Gadis Minang. sumber niadilova.blogdetik.com |
Para Ninik Mamak
mungkin sadar bahwa beberapa tradisi mereka harus terkubur, misalnya pembagian
warisan yang harus diganti faraidh, mereka juga mafhum bahwa kekuasaan
mereka sedikit terusik, sebab setiap hendak memutuskan mestilah bermufti
dulu pada ulama. Walaupun demikian
untuk persatuan kaum mereka rela hati menerimanya. Begitu pula para ulama, sebagai ulama-ulama
bermazhab Syafi’Iyah mereka pasti sangat
memahami kaidah al-adat al-muhakkamah, dan mengakui bahwa al-urf adalah
salah satu instrument istinbath sekunder sebagaimana syaikh-syaikh
mereka mengakuinya pula. Maka tercapailah kesepahaman antara kedua kelompok
yang awalnya berseteru ini, bahkan sejarah mencatat Perang Paderi yang
berkepanjangan sebagai puncak pertetangan mereka. Kelak, batas keduanya menjadi
kabur, misalnya HAMKA yang ulama itu
ternyata juga seorang penghulu adat bergelar Datuk Indomo, atau seorang ulama Permi Haji
Djalaluddin Thaib beroleh gelar adat Datuk Penghulu Besar.
Meski pengaplikasian di lapangan tidak selalu
mulus, namun terbukti bahwa orang-orang Minang memegang teguh perjanjian tetua
mereka. Hal itu terbukti beberapa masa setelahnya. Ketika Syaikh Ahmad Khatib dan
muslim pembaharu lainnya mulai menyiarkan pembaharuan mereka (yang mungkin
membuat orang Minang kembali terkenang kaum Paderi-nya Imam Bonjol karena
semangat purifikasi yang sama) muncullah reaksi dari beberapa pemuka adat, yang
terdepan bernama Datuk Sutan Maradja, seorang bangsawan yang lihai beretorika
dan lincah bermain pena. Sang Datuk tidak sudi dengan ajaran pemurnian yang
baru ini, ia lalu menyeru orang-orang Minang untuk bangkit dan waspada terahdap
“kembalinya masa Paderi” dan apa yang ia sebut sebagai “penjajahan Mekah”
terhadap ranah Mianang. Lucunya, untuk memperkuat barisannya menggempur--dengan
pena dan lisan--kaum “penjajah dari Mekah” tadi, ia menggandeng tangan kekar
Belanda. Seruan si Datuk tidak mendapat respon memadai, salah satunya karena
masyarakat Minang terutama bangsawannya tahu bahwa dahulu di masa Paderi telah
tertuang dalam pepatah persetujuan ulama dan kaum adat, bahwa syara’
mangato, adat memakai. Minangkabau bertubuh adat, berjiwa syara’.
Penghulu-penghulu selaku Juru bata, ulama selaku kemudi. Adat bersandi syara’,
syara’ bersandi Kitabullah.
Betapa kaut mereka memegang perjanjian ini,
sehingga Deliar Noer mencatat bahwa kutukan “dimakan kutuk Kalamullah”
dijatuhkan pada sesiapa yang melaggarnya. Jalinan itu kemudian dikuatkan lagi
dengan ditambahnya satu point pada falsafah pengaturan nagari. Jika dahulu
hanya ada “berlabuh, bertepian, berbalairiung”, setelah dicapainya kesepakatan
dengan kaum Paderi, jadilah falsafahnya berbunyi “berlabuh, bertepian,
berbalairiung dan bermasjid”. Memang,
dengan semua itu tidak otomatis semua orang Minang adalah muslim yang taat.
Ketaatan dan kedurhakaan pada Allah ada di mana-mana, bahkan tetangga-tetangga
Ka’bah dan Masjid Nabawi bukanlah jaminan.
Tapi setidaknya latar budaya segitu rupa akan sedikit banyak berpengaruh
pada pribadi-pribadi minang. Aku sendiri tidak banyak mengenal orang Minang
secara personal, paling seorang junior di PUTM bernama Ulfah Amrah (dia lelaki
tulen, meski namanya
cukup cantik) yang lebih sering kusapa Wa’ang dan
satunya lagi, seorang ibu yang kukenal berkat bertanya jam praktek dokter.
