Headlines News :
Made by : MF-Abdullah @ Catatan
Home » , » Perkembangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Respon Cendekiawan Islam (2)

Perkembangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Respon Cendekiawan Islam (2)

Written By apaaja on Selasa, 30 Desember 2014 | 02.02.00

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ\
logo JIL

MUNCULNYA JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Berdirinya Jaringan Islam Liberal secara lembaga memiliki sejarah panjang. Kisah ini bermula dari sebuah mailing list (milis) bernama islamliberal@yahoogroups.com pada kurun waktu awal milenium. Kala itu masih belum banyak pengikut dari milis ini, mengingat teknologi internet yang saat itu masih relatif baru dan belum populernya imej milis sebagai jejaring sosial di kalangan masyarakat.

Sosialisasi milis ini pun belum tersebar secara merata. Beberapa mahasiswa muslim, alumni IAIN, dan juga dosen masih terpencar untuk disatukan dalam milis ini. Mereka masih bercerai berai pada milis-milis kecil dan kelompok-kelompok kajian di beberapa kalangan. Namun yang jelas, wacana ataupun isu seputar Liberalisasi Islam bukanlah barang baru. Wacana akan hadirnya Islam liberal secara merata di seluruh daerah sudah sempat dimulai oleh beberapa kalangan, bahkan jauh sebelum ide sekularisasi oleh Nurcholish Madjid mengemuka pada tahun 1970-an. Setidaknya menurut Greg Barton dalam bukunya “Gerakan Islam Liberal di Indonesia” (Paramadina: 1999), sebuah kelompok diskusi di Yogyakarta tahun 1967 sudah melakukan inisiasi dalam mempopulerkan gagasan liberalisasi pemikiran Islam.

Adalah Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi,  yang aktif terlibat isu Liberalisasi pemikiran Islam di rumah HA Mukti Ali. HA. Mukti Ali sendiri pada tahun 1971 terpilih menjadi Menteri Agama menggantikan KH. M Dachlan (Kabinet Pembangunan I) yang belum habis masa jabatannya, dan melanjutkan jabatan itu selama periode Kabinet Pembangunan II (1973-1978). Sedangkan Ahmad Wahib adalah sosok yang juga menjadi titik penting  kelahiran JIL. Catatan hariannya yang berjudul “Pergolakan Pemikiran Islam” kemudian dibukukan dan menjadi “bacaan wajib” bagi mahasiswa liberal saat itu dan masih berlanjut hingga kini.   Tidak hanya itu, nama Ahmad Wahib pun kian santer setelah dijadikan sayembara penulisan essai di bidang pemikiran Islam liberal dengan tajuk “Ahmad Wahib Award”.

Pada tahun 2008 misalnya, tema-tema yang diangkat untuk ditulis nyaris mengkultuskan Wahib seperti “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan: Ahmad Wahib dan Kebinekaan Indonesia”; “Ahmad Wahib dan Islam Warna-Warni: Menyikapi Perbedaan dalam Ber-Islam”; “Berpikir Bebas bersama Ahmad Wahib, Siapa Takut?”. Juara pertama akan mendapatkan hadiah Rp. 20 Juta. Sebuah angka fantatis bagi mahasiswa S1 kala itu.

Menurut Budi Handrianto, dalam bukunya “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” (Hujah Press: 2007), selain nama-nama di atas ada tokoh lainnya yang berperan penting dalam perjalanan liberalisasi pemikiran di Indonesia, yakni tiga serangkai pemikir sekaligus birokrat: Harun Nasution, Abdurahman Wahid, dan Munawir Sjadzali.

Kembali ke masasalah milis, melihat animo yang cukup banyak, jejaring maya ini memiliki daya tahan cukup lama. Muka-muka baru pun muncul mewarnai diskusi seiring derasnya buku-buku liberal hadir di tengah masyarakat. Dominasi periodeisasi pra kelahiran JIL masih dikuasai basis sedimentasi aktivis-aktivis Ciputat, juga tak sedikit dari alumni Barat dan para akademisi Jojga yang direpresentasikan mahasiswa IAIN Yogyakarta dan UGM. Dari serangkaian diskusi-diskusi inilah kemudian tergagas keinginan untuk membentuk suatu wadah bernama Jaringan Islam Liberal.

