Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » » Dari Anti-Gay Menjadi Pro-Gay ; Apakah yang Terjadi di AS Mungkin Terjadi di Indonesia?

Dari Anti-Gay Menjadi Pro-Gay ; Apakah yang Terjadi di AS Mungkin Terjadi di Indonesia?

Written By apaaja on Jumat, 03 Juli 2015 | 20.22.00

SEBAGAI negara yang memiliki pengaruh besar di pentas global, segala dinamika di dalam negeri Amerika Serikat sedikit banyak memiliki dampak  mendunia. Termasuk keputusan Mahkamah Tinggi negeri Paman Sam untuk melegalkan pernikahan sesama jenis. Perusahaan-perusaaan besar sontak mengganti logo mereka dengan latar pelangi, bendera kebanggaan pejuang LGBTQ (Lesbian Gay Biseksual Transeksual dan Queer), tak kurang dari Mark Zuckenberg, pemilik raksasa telekomunikasi dunia Facebook, mengucapkan selamat kepada kemenangan kaum Gay ini.  Sejumlah pesohor pun  turut merayakan momen yang oleh Obama disebut sebagai kemenangan besar tersebut.

Di negeri kita reaksi yang muncul pun beragam. Para pejuang hak-hak LGBT yang memang telah lama bergerilya berusaha menggolkan agenda mereka tentu sangat senang. Beberapa artis juga tampak latah mensyukurinya. Reaksi kontra tentu lebih terlihat, terutama di kalangan umat beragama, khususnya kaum muslimin. Sejumlah media online yang dikelola umat Islam memberitakannya dengan nada negatif. Memang reaksi tersebut sudah wajar dan seharusnya, sebab homoseksualitas merupakan tindakan yang dikutuk agama.

Namun mengutuk dan ber-nauzubillah saja tidak cukup.  Legalisasi pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat menyisakan sebuah renungan penting bagi umat Islam di Indonesia. Tidak mustahil hal serupa akan terjadi di negeri kita ini, sebab beberapa dekade yang lalu, legalisasi pernikahan gay pun tampaknya mustahil di Amerika. Bila proses yang dulu berlangsung di Amerika dan negara Barat pada umumnya juga terjadi di Indonesia, maka kelak anak cucu kita bisa saja menyaksikan keputusan serupa ditetapkan di negri ini.

Legalisasi pernikahan gay di Amerika Serikat tidak bisa dipisahkan dari sejarah penerimaan homoseksualitas di dalam peradaban Barat secara umum. Bila sejarah tersebut dicermati, tampaklah bahwa persepsi masyarakat Barat terhadap homoseksualitas ternyata berubah seiring perubahan basis nilai masyarakat tersebut. Di bawah pengaruh Gereja, homoseksualitas dipandang sebagai dosa, para raja seperti Raja Henry VIII menyebutnya kriminal. Ketika ilmuwan mengambil peran penting selama Abad Pencerahan, homoseksualitas dianggap penyakit. Terakhir, ilmu psikologi menganggapnya normal dan mengeluarkannya dari DSM (buku panduan penyakit mental) pada tahun 1973 (Bayer, 1981)

perubahan persepsi masyarakat AS
Di konteks Amerika pun, terjadi perubahan serupa. Pada awalnya, rakyat Amerika termasuk konservatif dalam urusan homoseksual ini. Hingga tahun 50-an mislanya, dibawah pemerintahan Eisenhower seorang pegawai yang diketahui seorang homoseks akan dipecat. Gelombang revolusi rasial dan seksual di tahun 60-an hingga 70-an akhirnya membawa angin segar bagi kalangan homoseskual. Mereka mulai membentuk sel-sel gerakan dengan meniru gerakan bawah tanah kaum komunis (Pickett, 2009).

Gerakan gay pertama muncul dengan “kalem” lewat gerakan “Gay is Good” tapi kemudian segera menjadi radikal pasca tragedi Stonewall, ketika aktivis gay menjadi korban kekerasan aparat polisi pada 27 Juni 1969 (Edsall, 2003). Masyarakat mulai tergiring untuk simpati kepada kaum gay, generasi baru lebih liberal dari orang tua mereka. Sejak saat itu aktivis gay mengampanyekan kesetaraan hak dalam menikah melalui berbagai media. Mereka sangat kuat hingga mampu mempengaruhi keputusan para psikolog untuk menormalkan homoseskaulitas (Satinofer, 1996 ; Cumming, 2005).

Menyambut kebangkitn kaum gay, kekuatan Kristen Amerika pun tidak bisa banyak berkutik. Masyarakat mereka yang sekuler tidak lagi mengindahkan petunjuk agama dalam menetukan yang baik dan buruk. Nilai-niali liberal yang menitik beratkan pada kesetaraan dan kebebasan semakin tertanam. John McGowan (2007) mengaitkan kebangkitan nilai-nilai liberal dengan perubahan besar persepsi masyarakat Amerika terhadap homoseksualtias. Dalam survei Gollup, pada tahun 1986 pendukung pernikahan gay di Amerika Serikat hanya 32%, jumlah ini meningkat signifikan menjadi 64% pada tahun 2010.

Dus, di balik penerimaan terhadap pernikahan sesama jenis secara gradual di Amerika terdapat proses perubahan cara berfikir masyarakatnya. Mereka semakin liberal dan meninggalkan ketentuan agama. Pola pikir liberal akan mengutamakan apa yang dianggapnya hak azasi di atas norma-norma agama. Meskipun bukan seorang homoseskual seorang yang berpikir liberal akan mendukung pernikahan gay. Apabila generasi muda Indonesia telah berpola pikir demikian, mereka tidak akan mau dengan tegas menolak pernikahan sesama jenis. Maka, hal yang serupa di Amerika Serikat bisa saja terjadi di Indonesia. Menanamkan nilai-nilai agama adalah satu-satunya cara mencegahnya.
Share this article :

4 komentar:

  1. menjijikkan sekali ya kayak gitu

    BalasHapus
  2. Bahayanya paham sekulerisme dan demokrasi, dimana opini dilumrahkan menjadi latar belakang penerbitan hukum.

    BTW, itu pop up FB likesnya sulit banget ditutup, hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya, bila suara mayoritas tidak dikendalikan oleh ketentuan Allah, maka tidak mustahil yang terjadi adalah kehancuran..

      humm, langsung isi dulu komen trus pos pak, biar ilang hehe... itu namanya promo :D

      Hapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template