Orang kedua itulah yang akan aku ceritakan di sini, tidak banyak, tapi “drama
satu babak” yang kutonton dari kehidupannya cukup membekas di benak, setidaknya
bagi aku. Kamu?, entahlah.
Jika “drama satu babak” dengan dialog unik itu
hendak diberi judul, maka judul yang mungkin tepat adalah Insya Allah. Bukannya
hendak memplagiat Maher Zain atau numpang tenar lewat hitnysa itu, bukan !,
bukan sama sekali. Judul ini kuberi semata karena drama dari ibu yang bahkan belum sempat kutanyakan namanya itu
adalah drama yang puncak konfliknya ada di seputar frasa sakti Insya Allah. Frasa
ini memang sunggu keramat. Bahkan Baginda Rasulullah saw sendiri konon sempat
ditegur Allah karena memastikan akan melaksanakan sesuatu tanpa mengucap frasa
ini. Teguran itu kini abadi di dalam salah satu ayat al-Qur’an ; wa laa
taqulanna li syaiin inniy fa’ilun zaalika ghada, illa an yasyaa Allah. Jangan
pernah berani berkata aku akan melakukan ini besok, melainkan katakanlah jika
Allah menghendakinya terjadi. Frasa ini mengandung keberserahan diri hanya pada
Allah semata, tak akan ada sebiji atom pun yang bergesr di
semesta ini kecuali dengan kehendak-Nya, dan jika ia berkendak bintang-bintang
akan meledak serentak. Aku menduga-duga, hal inilah yang disadari oleh di ibu
sehingga terjadilah dialog lucu dan mengagumkan itu. Di sore itu. Yaa sore
itu………
Sore itu seperti beberapa sore sbelumnya, Ibu
Aminah (dari pada kukatakan ibu no-name, lebih enak memberinya nama palsu)
duduk setia menunggui dagangannya ; semacam es kolak, atau kolak pake es.
Meskipun konon orang Minang jika ke bulan pun pasti akan mendirikan rumah makan
minang, tetapi Ibu Aminah tidak, dan alasannya (lagi-lagi dugaanku saja,)
adalah alasan klasik dan merakyat ; tidak ada modal. Beliau berangkat dari kampungnya nun di sekitar
Danau Maninjau sana ke Jogja ketika ia masih gadis, tanpa modal selain harapan,
tekad, doa, dan dorongan untuk bertahan hidup,
berikut semangat merantau, semangat khas yang telah terinstall di dalam gennya
sejak ia ditetapkan akan terlahir sebagai orang Minang. Siapa yang menyangka bahwa di kota ini pulalah
ia bertemu lelakinya?, sosok yang kini telah menjadi ayah bagi anak-anaknya?.
Yaa mungkin ibu itu telah mengantisipasinya, mungkin juga tidak. Tapi satu yang
pasti si pujaan hati juga bukanlah orang yang kuat secara financial, maka
jadilah sore itu, demi membantu suami tercinta mencukupi kebutuhan (bertahan)
hidup keluarga yang sebenarnya tidaklah terlalu muluk-muluk, ia berjualan es
kolak/kolak pake es di depan RS an-Nur. Meskipun mirip nama masjid, RS an-Nur
tidak ada hubungannya dengan masjid, RS itu adalah rumah sakit khusus bedah dan
urologi. Karena spesialisasinya itulah sore itu aku mendatanginya, dan bertemu
dengan si Ibu penjual es kolak.