Pada 8 Maret 2001 akhirnya Jaringan Islam Liberal (JIL) resmi didirikan di Jakarta. Menurut Luthfi Asy Syaukanie, salah satu pentolan JIL dan lulusan Melbourne, organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu seperti, Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ).[18]

Tokoh-tokoh muda yang saat itu menjadi pengelola JIL antara lain Luthfi Asysyaukanie (Universitas Paramadina Mulya), Ulil Abshar-Abdalla (Lakpesdam NU ketika itu), dan Ahmad Sahal (jurnal Kalam)[19]. Suatu hal yang menarik bahwa ketiga tokoh ini berasal dari akar NU, yang selama ini dianggap sebagai gerakan Islam tradisionalist. Bahkan ketiganya adalah jebolan pesantren ternama, Ulil mialnya adalah alumni Madrasah Mathali’ul Falah Pati, bahkan sempat kuliah di LIPIA. Ahmad Sahal pernah menjadi juara pembacaan kitab kuning di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagaimana Ulil, dia juga alumni pesantren yakni Madrasah Futuhiyah Demak.

Seiring tahun-tahun yang berlalu, wadah yang dimaksud berkembang dan mendapat simpati dari banyak pihak di dalam dan luar negeri, baik dari kalangan muslim sendiri maupun kalangan non-muslim. Mereka memiliki kegiatan yang beragam. Diskusi-diskusi, penerjemahan dan penerbitan buku-buku, pengadaan website islamlib.com adalah beberapa kegiatan pokok yang kerap dilakukan. Mereka yang tergabung ke dalam Jaringan Islam Liberal pun banyak menuangkan pemikiran-pemikiran mereka ke berbagai media massa.[20]

TUJUAN, LANDASAN PEMIKIRAN, SERTA MISI JIL
Tujuan utama JIL adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu JIL memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. Jaringan Islam Liberal adalah wadah yang longgar atau luas untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.  Berikut ini akan dipaparkan prinsip-prinsip manhaj Jaringan Islam Liberal dalam memahami Islam yang dikutip dari situs resmi mereka.

Pengembangan pemikiran JIL ini tidak luput dari sinyal-sinyal keadaan sekitarya, sehingga melahirkan ide untuk menggagas landasan baru bagi manusia dan menggiringnya kearah pola berpikir Gerakan liberal. Meskipun demikian, perangkat-perangkat JIL untuk kiat-kiatnya yang selaras dengan upaya mengganti islam dulu dengan islam kekinian atau islam moderen, sambil mensosialisasikan diri, bahwa JIL adalah gagasan kebangsaan dengan pluralism nilai dari agama-agama. Namun tidak persis sebuah universialisasi, oleh sebab cedrung miring, lebih fenominal dan monolog, menyoroti Islam sebagai tema retorikanya.Menjelelajahi alam JIL itu seperti apa, itu tertuang dalam landasan pacunya sebagai berikut:

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks. Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal. (isnlamlibral.com)

c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural. Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas. Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini kebebasan beragama.    Islam liberal meyakin bahwa urusan beragama dan atau tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islamliberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik. Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus[21].

Misi Jaringan Islam Liberal ;Pertama : mengembangkan penafsiran yang liberal sesuai dengan yang kami (JIL-pen) anut dan menyebarkannya kepada seluas-luasnya khalayak. Kedua: mengusahakan terbukanya dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga ; mengupayakan terciptanya struktur social dan politik yang adil dan manusiawi.

Dengan manhaj di atas dari para cendikiawan muda Jaringan Islam Liberal kemudian lahir produk-produk pemikiran yang berbeda jauh dari pemahaman Islam main stream. Meskipun menurut Adian Husaini dalam salah satu makalahnya, sebenarnya tidak ada yang benar-benar baru dari gagasan-gagasan lontaran JIL, kesemuanya merupakan ide-ide para orientalis ataupun murid-murid mereka seperti Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid dan sebangsanya[22].

Isu-isu pemikiran keislaman  mereka yang kemudian menuai kontroversi dari ummat Islam karena tidak jarang menerjang batasan-batasan yang telah disepakati oleh ulama-ulama, misalnya  pluralism agama, pernikahan dengan wanita kafir, penafsiran hermeneutika, bolehnya wanita jadi Imam dan khatib Jum’at, gugatan ataas otentitas mushaf utsmani, sekularisme, evolusi agama, dan lain sebagainya.

