بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sebagai lelaki baik-baik, saya tentu sangat tertarik dengan perempuan yang kini
duduk di hadapan saya ini. Wajahnya ayu dan segar, tanpa dicemari bermacam
riasan. Senyumnya adalah bulan sabit terbaik yang membuatku serasa di langit.
Mata bening dibalik kaca matanya sungguh
teduh dipayungi sepasang alis dengan tebal proporsional. Tentu saja semua
keindahan paras itu dibingkai jilbab ungu merek “Melangit” dengan kualitas
bahan yang lembut dan tidak transparan. Sesuai mottonya, support your syar’i
style. Singkatnya, perempuan yang duduk
manis di hadapnku ini adalah representasi ultima kecantikan manusia, sedikit
saja naik, ia sudah jadi bidadari. Tapi sebagai lelaki baik-baik, saya juga
merasa tertekan, deg-degan dan gugup bukan buatan. Sebabnya bukan karena paras
ayunya, atau karena saya jarang bisa duduk berhadapan dengan perempuan selain
bu kantin UNIRES, tapi karena perempuan ini datang khusus jauh-jauh dari Turki
untuk mewawancarai saya seputar skripsi yang kini sedang saya kerjakan.
Bukan salah saya jika Khalida Hanoum,
perempuan ayu ini, harus datang jauh-jauh dari negri separuh Asia separuh Eropa
itu ke sini. Itu bukan kesalahan saya, jadi mudah-mudahan semua perempuan
Indonesia yang tiba-tiba jadi tidak terlalu cantik lagi sebab kehadirannya
tidak melaporkan saya ke komnas perlindungan perempuan. Semua berawal dari objek yang saya pilih untuk
diteliti yakni salah satu kitab yang dikatikan dengan Imam Abu Hanifah, pendiri
mazhab hukum sunni tertua itu. Lebih tepatnya, semua berawal mula berasal
muasal dari status keluhan frustasi khas manusia Indoensia yang saya posting di
Facebook. Status beberapa baris itu berisi kebingungna saya harus diapakan
kitab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya sang Imam dalam skripsi nanti. Sebuah
status payah sebenarnya, tapi Khalida yang tidak sengaja membacanya mengaku
langsung tertarik dan segera bergegas mencari saya ke Indoensia. Setidaknya
begitulah pengakuan Khalida dalam pesan-pesan pribadinya melalui akun Facebook
beberapa hari yang lalu. Sebelum akhirnya kami janjian bertemu di alun-alun
Nganjuk, alternatif kedua setelah stasiun Balapan dianggap kurang nyaman. Yah
nasih hidup di sewu kuto.
Saya sebenarnya masih diliputi penasaran dan
ribuan tanda tanya, saya bahkan mulai berpikir jangan-jangan dia ini hanya
penipu atau anggota MLM transnasional yang melihat peluang menjerat seorang
mahasiswa tua nan jiwanya kacau balau. Tapi parasnya itu membaut semua tanda
tanya menajdi tanda seru, dan semua kemungkinan buruk saya abaikan saja. Singkat
cerita, ia kini berada di depan saya, wajahnya sumringah bahagia, seperti
menemukan harta terpendam milik Jack Sparrow, bajak laut muallaf yang mendapat
suaka Turki Utsmani. Wajahku pun sumringah berbinar-binar gembira, seperti
budak yang tiba-tiba diangkat jadi penasihat terpercaya Sultan al-Fatih. Dua
kegembiraan yang beda motifnya, dia karena menemukan sesuatu yang berharga
(menurutnya) sedangkan saya karena ... umm karena saya adalah lelaki baik-baik.
“Ya, saya lelaki baik-baik” ups, kok terucap
sih.. gawat.
“What? kamu baru saja bercap apa?”
Wajah ayu itu mengernyit tanda penasaran. Ia
memang sudah pandai berbahsa Indoensia tapi mendengarkan ucapan native yang
agak berbisik dan cepat masih membuatnya kesulitan. Lagipula, ucapan saya itu
tidak untuk diperdengarkan, tapi sudah terlanjur dia dengar.
