Al-Husain
bin Mas’ud dalam tafsirnya Tafsir al-Baghawi menjelaskan, bahwa suatu
ketika kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah: “wahai Muhammad, bagaimana tuhan
akan mendengar do’a kita sementara kau pernah berkata bahwa jarak kita
denganNya terhampar selebar lima ratus tahun?”. Untuk menjawab pertanyaan ini, turun
lah Firman Allah: “wa idza sa’alaka ‘ibadi anni, fa inni qorib, ujib da’wah
ad-da’i idza da’ani... (dan jika hambaku bertanya kepadaku mengenai Aku,
maka (jawablah Muhammad) sungguh..! Aku dekat, Aku memenuhi siapa saja yang
meminta padaKu)” (al-Baqarah: 186).
belum ditashih |
Rasa
dekat meng-erat seiring komunikasi yang sering dan menguat. Jalinan komunikasi
yang berjalan intensif melahirkan kedekatan secara personal, menimbulkan
nyaman. Karena di kala susah menerpa atau ingin sesuatu, tutur pertama terucap
ialah kepada orang yang bisa diajak berkomunikasi secara dekat dan baik.
Demikian pun dengan Allah. Berbagai macam sifat agung tersemat pada Zat-Nya.
Dia maha bijaksana, maha penyayang, maha adil dan sifat-sifat lainnya. Semua
sifat tidak akan tersampaikan sekiranya Allah tidak bisa berkomunikasi secara
dekat dengan hamba-hambanya. Lalu, Bagaimana Allah berkomunikasi?
“Ujib
da’wah ad-da’i idza da’ani”. Allah
membuktikan kedekatanNya dengan pernyataan agung “Aku memenuhi permintaan
jika (hambaKu) meminta”. Memberi
adalah cara komunikasi Allah dengan hamba-hambaNya. Rasa sayang terwujud dari
Rahmat yang dikaruinai, rasa adil terwujud saat hak diberikan kepada yang
berhak dan kewajiban dibebankan pada orang yang memang berwajib, Dan sadarkah
kita, bahwa semua muslim adalah operator Allah ketika berkomunikasi?, muslim
adalah agen-agen Allah di dalam memberi?.
Muslim
yang baik selalu percaya bahwa Allah telah menetapkan kebahagian untuk seluruh
hambanya, baik yang beriman maupun yang tidak beriman, yang tinggal di gurun
sahara atau di kutub utara. Semua kebahagiaan telah Allah beri secara rata dan
tidak ada yang terzhalimi. Untuk itu, seorang muslim harus yakin bahwa setiap
apa yang dia miliki juga dimiliki sebagian oleh orang yang berhak menerimanya “wa
fi amwalihim haqqun lissa’ili wal mahrum” (dan pada hartanya ada hak orang
yang meminta dan orang yang membutuhkan tapi menjaga kehormatan) (al-Ma’arij:
24-25). Maka sudah menjadi kewajiban muslim untuk membagikan setiap kebaikan
dan kebahagiaan itu kepada orang lain.
Membagi
harta, membagi tenaga, membagi perhatian, membagi nasehat hingga membagi senyum
adalah menunaikan kewajiban kita sebagai agen Allah di dalam memberi
kebahagiaan. Bagi muslim, tidak ada yang namanya memberi, karena itu bukan
milik kita. Semuanya adalah milik Allah, kita hanya sebagai agen yang bertugas
membagikannya. Dengan memberi kita menjadi agen Allah yang baik. Dengan memberi
kita menjadi tali komunikasi Allah bahwa sejatinya Dia dekat dengan
hamba-hambanya. Memberi bukan kebutuhan kita agar dicintai sesama hamba.
Memberi adalah kebutuhan kita agar dicintai Allah. Rasulullah bersabda “irham
man fi al-Ardh, yarhamka man fi as-Sama’” (sayangi yang ada di dunia,
niscaya Allah menyayangimu). Sehingga memberi juga sekaligus menjalin
komunikasi yang baik dengan Allah. Jika Allah telah dekat dan cinta kepada
kita, siapa yang berani tidak mencintai kita?.