بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Subuurr.....lihat muka saya!!!. Saya kurang tidurrrr demi TUGAAASSSSSS!!! Hehehe maaf Eyy.. tulisan tentang anda ini di postingnya telaaatttt... demi TUGASSS!!
![]() |
e..yang subur yang bercinta |
Ah, siapa yang tidak tahu Eyang
Subur dan seterunya yang pemarah itu? tentu kita tahu semua mengingat betapa
bergairahnya media mengekspos perseteruan fenomenal dan lucu tidak karuan itu.
Ada banyak aspek yang bisa dibicarakan dari kasus Eyang dan cucu-cucunya yang
mbalelo tersebut, terlebih ketika Majelis Ulama Indonesia akhirnya terlibat. Apkaah
MUI itu usil dan suka campur tangan urusan orang lain? Menurut saya sih itu
sah-sah saja, toh ada yang minta fatwa, adalah kewajiban dari ulama untuk
menuntun umatnya.
Selain prakterk perdukunan dan ramalan, salah satu perangai Eyang Subur
yang disoroti MUI adalah istri-istri beliau yang ternyata lebih dari empat,
padahal batasan poligami yang selama ini diketahui adalah maksimal empat orang
dengan syarat ketat ; harus adil bung! Akhirnya, MUI pun mengeluarkan fatwa
bahwa Eyang Subur telah melanggar syariat Islam. Tentu saja MUI tidak menuduh
Eyang telah berlaku tidak adil, karena nahnu nahkumu bizzawahir, kita Cuma
boleh menghukumi yang nampak, yakni jumlah istinya sedangkan perihal keadilan
yang tersimpan di hati adalah urusan Eyang dengan Rabbnya.
Nah, ternyata ada banyak tanggapan soal fatwa MUI ini. Seperti biasa,
banyak yang bilang MUI ini kepo dan suka ngurusin masalah orang. Seolah-olah
yang berkomentar begitu juga tidak sedang mengurusi masalah MUI, hehe. Dan demi
TUGASS saya juga mau komentar soal fatwa MUI itu ; eh siapa bilang Eyang
Subur melanggar syariat? Syariat yang mana? Siapa bilang dia nggk ngikutin
pendapat ulama??. Karena ini adalah
masalah batasan poligami, saya jadi teringat diskusi di FB yang peranah saya
tonton dulu seputar batasan poligami. Apakah
memang empat, sembilan atau unlimited sampai puas? Tentu saja semua pendapat
akan kembali ke surah an-Nisa ayat 4. Dengan menganalisis ayat tersebut, kita
akan tahu apakah Eyang Subur telah melanggar atau tidak.
Setelah menganalisis
an-Nisa ayat 4 serta asbabunnuzulnya, seorang senior berkata :
“ALLAH TIDAK PERNAH MEMBUAT BATASAN POLIGAMI bagi WANITA YANG TIDAK YATIM dan TIDAK KETURUNAN BUDAK..”
So, Eyang tidak melanggar
apa-apa. Karena batasan poligami dalam al-Qur’an hanya berkenan dengan anak
yatim dan budak dalam konteks pasca perang ketika ayat tersebut turun. Para mufassir
selama ini sudah keliru memahami ayat tersebut karena lalai membaca konteks dan
tidak teliti menelisik asbabunnuzul seperti dicertakan Aisyah. Uhumm,
apakah memang demikian? Apakah batasan poligami memang hanya untuk budak dan
anak yatim? Jika yang ditanya adalah saya, maka saya coba jawab :
Tidak ada batasan
poligami ? ada kok, dan itu justru di
an-Nisa : 3. :D
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
Terjemahan ayat itu ; Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (LAIN) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Jelas sekali di ayat ini
terutama jika melihat konteks asbabunnuzulnya , ; jika
para sahabat yang waktu itu banyak menjadi wali anak yatim takut tidak bisa
adil jika kawin dengan anak yatim... maka kawinilah “an-Nisa” yang baik. Menurut pemahaman saya, dan Ibnu Katsir, kata “an-Nisa”
di ayat ini merujuk kepada wanita yang
LAIN, yang tidak yatim. Karena mereka itu lebih banyak dan aturan Allah nggk
sempit2 amat soal mereka (wanita yang tidak yatim) begitu tambahan argumen Ibnu
Katsir.
Jadi bahasa gampangnya “jika
kalian takut tidak bisa adil klo nikahi anak yatim yoo wes nikahi aja WANITA
–WANITA SLAIN YATIM dua tiga atau empat”.
