaruh pada abad 20", penerbit gema insani press, halaman 208-212
tapi dia kok kasihan banget ya,,,,,, matinya ditakam,,,,, ckckckck
BalasHapus