Bismillah.. tulisan ini adalah lanjutan dari pesan-pesan KH. Hasan Abdullah Sahal tentang ulama dan pesantren. Silakan baca bagian sebelumnya di situ .. klik >>>di sini <
Sosok kiyai yang mengayomi. |
Kiyai Sebagai Pusat Spritual Dinamika Pesantren
Pesantren didirikan dan dirawat oleh kiyai. Misalnya ada
yayasan, maka ia berada di bawah kontrol kiyai. Pondok pesantren fungsinya
untuk mendidik, bukan dididik (didikte pihak luar). Pesantren pada hakikatnya
adalah sebuah benteng moral dan iman. Gedungnya bisa dibakar, kiyai, santri dan
ustad bisa dibunuhi, pesantren tidak akan mati. Di pondok, jiwa yang penting
bukan badannya, nilai yang penting bukan institusi fisiknya.
Olehnya, intervensi pihak luar yang tidak
punya pemahaman atas jiwa dan nilai itu hanya akan berujung kerusakan. Hal ini
sudah dibuktikan oleh pesantren-pesantren di Indonesia yang tetap stabil meski
sistem pendidikan penuh gonjang ganjing. Pesantren tidak akan menganggu
sehingga jangan diganggu. Struktur dan tubuh pesantren harus dipertahankan dari
intervensi luar. Bahkan intervensi yang katanya untuk kebaikan, untuk reformasi
dan sebagainya.
(di sini Kiyai Hasan
mengaku heran dengan keributan K13. Kurikulum pesantren telah ada beradad-abad
sebelum Indonesia merdeka, dan buktinya lulusan-lulusan pesantren berkontribusi
besar bagi bangsa ini)
Kiyai adalah figur sentral di pesantren. Kekuasaan mutlak ada
ditangannya. Kiyai yang berada di bawah naungan organisasi akan ambruk. Namun demikian,
ia tentu saja tahu diri sehingga ia tetap dihormati warga pesantren. Kiyai menghormati
santrinya, ummatnya, begitu pula sebaliknya. Kehormatan yang diterimanya adalah
buah dari kepribadiannya. Ia jujur tanpa pengawasan KPK, polisi dan semacamnya.
Konsistensi dan independensi kiyai ini tercermin juga pada santri dan pesantren
secara umum. Sebab kyai mewariskan dan menularkan nilai-nilai
kebaikan kehidupan. Pesantren harus menjadi miniatur kehidupan.
Kiyai mengarahkan dan mengawasi dinamika pondok secara
terbina dan konsisten. Setelah itu, dinamika itu akan berjalan di dalam
kebersamaan dengan tiga energi ; ihlas, ridha, berkah. Setiap anggota
masyarakat pondok memberi dan menerima dengan ihlas. Dengan tiga semangat ini
berjalan dinamika yang sakral. Mulai dari makan, tidur, hingga belajar adalah
pekerjaan-pekerjaan sakral. Suasana itu tercapai karena semuanya dilakukan demi
mencapai ridah Allah. Dinamika ini jalan di atas syariat.
Kedekatan dengan santri, berbuah kasih sayang dan rasah hormat |
Namun demikian, semua tatanan tadi akan hancur bila disusupi
penyakit-penyakit pesantren : egoisme
keduniaan. Sesungguhnya Islam mengajarkan kita untuk individualis dan egois
sebab di akhirat kelak semua orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan
tetapi hidup sendiri, egois, individualistis tidak mau bersosialisasi di dunia sangat
dikutuk. Egoisme merusak pesantren sebab mematikan amar ma’ruf. Ia bisa
merasa kaya, merasa pintar, merasa cukup sehingga interaksi yang sakral dalam
keridaan dan keihlasan hancur. Ia merasa memiliki kelebihan sehingga menganggap
orang lain lebih rendah. Orang egois juga mementingkan kejayaan diri sehingga
menjadi oportunis yang licik.
KH. Hasan Abdullah Sahal bersama peserta PKU VIII, saya yang paling cerah mukanya hehe |
Pesan Terakhir
Saya tidak mendidik sebaik yang diinginkan oleh Allah. Tapi kita akan terus berusaha menjadi lebih baik. Jadilah kalian pendidik. Kalian akan tarik-menarik dengan penajajah yang juga terus mendidik manusia. penjajah mendidik manusia menjadi 3B ; boneka, babu, budak. Sedangakan Kalian mendidik mereka menjadi manusia bebas yang hanya menghamba kepada Allah.