“lelaki baik-baik? Ayub, temanku, mana ada
lelaki baik-baik yang menemui seorang teman dari negri jauh dengan tampang
masih kusut seperti itu! kamu belum mandi kan?”
Sekarang saya tahu, dia bukannya penasaran
akan apa yang baru saja kukatakan. Dia malah tidak percaya dan sepertinya
protes keras. Tampang kusut? Padahal tadi saya menghabiskan banyak sisa umur
untuk mandi pagi, dan cermin sepertinya sudah bosan sendiri melihat saya
berganti-ganti pakaian dan gaya rambut. Meski ahirnya tetap memilih baju
kotak-kotak hitam ini. Dan rambut saya tetap isitqamah untuk tidak bisa dimodel
ala korea.
“Iya, saya memang belum sempat mandi” Kebohongan yang pahit.
“Nah begitu dong. Seharunya kamu mengaku saja.
Tidak mandi pagi adalah ciri seorang pekerja keras. Saya tahu kamu sudah
berjuang meneliit kitab Imam a’Zam Abu Hanifah an-Nu’man. Mana ada kesempatan
untuk mandi hehe”
“Iyyyaa, iya. Khalida, kamu benar sekali” Kebohongan pahit yang sungguh nikmat. “Saya
harus meluangkan waktu berjam-jam untuk meneliti manuskrip kuno koleksi
sejarawan UGM demi penelitian ini. Mana ada waktu untuk mandi pagi ahaahaha”
Kebohongan pahit dan tawa garing beracun yang membuatku ketagihan.
“Manuskrip kuno? Bukannya PDF dari internet? ”
“ahaha just kidding. ahahaha”
“Wah kamu ini humoris juga ya Yub. Kitab
al-‘Alim memang punya beberapa salinan yang masih berupa manuskrip di perpustakaan
Alexandria dan Istanbul, tapi kan sudah ada yang mengedit dan menerbitkan”
“Iya, saya memakai versi editan Zahid
al-Kautsari. Ulama besar dari akhir era Utsmani itu. Seorang Hanafi yang
fanatik. Pembela Asy’ariyah, seteru abadi salafi hehe”
“Sepertinya kita sudah mulai masuk topiknya
nih” Gumam Khalida sambil mengeluarkan sebuah pulpen dan buku catatan kecil
dari dalam tas kecilnya lalu membetulkan kaca matanya.
“Yah, boleh. Tapi saya masih penasaran, apa
yang membuat seorang gadis Turki seperti anda ini jauh-jauh datang ke sini? Apa
murni karena penelitian saya?”
Rasa penasaran itu memang harus segera saya
tuntaskan. Sungguh aneh rasanya bercakap-cakap dengan seorng yang terus-terusan
saya curigai sebagai penipu. Lagi pula saya masih tidak percaya, penelitian
untuk tugas akhir S1 ini bisa menarik minat mahasiswi cantik dari luar negri
untuk datang dan berdiskusi langsung dengan saya. Its to good to be true.
“Oh itu.” Ia mengangguk-angguk maklum. Seperti
seorang ibu yang mendapati anaknya ketakutan mengalami tanda-tanda akil balig.
“Kamu pasti tahu kan, Yub. Selama berabad-abad
produk hukum dan metodologi berfikir Imam Abu Hanifah diganakan sebagai hukum resmi negara ketika Turki Utsmani masih
berjaya. Meski akhirnya fikih Hanafi digantikan dengan produk hukum berbagai
negara Eropa oleh kaum picik sekuler yang otaknya stagnan dan minder, tapi
aturan hidup dalam bingkai Hanafi telah menjadi darah yang mengalir di dalam
tubuh masyarakat Turki. Termasuk saya. Ketika saya mengetahui kamu ingin
meneliti Imam a’Zham saya langsung tertarik untuk ke sini dan
berdiskusi.”
