Negarakartagama memuat daftar kerajaan yang berhasil dihancur leburkan. Dihancurkan dulu jika tidak mau tunduk kemudian dileburkan kedalam kesatuan Majapahit. Kerajaan Siam, lalu kerajaan Hindu Singapura yang melanjutkan Sriwijaya juga habis, terus ke kerajaan Islam di Trengganu. Meski sama-sama berdasarkan Hinduisme, Pajajaran yang Sunda tidak sudi tunduk pada Majapahit yang Jawa. Ahh ini cerita lain lagi, ada drama tragedi kecantian Dyah Pitaloka di sana.
Dan akhirnya kuku itu sampai ke Pasai, kerajaan Islam dengan ulama-ulama cemerlang. Pasai runtuh. Tapi yang runtuh hanyalah kekuasaan politiknya. Sebab disana masih ada kekuatan kedua; para ulama. Berangkatlah para ulama ini ke pulau Jawa, asal dari ekspansi yang membuat mereka kehilangan umara. Tersebutlah nama seperti maulana Malik Ibrahim, Maulana Malik Asmoro alias Jumdil Kubro dan Maulan Ishak. Kelak mereka menurunkan para wali seperti Sunan Bonang dan Sunan Giri. Mereka menacakan obor Islam mula mula di Giri. Keuatan Islam di Giri semakin bersinar, cahanya bahkan sampai ke maluku dan daerah-daerah luar Jawa lainnya.
Seiring itu, Majapahit yang renta dan ditinggal orang-orang besarnya kian teerpuruk. Para permaisuri keraton Majapahit ternyata tidak bisa lagi melahirkan Hayam Wuruk- Hayam Wuruk lain. Maka si tua yang melemah dan sebentar lagi mati ini akhirnya harus menyaksikan putranya dari benih Brawijaya menjadi raja pertama dari Demak Bintaro, dengan gelar yang belum pernah ia dengar sebelumnya di tanah Jawa ; sultan. Gelar yang dibawa oleh kekuatan non-politis dari Pasai yang dulu diserangnya.
Kekuatan kedua Pasai, para ulama. Jika ummat tidak lagi memiliki umara, maka ulama tidak boleh membiarkan mereka menjadi anak ayam tak berinduk. Ulama harus bangkit, membentuk kekuatan, strategi lalu mulai menyerang. Bukan dengan senjata dan memang tidak selamanya dengan senjata kejayaan diperoleh. Lihatlah Giri!, tarbiyah kaffah pada masyarakat di setiap level, di segala lini. Perlahan tapi pasti semua itu akan melahirkan umara baru.