Dan ini lah pembacaan yang logis. Masa gini : “jka kamu takut tidak adil jika kawini anak yatim maka
kawinilah anak yatim dua, tiga, atau empat”. Kok takut tidak adil justru
disuruh poligami sama anak yatim? Padahal di tempat lain Allah menyatakan jika
tidak bisa adil maka satu saja, apakah Allah ta’ala plin plan? nauzubillah. Jadi yang dibatasi hingga empat dalam ayat
diatas adalah wanita-wanta selain anak yatim dan budak. Dimana status
istri-istri Eyang Subur sepertinya bukan budak, kalau yatim saya juga tidak
tahu.
Pembatasan istri hanya
empat tidak terbatas pada anak yatim dan budak saja juga bisa dipahami dari asbabunnuzul
ayat ini sebagaimana yang disampaikan oleh Aisyah istrinya Nabi di dalam riwayat yang diriwayatkan al-Bukhari,
di sini saya kutipkan sampai selesai biar jelas bahwa yang dibatasi empat
adalah wanita yang BUKAN yatim dan BUKAN budak (kadang riwayat ini dikutip
tidak sampai selesai sehingga keterangan bahwa yang dibatasi empat adalah BUKAN
yatim BUKAN budak justru tidak muncul) ;
Dari Urwah, dari Ibnu Zubair, ia berkata saya menemui Aisyah dan bertanya tentang makna ayat wa inkhiftum dst.. dan Aisyah pun menjawab “wahai ponakanku, ayat itu tentang anak yatim yang diasuh oleh walinya yang kemudian berserikat dengannya dalam memergunakan hartanya (harta anak yatim) dan walinya itu juga jadi terpesona oleh kecantikan si anak yatim lalu ia menikahinya tapi tidak memberikan mahar yang adil. Maka mereka pun dilarang menikahi anak yatim kecuali jika sanggup berlaku adil, mereka lalu diperintahkan untuk menikahi wanita SELAIN anak yatim (maa thaaba lahum min nisaain siwaaa hunna) ”
Pembatasan untuk menikahi
SEMUA jenis wanita ; yatim, budak, atau merdeka hanya sampai emapt juga bisa dilihat dari contoh
yang telah diberikan oleh Rasulullah saw sendiri, yakni perintah beliau kepada
para sahabat yang ketika masa jahiliyah memiliki lebih dari empat istri lalu
masuk Islam. Mislanya kisah Ghailan bin Salamah, Naufal bin Muawiyah
ad-Dailami dan al-Harits bin Qais bin Amirah al-Asady yang ketika masuk Islam
memiliki istri lebih dari empat, yakni Ghailan 10 orang, Naufal 5 orang dan
al-Harits 6 orang, lalu Rasulullah saw memberikan mereka perintah yang sama (di
tempat dan waktu berbeda) ; “pilihlah empat diantara mereka, dan ceraikan sisanya”. Padahal seluruh istri mereka juga masuk Islam bersama mereka. Seandainya yang dibatasi empat hanya anak
yatim, maka tentu Rasulullah akan memperjelas ketentuan soal anak yatim itu
kepada mereka. Lalu jika batasan poligami adalah sembilan, tentu Rasulullah
memerintahkan kepada Ghailan untuk menahan sembilan orang dan ceraikan seorang
saja. Bukankah janda adalah golongan masyarakat lemah yang harus dibatasi
jumlahnya?
Tapi sebenarnya, pendapat yang menyatakan
poligami itu tidak terbatas atau poligami itu sampai sembilan bukanlah pendapat
baru. Akal para ‘aaqil terdahulu sudah sampai ke kesimpulan tersebut. Meskipun
jumhur ulama menyelisihi mereka. Ibnu Katsir, seorang penafsir al-Qur’an dan
juga sejarawan, menceritakan bahwa pendapat itu dianut oleh thaifatun min
asySyi’ah. Dalam hal ini saya mengutip beliau dalam kapasitasnya sebagai
sejarawan. So tidak ada sebenarnya pendapat baru dalam hal ini yang pantas
dirayakan dengan “eurekaa!” kita tinggal memilih mengikuti pendapat mayortias
ulama lintas mazhab (berarti lintas metodologi), termasuk Ibnu Abbas yang telah
direstui Nabi lewat doanya yang terkenal itu atau mengikuti thaifah tadi. Sampai di sini, kita pun tahu ulama mana yang
diikuti oleh Eyang Subur. Jadi, siapa bilang Eyang Subur tidak ikut “ulama”?
Memang sih, tiap
orang itu beda-beda memaknai kesetiaan, lain pak Habibie lain Eyang
Subur.. jadi jangan pernah bayangkan romantise Subur dan Ainun. malah
aneh hehehee