Sore itu selepas
menjalani pemeriksaan di RS An-Nur, aku duduk-duduk menunggu jemputan teman di dekat lapak bu Aminah. Kami membicarakan
beberpa hal, awalnya aku senang karena pembicaraan kami berhasil menendang
jauh-jauh rasa bosan, tapi lama-lama aku menikmati juga pembicaraan kami. Obrolan
itu temanya macam-macam, mulai dari latar belakang bu Aminah hingga masalah hukum
kelaurga Minang yang matrilinear. Sebuah sistem adat yang unik mengingat
rata-rata suku Nunsantara berpola hidup patrilinear. Apalagi jika dikaitkan dengan
Islam yang konon patriarikis, bagaiamana agama ini bisa berdamai sedamai
damainya dengan adat orang Minang? Meski ini hanya pembicaraan acak seorang
mahasiswa tingkat tiga dengan ibu penjaja es kolak tapi rasanya kok seseru diskusi antara
profesor etnologi dan ulama di dalam simposium antropologi agama. Ahaha. Bu Aminah dengan riang bercerita banyak hak
kepadaku sambil melayani pembelinya yang tidak terlalu ramai. Ia kelihatannya
tidak keberatan dengan hal itu hingga tibalah pembeli yang membuat kenangan ini
betul-betul membekas di kepalaku.
Pembeli itu
adalah seorang lelaki pengendara motor besar, ia memesan satu gelas es
kolak/kolak pake es tanpa turun dari kendaraannya yang gagah. Si lelaki mungkin
enggan memakannya di pinggir jalan pada sore yang tua ini. Ia memesan agar es
kolaknya dibungkus. Bu Aminah memnuhi pesanan itu sambil tetap tersenyum. Cekatan
bu Aminah meramu semuanya, lalu menyerahkannya pada lelaki gagah pengendara
motor besar itu. Sang pengendara melihat-lihat es kolaknya, seperti sedang
menimbang-nimbang sesuatu.
“Bu. Ini tidak
akan basi kalo nggk langsung dimakan malam ini kan bu?” Tanya lelaki itu
kemudian. Mungkin perihal kebasian kolaklah yang tadi ia biungunkan.
Agak terkejut
juga bu Aminah. Tapi ia tetap tersenyum dan menjawab bahwa jika ditaruh di
kulkas dagangannya itu tidak akan basi.
“Insya Allah”
Segera Bu Aminah menambahkan frasa itu di akhir kalimatnya, seolah takut kualat
jika hal itu terlupa.
“Oh dipastikan
dong bu!” Lelaki pengendara motor menyahut agak tegas, tapi tidak keras. Aku
yang mendengarnya sempat berbalik, tapi ketika sadar semuanya baik-baik saja,
aku kembali sibuk dengan HP bututku. Bu
Aminah lagi-lagi terkesima tapi ia masih saja tersenyum. Tulus. Lembut.
“Insya Allah mas.
Kalo ditaruh di kulkas, kolaknya tidak akan basi. Insya Allah”
“Pastikan dong
bu. Ini bakalan basi atau tidak?!” selain tegas, lelaki itu mulai keras. Aku kini
benar-benar tertarik dan menonton adegan itu. Juga takut-takut jika sesuatu
yang buruk menimpa bu Aminah.
“Insya Allah mas!”
Aku menangkap
cemas dalam nada bu Aminah, tapi juga ada tegas, tak kalah dari si lelaki
bermotor. Namun tidak keras.
“pastikan dong
bu!”
“Insya Allah mas.
Jika ditaruh di kulkas...”
“Pastikan dong
bu! Basi atau tidak?!”
“Insya Allah mas.
Insya Allah!”
“Pastikan lah bu!”
“Insya Allah mas!”
Seperti menonton
pertunjukan sirkus berbahaya, aku terpesona sekaligus khawatir menonton adegan
aneh dengan dialog unik oleh bu Aminah dan pembelinya di hadapanku sore itu. Syukurlah
semuanya berakhir tanpa terjadi hal-hal yang tidak baik. Bu Aminah berbalik
padaku, ada lega ada tegang. Ia lalu tersenyum, memberi beberapa komentar
seputar kejadian yang baru saja dialaminya. Aku sudah tidak terlalu
mendengarkan apa yang diucapnya, aku hanya melihat bibir yang berbicara entah
apa ; kagumku membuat alam sejenak hening. Ahaha lebay. Tapi ya ini nyata, semua ini terjadi beberapa tahun yang lalu.
emm..
BalasHapusnamanya ulfa amra mas..tanpa "h"
hehe..
jk menengok lbh dalam sangat indah dan muwafiq memang adat minangkabau dengan ajaran Islam..namun sayangnya saat ini hal itu sdah tdk diindahkan