بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“NKRI juga milik umat Islam. Mustahil mereka ingin merusaknya”
Kasus dugaan
pelanggaran hak azasi terhadap almarhum Siyono oleh oknum Densus 88 terus
bergulir.[1]
Siyono yang berstatus sebagai terduga teroris itu ditangkap usai mengimami shalat,
masih dalam keadaan sehat afiat, tapi ketika kembali ia sudah jadi mayat. Ia
diciduk dengan kasar di depan murid-murid TK yang ia rintis. Di depan anak-anak
tak berdosa itu, berlangsung sebuah drama penangkapan yang berujung kematian
terduga, lalu munculah gugatan menuntut keadilan.
Guna mendapatkan
kejelasan seputar kasus Siyono serta isu radikalisme dan terorisme secara umum,
diadakanlah kajian di masjid Jogokaryan, Yogyakarta. Kajian ini berlangsung
bersamaan dengan proses otopsi Siyono oleh tim dokter Muhammadiyah dan Polri di
Klaten, Ahad, 3 April, 2016. Di masjid yang menjadi pusat gerakan Islam di Kota
Gudeg itu, hadir Ust. Dr. Mu’inuddinillah Basri, MA serta Pak Mustofa
Nahrawardaya dari PP Muhammdiyah. Dalam kapasitasnya masing-masing, beliau
berdua memberikan pencerahan seputar isu terorisme, radikalisme dan bagaimana
seharusnya ummat Islam Indonesia meresponnya.
Pesan umum dari kajian tersebut insya Allah sunggulah baik jika betul-betul
diamalkan umat Islam. Didalamnya termasuk ajakan untuk lebih giat mendaras
ajaran kanjeng Nabi agar tidak mudah terperangkap ajakan ngebom sana sini.
Alasannya sangat jelas, NKRI adalah anugrah dari Allah yang terwujud atas peran
dari ulama dan para santri bersama elemen bangsa lainnya. Olehnya umat Islam
harus merasa memilikinya. Lebih dari itu, aksi terorisme betu-betul
bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan ajaran jihad yang sering diklaim para
teroris itu.
Terkait NKRI dan umat Islam, Ust. Mu’inuddinillah Basri
menegaskan, “NKRI adalah milik umat Islam. Uamt Islam harus merasa memilikinya.
Olehnya sangat tidak logis jika umat Islam (yang mayoritas di negri ini) ingin
agar NKRI rusak.” Mustofa Nahrawardaya
dari PP. Muhammadiyah mengingatkan bahwa salah satu ormas terbesar di Indonesia
itu sudah ada bahkan sejak Indonesia merdeka. Muhammadiyah yang tokoh-tokohnya
turut membidani kelahiran NKRI tentu mustahil ingin mencelakainya.
Jihad, tegas Ust. Muin, harus dipahamai sebagai upaya
sungguh-sungguh untuk memeprtahankan Islam ketika Islam terancam, dan
memajukannya ketika sudah jaya. Tujuan dari jihad adalah menjaga kepentingan
umat Islam dan menegakan maqashid syari’ah, dimana menjaga nyawa manusia
(hifz an-nafs) termasuk di dalamnya. Olehnya, Ust. Muin menolak tegas
klaim yang menyatakan bahwa aksi terror di jalan Thamrin atau bahkan Brussel
sebagai jihad. Sebab jelas, kedua aksi itu dilakukan serampangan, membunuh yang
tak berdosa, termasuk Muslim, dan merugikan umat Islam.
Lebih jauh lagi, Ust Muin mengingatkan peserta kajian
akan Perjanjian Hudaibiyah dan Fathu Mekah yang berlangsung damai.
Justru lewat dua peristiwa damai inilah dakwah Rasulullah menemui momentum
keberhasilannya jika diukur dari kuantitas orang yang masuk Islam. Padahal
secara kasat mata, di Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah harus rela mencopot
geral kerasulan beliau di hadapan pemuka musyrikin Arab. Tapi toh, hal itu
justru menjadi awal ekspansi dakwah yang efektif di masa damai. Lalu pada Fathu
Mekah, Rasulullah bisa saja melakukan balas dendam pada mereka yang dulu
menzhalimi beliau dan para sahabat, tapi beliau justru memaafkan. Dari maaf
itulah, penyebaran rahmah Islam ke seluruh penjuru Arabia dan bahkan dunia
bermula.
Mengingat pesan Islam yang jauh dari cara-cara teror di
atas, tentu pertanyaan yang muncul adalah, mengapa masih saja ada anak muda
yang terpikat ikut gerakan terror? Penjelasan dua pemateri tentang hal ini
penting untuk diingat pemuda-pemuda Muslim. Telah nyata dari berbagai kasus di
lapangan, ada orang-orang tak bertanggung jawab yang mendekatai pemuda-pemuda
Muslim yang memiliki ghirah dakwah yang menyala-nyala, mengarahkan ghirah itu
ke jalan yang salah. Mereka didekati dengan sangat intens dan halus, dijanji
akan dilatih untuk berjihad membela saudara Muslimnya di Palestina. Mereka lalu
diberikan fasilitas “I’dad”, bahkan dilatih menembak. Lalu tiba-tiba si
perekrut itu menghilang entah kemana, tinggalah para pemuda korban jebakan itu
jadi buruan densus. Dalam Bahasa Mustafa Nahra, mereka “diburu hingga liang
lahat.” Hal seperti di atas menimpa 25 pemuda yang menjadi buronan di
pegunungan di Aceh. Mereka direkrut Sofyan Sauri, seorang yang mengaku mantan
Brimob itu. Si Sofyan masih sehat sedang 25 pemuda itu sudah tuntas dibabat.