RESPON UMMAT ISLAM TERHADAP JIL
termasuk buku awal yg merespon JIL
Sebagaiman telah disinggung di awal makalah ini bahwa sejak decade 1930-an telah ada perang pemikiran antara para pengusung ide-ide sekuler-liberal ke dalam tubuh ummat Islam yang diwakili Ir. Soekarno dengan tokoh-tokoh pembela Islam seperti Natsir dan  A. Hassan. Pada perkembangan selanjutnya, perseteruan itu dilanjutkan oleh generasi-generasi setelah mereka, namun dengan cakupan isu yang lebih luas dari sekedar secularism.

Setiap kali para tokoh liberalis Islam menyampaikan ide-ide mereka, maka akan mincul respon dari ummat Islam. Beberapa suara menunjukan persetujuan, misalnya tokoh semacam Goenawan Mohammad kolomnis senior yang begitu mendukung JIL. Namun suara mayoritas tetap saja menolak pendapat-pendapat yang dianggap telah jauh melenceng dari agama yang lurus.  Respon dari ummat Islam selain muncul dari perorangan, yakni para cendekiawan dan ulama yang tanggap atas penyesatan ummat, juga datang dari lembaga-lembaga serta ormas-ormas. Misalnya dari MUI dengna fatwanya yang mengharamkan faham Pluralisme agama, atau dari media-media pembela tauhid semisal Sabili, Suara Hidayatullah dan Tabligh dari lingkungan Muhammadiyah.

Jika pada masa Ir. Soekarno ada Natsir dan A. Hassan, maka pada masa Harun Nasution dan Nurchalis Madjid, kita mengenal tokoh-tokoh cendekiawan ulama Islam yang bangkit menantang mereka. Kesesatan tersirat dalam buku Harun Nasution yang dijadikan pegangan di seluruh IAIN se-Indonesia segera mendapat kritikan tajam dari Prof. H.M. Rasyidi, tokoh kharismatik dengan ilmu mendalam yang rumahnya menjadi tempat tinggal Harun Nasution selama studi di Mc Gill University Kanada. Untuk menolak pendapat-pendapat menyimpang Harun Nasution, ulama yang pernah membantah Prof. Joseph Schacht[23] di kelasnya semasa di Mc Gill ini menulis sebuah buku berjudul “Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut beliau tulis setelah laporannya kepada Depag tidak dihiraukan.[24] 

Adapun gagasan-gagasan sekularisme Nurchalis Madjid mendapatkan koreksi ilmiyah dari Dr. Daud Rasyid melalui bukunya berjudul “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan”.[25].  Selain itu sebuah jawaban bernas atas gagasan sekularisme diberikan oleh Prof. Syed M. Naquib al-Attas seorang ulama internasional kelahiran Bogor yang menjadi kolega Ismail Raji al-Faruqi dalam proyek Islamization of knowledge melalui bukunya “Islam and Secularism”.

Ketika gengerasi berikutnya dari kaum liberal naik panggung dengan wadah JIL, maka dari garis Natsir juga bangkit generasi pembela Islam. Saat JIL masih berupa milis, beberapa cendekiawan muda penerus Natsir telah terlibat diskusi sengit dengan mereka. Adnin Armas, misalnya, seorang mahasiswa al-Attas di ISTAC aktif mengoreksi gagasan mereka melalui diskusi online di milis islamliberal@yahoo.groups.com.[26] Selain Adnin, ada nama-nama seperti Adian Husaini yang aktif menulis buku-buku tentang bahaya SEPILIS, Hamid Fahmi Zarkasyi, Ugi Sugiharto, Asep Sobari pakar sejarah muda lulusan Madinah, Ahmad Zain an-Najah pakar syari’ah dari akar Muhammadiyah, Hartono A. Jaiz dan beberapa rekan mereka.

kegiatan INSISTS
Kini, kebanyakan mereka berkumpul di sebuah wadah semacam JIL yang  muncul dengan misi yang bertolak belakang dengan JIL yakni melawan arus liberalism, wadah tersebut bernama INSIST (Institute of the Study of Islamic Thought and Civilization) dengan markas maya berlamat di insistent.com. Selain itu, muncul pula respon yang bersifat "pop" dimotori oleh anak-anak muda yang kebanyakan adalah kader para peneliti INSISTS. Gerakan ini adalah #IndonesiaTanpaJIL, 




