بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Setidaknya
ada dua hal tidak terduga dari jenazah anak-anak Palestina yang terbantai.
Pertama, dengan wajah yang begitu damai, siapapun yang melihatnya tidak menduga
bahwa anak-anak itu telah meninggal dan bukannya sedang tertidur lelap. Kedua,
ada cerita ironis dibalik setiap peluru yang membunuh mereka. Cerita tentang
paranoid kolektif dari bangsa yang sejarahnya dipenuhi terror. Cerita tentang
mimpi buruk yang membuat seorang Perdana
Mentri Israel yang ditakuti sebagi“Sang Wanita Besi” menggigil ketakutan.
![]() |
Morris Myerson
hanyalah seorang tukang cat papan rekalme, ia mungkin tidak pernah menduga
bahwa gadis Ukraina berdarah Yahudi yang
dinikahinya di Amerika Serikat itu kelak akan menjadi salah satu wanita yang
dikenang dengan tajub oleh banyak orang sebagai the iron lady, wanita besi. Wanita itu terlahir dengan nama Golda Mabovitch, di Kiev, Imperium Rusia (kini
Ukraina), dari pasangan Blume Naiditch dan Moshe Mabovitz. Sebagai orang-orang
berdarah Yahudi yang mendiami bumi Eropa Timur, keluarga Golda hidup dalam
kemiskinan dan ketakutan yang mengincar sepajang waktu. Desas-desus akan
terjadinya Pogrom (pembantaian
Yahudi) selalu menjadi terror mental bagi mereka. Keterlibatan kakaknya di
dalam aktivitas Zionisme menjadi persentuhan dan ketertarikan awal Golda dengan
Zionisme. Namun kepindahan keluarga mereka ke Amerika Serikat pada tahun 1906
untuk sementara mengalihkan perhatian Golda. Ia harus memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri sebelum memikirkan nasib kaum Yahudi diaspora yang menjadi
bangsa tanpa negara.
Setelah
pernikahannya dengan si tukang cat, gairah perjuangannya untuk berbagung dengan
Zionisme kembali tumbuh, maka pada tahu pada 1912 Golda Meir mengajak suaminya
untuk “hijrah” ke tanah yang dijanjikan Tuhan untuk ia dan bangsanya ; bumi
Palestina. Sejak muda Golda Meir memang
telah memiliki iman yang kuat terhadap akidah “the promised land”, dan baginya, Zionisme beserta semua usahanya
membuat mimpi-mimpi akan terwujudnya janji itu menjadi mungkin. Maka ia beserta suaminya segera terjun ke
medan perjuangan bersama rekan-rekan zionisnya mengembalikan kaum Yahudi ke
bukit Zion tempat Daud dan Solomon pernah bertahta dengan agung, medirikan
negara bagi mereka meskipun itu berarti menyapu bersih penduduk Arab di wilayah
itu. Sebagai bukti ketokohannya di kalangan Zionis, wanita yang sempat minggat dari rumah ketika remaja itu
adalah salah satu dari 24 orang penanda tangan deklarasi berdirinya negara
Israel. Pada tahun 1948 Davin Ben Gurion selaku Perdana Mentri pertama negara Zionis
Israel yang baru saja lahir dari rahim imperialisme Inggris itu mengangkatnya
menjadi duta besar untuk Uni Soviet. Ia meninggalkan Eropa Timur sebagai gadis
Yahudi miskin, dan kini datang sebagai wanita terhormat dari Negara Yahudi yang
berdaulat. Sejak itu dimulailah karir Golda Meir di pentas perpolitikan Israel.
Puncaknya adalah ketika ia terangkat menjadi Perdana Mentri yang dijabatnya
dari tahun 1969 sampai 1974, setahun setelah Israel dipukul mudur Mesir dari
Sinai dan Dataran Tinggi Golan.
Selama karirnya
di jajaran petinggi negara Zionis tersebut, Golda Meir menunjukan sikap yang
tegas tentang hubungan Israel dengan orang-orang Arab yang dulunya mendiami
tanah-tanah negara itu sebelum pengusiran massal 1948. Begitulah, hubungan
Israel dengan orang-orang Arab, karena bagi sang Iron Lady tidak ada yang namanya negara Palestina. Ketika Anwar
Sadar, Presiden Mesir yang dibunuh ekstrimis karena terlalu mesra dengan Zionis, mengunjunginya di Yerussalem dan
menyebut-nyebut negara Palestina, segera Golda Meir menimpal dengan kesal :
“Tuan Presiden, hal itu tidak akan terjadi dalam hidup saya...”
