بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Perbedaan sebagai keserasian
oleh: Irwan Haryono
Pendahuluan
Gender
bukanlah wacana yang netral dari kepentingan
dan keberpihakan terhadap jenis kelamin tertentu. Gender merupakan upaya merebut “dominasi”
peran laki-laki baik di ranah personal maupun publik. Gender mengaburkan makna
keserasian laki-laki dan perempuan menjadi penindasan dan penguasaan otoritas
dari kaum Adam. Gender mengartikan seakan wanita tidak memiliki kedudukan yang
sepadan dengan pria. Dari isu-isu miring tentang hubungan pria dan wanita yang
digembar-gemborkan ini, maka timbullah implikasi dalam
kehidupan sosial antara keduanya. Sebab kaum feminis memaknai gender sebagai ketimpangan yang tampak dari
kondisi perempuan yang terpuruk, tertinggal, tersubordinasi, dan istilah lain
yang sejenis. Menjadikan gender selalu di bahas berulang-ulang seakan tidak ada
habisnya.
Pertanyaannya, Apakah sebenarnya misi dibalik gender? Mengapa Gender memaknai adil dalam hubungan pria dan wanita harus sama rata di bidang apa saja? Benarkah demikian cara hidup antara laki-laki dan wanita yang sebenarnya dalam Islam? Selanjutnya tulisan ini berusaha ingin mengulas singkat, tentang permasalahan diatas.
Pengertian Gender
Sebelum membahas lebih jauh tentang gender, berikut pandangan
beberapa tokoh terhadap gender. Menurut Henri
Shalahuddin, dalam bukunya “Indahnya
Keserasian Gender dalam Islam”, mengatakan Gender
adalah ideologi transnasional yang kemudian bergulir menjadi wacana akademik di
ranah perguruan tinggi Indonesia sejak era 1990-an.[1] Selain itu Mohammad Muslih, “Bangunan
Wacana Gender” Juga mengatakan Gender sebagai produk dari kondisi sosial budaya Barat yang
berupaya melepaskan diri dari ikatan dan doktrin-doktrin agama.[2] Gender
juga dimaknai
sebagai suatu teori tentang perbedaan laki-laki dan perempuan menurut
perspektif sosial budaya dan bukan menurut perspektif biologis.[3]
Secara defenisi kajian ini memiliki makna yang sama, akan tetapi secara konotasi memiliki arti yang berbeda. Pembicaraan tentang masalah gender biasanya diawali dengan pembedaan secara ketat antara dua istilah, yaitu “gender ” dan “sex”. Kedua istilah ini memiliki makna yang sama yaitu: “jenis kelamin”. Namun keduanya berbeda dalam konotasinya, “Sex” berkonotasi natural dan bersifat “given”; karenanya ciri-ciri yang dikandungnya merupakan ciri-ciri biologis. Sedangkan “gender” berkonotasi kebiasaan atau sifat-sifat sebagai human construction atau social and cultural construction. Jika “sex” adalah segala sifat dan cirinya tidak bisa dipertukarkan, maka pada “gender” dapat dipertukarkan.[4] Demikian sekilas defenisi sederhana menjelaskan perbedaan keduanya sebagai “jenis kelamin”.
Perbedaan
sebagai Keseimbangan.
Selanjutnya
akan kita jelaskan bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan memang berbeda. Tidak
bisa disamakan tapi bisa disandingkan; yaitu dengan cara saling berperan di
masing-masing sektor. Dengan kata lain sebenarnya tidak ada permasalahan dalam
hal perbedaan. Namun kaum feminis mulai membuat ulah dengan menyebarkan isu
bahwa perempuan atau
laki-laki bisa belajar untuk menjadi feminine atau masculine.[5]
Pada aspek sosial politik, ungkapan ketidakadilan selalu ada berdasarkan perbedaan jenis
kelamin.[6] Diantara isu diatas akan kita ungkap bahwasannya Perbedaan jenis
kelamin antara pria dan wanita adalah perbedaan yang alami.
Perbedaan ini mulai diungkapkan secara “ilmiah” oleh Charles Darwin dalam bukunya, The Descent of Man. Darwin di percaya oleh seorang ilmuwan wanita, M.A. Hardaker yang menulis di majalah popular Science Monthly (1882) bahwa “wanita mempunyai kemampuan berpikir dan kreativitas yang lebih rendah dari pada pria, tetapi wanita mempunyai kemampuan intuisi dan persepsi yang lebih unggul.” Perbedaan lainnya dalam hal fisik antara pria dan wantia sangat jelas terlihat; rata-rata pria mempunyai fisik dan otot-otot yang lebih besar dari pada wanita. Sedangkan wanita mempunyai struktur tulang pelvic lebih besar, yang memang sesuai untuk menyokong kehamilan. Oleh karena perbedaan ini dikatakan dapat menghambat para wanita untuk dapat berlari secepat pria, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan otot-otot besar.