PENUTUP
Kehadiran Jaringan Islam Liberal membawa warna tersendiri bagi corak pemikiran Islam di Indonesia. Jika dulu kita hanya mengelompokan ummat Islam Indonesia menjadi modernis dan tradisionalis merujuk pada dua ormas raksasa NU dan Muhammadiyah, maka sekarang telah muncul kelompok liberal dengan wadah kecil namun bertaring tajam bernama JIL.  Tidak diragukan lagi bahwa mereka sangat terpengaruh oleh gagsan-gagasan para orientalis maupun kaum liberal Arab tentang Islam, jadi dalam menyikapi  aksi maupun pemikiran-pemikiran yang mereka tawarkan kita harus kritis, tidak menelan mentah-mentah namun juga tidak serta merta menolaknya. Bagaimanapun kehadiran mereka juga memiliki sisi positif yakni ummat Islam Indonesia menjadi tersentak, bangun dari tidur siang intelektualnya dan mulai aktif memikirkan jawaban-jawaban atas pukulan JIL terhadap konsep-konsep baku agama Islam.
.  Wallahu a’lam bisshawa


END NOTE
________________________________________
[1] Sabili, no. 15, th. IX/25 Januari 2002.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia offline Versi 1.3.
[3] Hafidz Firdaus Abdullah, Membongkar Islam Liberal, (Johor Baru : Perniagaan Jahabesa, 2007), hal 9.
[4] Ibid, 10
[5] Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, (Kairo-Mesir, Februari 2006)
[6] Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, (Jakarta: GIP, 2004), hal. 2.

[7] Jaringan Islam Liberal “Tentang JIL” dari http//;www.islamlib.com/tentang-jil.html. Diakses pada 20/12/2011.
[9] M.Natsir, Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal 429.
[10] Ibid, 430
[11] Hartono Ahmad Jaiz, Menangkal Bahaya JIL dan FLA (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal 55.
[12] Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal, 27.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] ibid
[16] Ibid, 30.
[17] Ibid, 31.
[18] http://www.facebook.com/pages/Film-Tanda-Tanya-Hanung-Sesat-Menyesatkan/190542514321958, Diakses 20/12/2011.

[19] Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal, 5.
[20] http://www.kompasiana.com/channel/humaniora. Diakses pada 18/12/2011.
[21] Jaringan Islam Liberal, “Tentang JIL”, http//:www.islamlib.com/tentang-jil.html. Diakses pada 20/12/2011.
[22] Adian Husaini, “Heremneutika dan Fenomena Taklid Baru”. Makalah dipublikasikan di situs insistent.com dalam bentuk soft copy.
[23] Josep Schacht adalah orientalis yang mengajarkan bahwa Muhammad Saw tidak pernah mendirikan Negara melainkan hanya membina ummat. Sebuah pendapat yang ironisnya banyak diulang-ulang oleh pemuda Islam yang menderitainferior complex.
[24] Dwi Budiman “HM. Rasyidi, Pembendung Sipilis”, dari http//:inpsonline.com/index.php?option=com.content&.,... diakses pada 20/12/2011.
[25] Adian Husaini, Nuim Hidayat, Islam Liberal...hal, 47.


[26] Sanggahan-sanggahannya terhadap JIL di milis islam liberal kemudian dibukukan berudul “Pengaruh Kristen-Oreintalis terhadap Islam Liberal”, diterbitkan Gema Insani Press.



DAFTAR PUSTAKA
Armas, Adnin, Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal, Jakarta, 2003.
Husaini, Adian, Nuim, Islam Liberal ; Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya.Jakarta : Gema Insani Press, 2002.
Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2004.
Natsir, Mohammad, Capita Selecta, Jakarga : Bulan Bintang, 1955.

Artikel dan Makalah :
“Membongkar Aliran Islam Liberal” oleh Hafiz Firdaus Abdullah
“Bahaya Islam LIberal” oleh Hartono Ahmad Jaiz.
“Hermeneutika dan Fenomena Taklid Baru” oleh Adian Husaini.

Website :
http//:www.islamlib.com
http//:www.kompasiana.com
http//;www.suyuk.blogspot.com
http//:www.inpasonline.com
http//:www.eramuslim.com



Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Santri Cendekia - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template