“Ada berbagai kasus yang aneh” Ungkap Ust. Muin,
misalnya, santri beliau melaporkan tentang ada seseorang yang kerjanya
mengajarkan orang cara merakit bom tapi hingga kini tak tersentuh aparat. “Lalu
yang lucu” keheranan Ust. Muin masih berlanjut, “ternyata ada orang yang bisa
merekrut anggota ISIS lewat internet dari dalam penjara” Ini tentu hal-hal yang
mengundang curiga. “Kok bisa dibiarkan?” Tanya beliau retoris.
Di hadapan fenomena-fenomena semacam ini, wajar jika
kemudian timbul dugaan-dugaan bernada “konspiratif.” Dan semua curiga itu
sebenarnya berdasar, terutama jika mengingat fakta sejarah rekayasa intelijen
di masa Orba. Tak mustahil hal serupa diulang lagi. Tesis Pak Busyro Muqaddas tentang tema ini
sudah dipertanggung jawabkan secara akademik.[2] Jadi, kewaspadaan akan kemungkinan rekayasa bukannya
paranoia, ia adalah waspada yang cukup beralasan.Namun demikian, tenggelam
dalam kasak-kusuk makar jahat ini bukanlah tugas tiap orang, biarlah yang
berkompeten mengurusnya.
Keluarga-keluarga Muslim harus menjaga diri dan anak-anak
mereka. Jalan terbaik adalah membekali diri dan generasi dengan pemahaman agama
yang benar, agar mereka tidak mudah terperangkap rayuan semacam itu.
Keterputusan pendidikan agama yang benar memang ditengarai menjadi sebab
“radikalisasi.” Olivier Roy, peneliti ekstrimisme dari European University
Institute, Italia mengakui hal ini. Roy adalah ahli “Islam Politik” yang
karya-karya ilmiyahnya diterbitkan penerbit milik kampus-kampus berwibawa
seperti Harvard. Ia yakin bahwa radikalisasi justru terjadi “because
the passing down of religious beliefs stopped working”[3]
Ketika paham agama yang benar gagal diwariskan, maka di situlah anak muda
rentan dicekoki faham yang mudah diarahkan ke jurang esktrimisme.
Kedua pemateri tentu tidak absen membahas kasus Siyono
secara khusus. Mustafa Nahra mengungkap fakta –yang sebenarnya sudah banyak
diketaui orang—bahwa Siyono hanyalah puncak gunung es. Setidaknya sudah ada 121
orang yang menjadi “korban” prosedur tak manusiawi Densus 88. Prosedur
penangkapan yang mencakup penembakan ditempat, tanpa pengadilan. Ada sebagian
yang ditembak bahkan ketika sedang
beribadah. Belum lagi tekanan yang dialami keluarga orang-orang yang
terbunuh tanpa diadili itu. Istri Siyono misalnya, ia diminta menandatangani
sejumlah dokumen yang menyatakan ia tidak akan mengusut kematian suaminya.
Mustafa Nahra menyatakan, keluarga dari “korban” lainnya dibuat menandatangani
surat pernyataan untuk tetap bungkam, tak bersuara pada wartawan.
Hal-hal seperti di ataslah yang ingin diakhiri, tak ada
sezarah pun niat melemahkan institusi POLRI apalagi mendukung gerakan teroris
yang mana korbannya banyak Muslim juga. Ust Muin justru menegaskan kepada
jamaah, masih ada banyak aparat yang
memiliki nurani, mereka harus diingatkan bahwa institusi mereka bisa saja
ditumpangi oleh mereka yang meraup untung prbadi dari proyek “deradikalisasi”
atau “war on terror”. Dana untuk densus saat ini saja mencapai 1,9 Triliun,
bukan jumlah yang sedikit. Wilayah ini perlu audit dan transparansi.
Kebersihan, transparansi, dan keberpihakan pada keadilan bukankah justru akan menguatkan Polri? Jika
itu terwujud, umat Islam akan mendukung sepenuhnya, sebab sekali lagi “NKRI milik umat Islam, mustahil mereka ingin
merusaknya”
[1] http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160403123141-20-121302/penanganan-terduga-teroris-oleh-densus-88-mendapat-sorotan/ tentang dokumen yg ditanda tangani istri siyono untuk bungkam, lihat juga di https://m.tempo.co/read/news/2016/03/26/063757073/kontras-tangkap-siyono-densus-88-diduga-langgar-prosedur
[2] Ulasan menarik bisa
dilihat di sini http://pusham.uii.ac.id/files.php?type=fbuku&lang=id&id=41, juga di sini http://www.kompasiana.com/fauzananwarsandiah/hegemoni-rezim-intelijen_552e47706ea83462398b4572
[3] https://en.qantara.de/content/interview-with-french-extremism-researcher-olivier-roy-radicalisation-is-not-the-result-of
catatan : kutipan langsung di
dalam tulisan ini mungkin tidak seperti persis kata-kata para pemateri
ketika kajian. Penulis hanya mengandalkan ingatan dan catatan kecil yang
sempat dibuat. Namun insya Allah substansi dari ucapan-ucapan itu tidak berubah.