Namun dengan keadaan seperti itu, wanita bisa mengandung dan meneruskan populasi manusia. Perbedaan selanjutnya adalah pada hormon. Perbedaan hormon mempengaruhi tingkat agresivitas pria dibandingkan wanita. Sedangkan perubahan hormon pada wanita semasa siklus menstruasi, kehamilan, dan menyusui, adalah sifat khusus feminin. Sifat feminin yang bersumber dari hormon ini ternyata dibutuhkan oleh bayi yang tidak berdaya. Tanpa adanya figur feminin yang mengasuhnya, maka kelangsungan hidup manusia tidak dapat berjalan sehat. Demikianlah keharmonisan alami yang tercipta dalam hal fisik.
keharmonisan mulai dipermasalahkan
Karena beberapa
hal, keharmonisan diatas mulai
terusik. Berawal sejak Thomas Hobbes memberikan
legitimasi bahwa manusia adalah makhluk
bebas, otonom dan cenderung untuk bersaing. Dengan demikian masyarakat modern tampak mendapatkan gaungnya. Ide
ini seolah-olah fit dengan kenyataan yang ada. Menyatakan bahwa kaum feminis bertugas sebagai penerus estafet.
Dalam buku “Membiarkan berbeda” pada bab “Menuju Kesatuan Harmonis melalui Penghormatan Nature dan Pria”, Ratna Megawangi menunjukkan bahwa walaupun wanita modern cenderung ingin mandiri, mendapatkan hak otonomi yang sejajar dengan pria, ternyata mereka tetap mengidolakan pria yang mau memberikan komitmen. Ini menunjukkan bahwa ada konflik batin dalam diri manusia modern baik pria maupun perempuan. Jauh di lubuk hati para pria dan wanita, sebenarnya mereka masih merindukan adanya saling ketergantungan. Wanita perlu disayangi, dilindungi, dan priapun ingin diakui bahwa ia mampu memberikan perlindungan. Namun obsesi otonomi individu bebas dan mandiri, kadangkala telah mengorup naluri manusia yang sebetulnya butuh ketergantungan.
Kesimpulan
Setelah secara singkat membahas perbedaan dan
keseimbangan. Mengutip kata-kata Ratna megawangi dalam bukunya. Bahwa
konsep kesetaraan gender yang diartikan selama ini, adalah
konsep kesetaraan 50/50 yang contradiction interminis atau mengandung
kontradiksi dalam dirinya sendiri. konsep ini menginginkan kebebasan individu (liberty),
yang justru dalam praktiknya dapat membuat individu menjadi tidak bebas atau
tertindas. Liberty menurut konsep John Stuart Mill, adalah kondisi
dimana setiap individu (pria dan wanita) dapat berfungsi secara bebas.
Dapat mengembangkan kediriannya secara komplet. Serta dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitasnya. Pria dan wanita sebagai individu berhak untuk dapat mencari identitas dirinya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Berbicara tentang kapasitas, maka kita tidak akan lepas dari keragamaan yang ada pada tingkat individu (entah itu disebabkan oleh faktor nature atau nurture).
Dapat mengembangkan kediriannya secara komplet. Serta dapat meningkatkan kepandaiannya sesuai dengan kapasitasnya. Pria dan wanita sebagai individu berhak untuk dapat mencari identitas dirinya sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Berbicara tentang kapasitas, maka kita tidak akan lepas dari keragamaan yang ada pada tingkat individu (entah itu disebabkan oleh faktor nature atau nurture).
Hanya
masalahnya, pengertian liberty seperti ini ketika diterapkan pada permasalahan
gender sering dirancukan. Seolah-olah liberty hanya dapat dicapai kalau
para wanita sudah dapat mengerjakan segala sesuatu dalam segala bidang;
ekonomi, politik social, dengan intensitas dan kapasitas yang sama dengan pria.
Padahal tidak semua wanita menginginkan arti kebebasan dalam bentuk demikian.
Kaum feminis boleh mengatakan wanita akan krisis
identitas kalau ia bersikap demikian. Dengan alasan bahwa krisis identitas ini akan mebawa suasana tidak bahagia. Padahal
ukuran kebahagiaan berbeda antara pria dan wanita, antara wanita feminis dan
wanita kebanyakan, antara wanita karier dan ibu rumah tangga, antara wanita
kaya dan wanita miskin. Dengan demikian jika paham feminis terus di dukung dengan
segala bentuknya. Justru inilah yang menjadi
sebuah penjara bagi wanita. sebab mereka harus terkurung dengan
slogan-slogan, defenisi dan isu-isu yang dibawa kaum feminis. Padahal mereka
sendiri menolak itu dan lebih memilih hidup nyaman dibawah lindungan “syariat”
Islam yang mengajarkan keselamatan.
Penutup
Keindahan
Islam sebagai agama dan jalan keselematan dapat dilihat dari ajarannya yang
mencakup segala aspek kehidupan. Begitu pula dalam memposisikan
laki-laki dan perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan tidak
dipandangan sebagai individu yang terpisah, parsial dan dipertentangkan
antara satu dengan lainnya. Akan tetapi masing-masing mempunyai hak dan
kewajiban yang berbeda, baik
sebagai anak, istri/suami, maupun orang tua. Hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan dibangun berasaskan prinsip-prinsip keserasian yang saling menopang
antara satu dan lainnya. Semuanya tertata begitu
indah mengesankan.[7]
Serasi
tidak harus setara. Sebab keserasian tidak pernah
menuntut kesamaan dan persamaan, apalagi
penyamaan.[8]
[1] Henri
Shalahuddin, Indahnya Keserasian Gender dalam Islam, (Jakarta Pusat:
KMKI (Komunitas Muslimah untuk Kajian Islam), 2012), cet. I, p. xiii