Sadat sepertinya
tidak menduga reaksi sekeras itu akan ditunjukan Golda. Setengah berkelekar ia
melanjutkan, “Ya setelah itulah...”
Namun jawaban
yang lebih tegas dan cadas justru menyusul, Golda Meir menjawab lugas, “Tidak
setelah itu, dan tidak kapan saja”
Sikap tegas
tanpa kompromi itulah yang dibaca oleh David Ben Gurion sehingga Perdana Mentri pertama itu menyebutnya “Satu-satunya lelaki
di dalam Kabinet ” Pendirian politiknya memang jelas dan kejam seperti yang
diterangkannya kepada Anwar Sadat ; “Kami telah mengumpulkan orang-orang Yahudi
yang terpencar di 120 negara ke dalam satu negara. Tentu tidak sulit bagi
kalian (bangsa Arab) untuk membagi-bagi rakyat Palestina ke 20 negara Arab”
Distribusi rakyat Palestina ke tetangga-tetangga Arabnya ini memang telah
menjadi kebijakan Zionis sejak lama. Strategi ini disebut ‘Politik Transfer’,
strategi yang telah dicetuskan di Inggris sejak tahun 1889, jauh sebelum negara
Israel berdiri. Namun Golda merangkumnya di dalam pernyataan dan tindakann
nyata.
Dengan semua
reputasinya itu, Golda dijuluki The Iron
Lady, jauh sebelum Margareth Tatcher menyandangnya. Namun dibalik
kesangarannya, sebuah mimpi buruk dan tekanan psikologis nyaris fobia ternyata
menyiksa malam-malam Golda selama ia menjabat Perdana Mentri. Ketika menginjak
usia 74, wanita yang kisah hidupnya berkali-kali diangkat ke layar lebar dan
teater itu merilis pengakuan
psikologis yang dimuat koran-koran Israel pada 25 Oktober 1972. Pengakuan itu tentang mimpi-mimpi yang
menyesakan dada, membuatnya banjir keringat dingin ; ia sering terbangun penuh
peluh dan takut di pagi buta dengan sebuah tanda tanya besar yang
mengintimidasinya, berapa jumlah bayi Palestina yang lahir malam tadi?. Sindrom
yang menyiksa Golda segera menjelma menjadi “Politik Menyerang”, kebijakan
Israel yang diterapkan dengan efektif dan tanpa perasaan oleh Yitzk Rabin,
berharap rakyat Palestina kehabisan harapan. Berharap mereka berputus asa dan
menyerah. Namun yang terjadi kemudian adalah Intifadah yang memaksa Rabin duduk manis menanda tangani
Perjanjian Oslo 1993. Lebih dari itu, Intifadah menjadi momentum lahirnya
perjuangan faksi Hamas yang tidak seperti Fatah, tidak menyepakati opsi dua
negara. Kini Hamas berbasis kuat di Gaza, daerah yang semakin kerap dibombardir
Israel. Tempat hafidz-hafidz kecil
terbantai.
Jika Golda masih
hidup sampai hari ini, mungkin ketakutannya akan meningkat berlipat-lipat.
Betapa tidak, wanita-wanita Palestina bukan hanya subur melahirkan bayi, mereka
seolah tidak pernah bosan melahirkan pejuang. Sejak kecil bocah-bocah Gaza
telah memancarkan energi yang membuat Golda dan penerusnya terus tersiksa
takut. Jika Golda masih hidup, pengakuan apa yang akan ia buat ketika
menyaksikan Khaled Misy’al mewisuda 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafal
Al-Qur’an? Maka tembakanlah pelurmu
wahai penerus Golda, tembakanlah pada para huffadz cilik itu. Dunia sungguh
tahu bahwa dibalik setiap pelurumu ada ketakutan yang meremukanmu. Dan kau
hanya berani menembak dari jauh. Tembakanlah pelurumu, karena untuk setiap
bocah yang syahid ada ribuan yang akan tumbuh !.