بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
*ini adalah tulisan yang saya ekstrak dari kajian ustad Anton Ismunanto di Maskam UMY edisi Ahad, 19 April 2014. Ohya, nama kajiannya "Majlis Semoga Hujan" ngikuti teman-teman Forum Mengeja Hujan di UGM, iyaaa iya ini nama tidak resmi dari saya sendiri hehe. Ehmm. Ustad Anton berbicara tentang menghidupkan budaya ilmu. Sebab ilmu adalah jantung peradaban kita, tauhid adalah ruhnya.
Di dalam Islam
ada konsep yang sangat mendukung budaya ilmu, yakni konsep pahala jariyah. Ilmu
yang bermanfaat adalah salah satu pahala yang terus megnalir. Anak shalih juga
menyangkut persoalan ilmu. Kesahilah tidak bisa terpisahkan dari ilmu, anak
shalih pastilah ia yang dididik di dalam lingkungan yang segalanya dipandu
ilmu. Konsep jariah ini menjadi motivasi bagi semua orang agar terus belajar
dan menghargai sesama berdasarkan kelilmuan seseorang. Salah satu kebaikan yang
ada di dalam masyarakat yang selalu belajar adalah tidak adanya gap antara
generasi. Mengapa ada yang disebut kaum muda dan kaum tua? Dan mengapa keduanya
sangat susah dikompromikan? Karena angkatan tua berhenti belajar begitu hidup
mereka mapan sedangkan yang masih muda tidak mau mengkaji ‘masa lalu’ yang
tidak berguna bagi karir masa depan mereka.
Musuh utama bagi
perkembangan budaya ilmu adalah pola pikir materialistik. Bukan berarti
banyaknya pengikut materialisme (aliran filsafat itu), maskudnya adalah pola
pikir masyarakat yang semuanya diukur dengan pertimbangan materi ; harta dan
kedudukan duniawi. Bagi mereka ilmu direduksi menjadi sekedar alat untuk
mencari uang. Dari rahim rusak beginilah lahir bencana. Mereka yang terlatih
dalam ilmu-ilmu terapan akan menjadi robot tanpa jiwa sedangkan para inteleknya
menjadi “Hamman” bagi “Fir’aun-Firau kecil”. Konsep pahala jariah tidak akan
bekerja pada masyarakat semacam ini. Mereka tidak akan mampu merasakan lezatnya
ilmu serta nikmatnya mencari ilmu sebab mereka telah tenggelam dalam kenikmatan
duniawi yang rendah. Olehnya untuk menghidupkan budaya ilmu, salah satu langkah
paling awal adalah memerangi pola pikir semacam ini.
Di dalam ajaran
Islam ada banyak sekali konsep-konsep yang bertujuan untuk mengobati penyakit
gila dunia. Semuanya terangkum di dalam bab-bab akhlak yang tidak untuk dikaji
secara kognitif saja tapi lebih pada tataran aplikatif. Ketiadaan adab juga
menjadi sebab hilangnya motivasi spritual dalam menghidupkan budaya ilmu. Kita
gagal menemukan letak yang pantas bagi ilmu, dan tidak mampu meletakannya di
tempat yang pas. Ilmu menjadi objek kezhaliman terbesar. Jika ilmu telah
dizhalimi, maka segalanya akan berakhir sebab jantung peradaban ini adalah
ilmu. peradaban yang jantungnya ditaruh di kaki tentu akan menjadi peradaban
hantu. Peradaban zombi. Olehnya ulama kita dahulu sangat mengutamakan penanaman
adab dan penempaan akhlak karimah bagi para penuntut ilmu. Sebab keduanya
menjadikan jiwa bersinar dan mampu menangkap cahaya Allah. Dari jiwa yang
demikianlah lahir motivasi tinggi untuk terus belajar. Hanya jiwa demikianlah
yang mampu merasai lezatnya ilmu.