Saya menyimaknya sambil mengangguk-angguk,
semoga tampak seperti orang yang paham dam maklum. Semoga tampak seperti
seorang yang tidak curiga sama sekali. Pertanyaan saya ternyata disambutnya
dengan jawaban yang panjang dan antusias. Tidak mengapa, meski penjelasan bahkan
bahasa tubuhnya malah memnculkan pertanyaan-pertanyaan baru. Pertama, mengapa
ia tertarik dengan penelitian saya yang sebenarnya melihat sang imam dari
kacamata pendidikan, sedang dia merasa terkait dengan aspeik fikih hanafi. Mengalir
dalam darah katanya, um mengerikan. Kedua, meski saya tahu dia bukan tipe
perempuan sekuler Turki, terbukti dengan jilbab “Melangit” yang dipakainya,
tapi caranya menjelaskan kaum sekuler asuhan Attaturk terlalu emosional ;
picik, otak stagnan, minder? Sehebat itukah
pengaruh Erdogan bagi manusia-manusia Turki di bawah kepemimpinannya? Atau sebegitu
hancukah hati perempuan cantik ini karena fikih hanafi dicampakan? Atau memang
kaum sekuler, dalam kasus Turki, memang picik, otak stagnan, dan minder? Terakhir,
pertanyaan yang membuat saya agak gelisah juga ; apakah memang perempuan yang
sedang menjelaskan bisa menjadi 5% lebih cantik dari biasanya? Sebagai lelaki
baik-baik semua penasaran ini harus saya tuntaskan.
“Khalida, kamu baru saja menyebut pendahulu
dan bahkan sebagian pahlawan negaramu,
bahkan bapak bangsa Turki sebagi orang yang picik?”
Alisnya mengernyit. Ia mungkin tidak menduga
bahwa saya justru tertarik pada bagian tidak detail tidak penting dari
penjelasan panjang lebarnya. Ia tampak berpikir sejenak lalu sebuah senyum
terbit setelah kernyit itu berlalu. Seperti pagi yang datang membuat bumi
bertambah cantik setelah sebelumnya diselimuti bingung malam.
“Itu saya lakukan dengan sadar kok!”
“Dengan sadar. Ya saya tahu” sesingkat itu? Jawabanya
cuma itu? Saya agak kecewa. “Kamu tidak
kelihatan sedang trance karena mengunyah Kat kok hehe” kekecewaan itu saya
timbun dengan humor tidak lucu.
“Hehe, ada-ada saja kamu Yub. Maksud saya,
tentang kaum sekuler Turki yang mengganti sama sekali instrumen fikih Hanafi
dengan hukum impor dari Eropa pasca keruntuhan Khilafah memang picik, minder,
dan malas berpikir. Saya berani berkata seperti itu karena ada refernsi
sejarah, bahkan tokoh seperti Fazlur Rahman pun akan setuju dengan saya Yub.”
“Wah. Fazlur Rahman akan setuju? Menarik!” Saya
mencondongkan badan agak ke depan, bersiap mendapat penjelasan. Berkeras meminta
perincian dari klaimnya yang berani dan percara diri. Ia sepertinya sangat
senang bahwa pancingnya berhasil mengail
rasa penasaranku.
“Jika kau membaca sejarah Turki. Di salah satu
babnya, mungkin tercecer tidak penting kamu akan menemukan sebuah kata yang
mencuat ke permukaan pada paruh pertama abad ke-18. Ketika Turki mulai merasa
kalah dari Barat ; Mecelle Ahkam Adliye!”
“Mecelle Ahkam Adliye?” Aku mengulangi
pengucapannya, smebari bertanya, sembari menimati lidah yang terpelintir aksen
Turk.
“Iya!” Gumamnya perca diri. “Mecelle adalah
bukti betapa syariat memang bisa diimplementasikan dengan sangat rapi dalam
hukum negara tanpa harus tegang dengan perkembangan zaman. Tapi itu semua hanya
bisa terjadi jika para cendikiawan tidak minder dan mau mengerahkan semua modal
intelektualnya untuk mengabdi pada Allah, jika para cendikiawan mau berijtihad”
“Ohya? Mecelle sepertinya adalah objek yang
menarik. Apa sebenarnya makhkuk bernama Mecelle ini? Apa pula kata Fazlur
Rahman, Khalida? Mengapa kau membawa-bawa nmanya?”